Bab 5 : Hari Pertama Kerja

1084 Words
“Bukan begitu, Pak. Dadaa Bapak memerah, harus dioles salep,” ucap Sanya khawatir. “Keluar!” titah Ardika tajam. “Dan ....” Mendengar Sanya masih saja bersuara, Ardika menarik napas dalam. “Telinga Bapak … telinga Bapak juga memerah,” lanjutnya polos, membuat Ardika nyaris kehilangan kata. “Keluar dari ruangan saya, Sanya Hanami!” geramnya dengan nada tinggi. Sanya sontak berlari terbirit keluar. Ia menunduk malu saat melewati Zeno, yang ikut menyembunyikan wajahnya usai mengangguk sopan—terlalu merasa bersalah karena masuk di waktu yang tidak tepat, padahal ia sudah salah paham. Sanya berjalan lunglai menuju ruangannya. Tatapannya kosong. Ia kembali duduk di meja kerja, memejamkan mata, dan merengek dalam hati. Tangannya refleks memukul pelan kepalanya, merutuki dirinya. Tadi karena melihat Ardika membuka satu kancing kemejanya dia refleks ikut membuka dua kancing dibawahnya. “Tamatlah riwayat kamu, Sanya,” gumamnya lirih, menutup wajah dengan kedua tangannya. Namun seketika ia tersadar dan menegakkan tubuhnya. Sebentar, batinnya. Saat tadi Ardika meneriakinya untuk keluar, lelaki itu memanggil nama lengkapnya. Katanya di pantry tadi dia tidak ingat namaku. Menyebalkan, rutuknya dalam hati. Siang harinya, Sanya makan di kantin perusahaan. Suasana ramai oleh suara obrolan dan denting sendok yang saling beradu. Ia menyuap makan siangnya dengan enggan, merasa tidak nyaman karena dari meja lain Ardika terus menatap tanpa berkedip. Lelaki itu sudah berganti kemeja berwarna gelap—sorot matanya tajam, sulit diartikan. Namun, Sanya berusaha tampak tenang di antara dua rekannya yang asyik bercanda. Kedua rekan Sanya tak menyadari hal itu karena posisi mereka membelakangi arah tatapan itu. Sementara Zeno yang duduk berhadapan langsung dengan Ardika—menoleh sejenak, pandangannya mengikuti arah mata sang tuan, lalu melihat Sanya yang menunduk gugup seolah terintimidasi oleh tatapan Ardika. Dalam hati Zeno bertanya-tanya—hubungan seperti apa yang keduanya jalani, hate-love relationship? Karena jelas, kejadian di ruang kerja tadi tampak jauh dari kebencian malah terlalu mesra untuk disebut profesional. “Pak, apa Bapak tahu kalau Nona Sanya yang memegang proyek A & K Corp,” lapor Zeno perlahan, mencoba memecah ketegangan. Ardika sontak menatapnya, matanya membulat dan keningnya mengerut. “Siapa yang memberi tugas itu padanya?” suaranya meninggi tanpa sadar. “Tentu saja Pak Kai, sang manajer,” jawab Zeno cepat. “Pak Kai juga yang akan membimbing Nona Sanya sampai proyek ini deal,” tambahnya lagi. Ardika diam sejenak, lalu bersandar tampak berpikir. “Berikan draft kontraknya pada saya. Saya ingin mempelajarinya lebih awal,” katanya datar. *** Jujur saja, hari pertama kerja, Sanya merasa cocok dengan rekan dan lingkungan barunya, tapi tidak dengan CEO-nya. Sanya tersenyum kaku ketika atasannya memintanya datang ke ruang Ardika untuk membahas proyek yang akan ia tangani. Katanya, pimpinan langsung yang akan membimbing Sanya. “Bukannya Bapak yang akan membimbing saya?” katanya terselip protes. Ya, bagaimana tidak protes, bahkan belum genap dua puluh empat jam sejak kata itu terlontar dari atasannya. Ditambah lagi Sanya terlalu malah berurusan dengan Ardika. “Harusnya begitu,” jawab atasannya dengan nada menenangkan, “tapi Pak Ardika ingin mengawal proyek ini sendiri. Tenang saja, saya tetap di samping kamu.” Jadilah, setelah percakapan singkat dengan manager-nya itu, Sanya bergegas menuju ruang Ardika. Dalam sehari, ini sudah kali kedua ia melangkah ke ruangan yang terasa begitu keramat baginya. Dan … benar saja, sejak pukul empat lewat tiga puluh menit Sanya berada di ruangan itu. Rasanya ia ingin menghilang detik itu juga. Sudah lebih dari lima belas menit dari jam pulang, ia masih duduk di ruangan Ardika—yang terus mengulang membaca draft di tangannya, seolah tak sadar waktu. Sungguh sangat menguji kesabaran Sanya. Sanya melirik arlojinya pelan, bersuara, “Pak—” “Stt, saya masih membaca,” potong Ardika tanpa mengangkat wajah. Sanya mengembuskan napas pelan. “Mau berapa kali sih bacanya, Pak…! Saya mau pulang loh ini,” protesnya hanya berani di dalam hati. “Okey, ini,” kata Ardika menyerahkan berkas pada Sanya. Sesaat kemudian, Sanya menunduk, menatap lembar-lembar draft yang kini dipenuhi coretan tinta dari tangan Ardika. Setiap halaman nyaris tak menyisakan ruang kosong—baris demi baris digaris, disilang, disisipkan catatan kecil di pinggir kertas. So, detail. Sanya mengangkat pandangannya saat Ardika memintanya untuk merevisi draft tersebut. “Baik, Pak. Saya akan revisi besok,” ucapnya akhirnya. Ardika mengangkat wajahnya perlahan, alisnya menukik tipis. “Besok?” Nada suaranya datar tapi tegas. “Sekarang! Siapa yang suruh besok?” “Tapi, Pak… ini sudah lewat hampir sejam dari waktu pulang,” katanya hati-hati, memilih kata sehalus mungkin. “Belum genap sejam saja perhitungan sekali,” jawab Ardika. “Saya bayar kamu kalau lembur, nggak usah takut. Mau main hitung-hitungan sama saya?” Sanya menarik napas panjang, menahan diri. “Baik, saya kerjakan sekarang, Pak.” Ia bangkit dari duduknya hendak membawa berkas itu keluar, namun langkahnya terhenti ketika suara berat Ardika kembali menahan. “Mau ke mana?” “Kerjain ini, Pak.” “Kerjakan di sini,” titahnya singkat. “Baik, Pak.” Sanya kembali duduk, tak ingin protes. Sabar, Sanya … sabar, batinnya. Setelahnya, di ruangan itu hanya suara ketikan laptop dan detak jam dinding yang terdengar, berpadu dengan dengung lembut pendingin ruangan. Dari tempatnya duduk, Sanya bisa melihat sisi wajah Ardika yang tampak fokus. Cahaya lampu memantul di rahang tegasnya, menyorot mata tajam yang sesekali bergerak membaca, menandai, atau mencoret dan mengetik sesuatu—entah apa di tab-nya. Tanpa sadar, mata Sanya mengikuti setiap gerak kecil lelaki itu—menggulung lengan kemejanya hingga tatapan mereka beradu, cukup lama. “Sampai kapan kamu mau menatap saya?” tanyanya tiba-tiba. Sanya tersentak. “Sa-saya… ini, Pak, saya sudah selesai,” jawabnya terbata. “Emailkan ke saya,” ucap Ardika singkat sambil meraih kembali penanya. “Sekarang kamu bisa pulang.” Sanya bernapas lega, lalu berdiri cepat—menunduk sopan. Ia melangkah keluar tanpa berani menoleh lagi. Begitu pintu tertutup, ia mengembuskan napas panjang. “Ya ampun … lega sekali,” gumamnya. Sanya akhirnya melangkah keluar dari gedung kantor. Angin malam menyentuh wajahnya lembut, membawa aroma sisa hujan. Lampu-lampu jalan berpendar kuning, memantul di genangan air di sepanjang trotoar. Suasana di sekitar sudah mulai sepi. Sanya pun memilih jalur ke arah stasiun. Begitu sampai di depan penyeberangan, Sanya berhenti. Lampu tanda pejalan kaki di depannya menunjukkan warna merah, hingga sesaat kemudian berganti warna hijau. Dengan keyakinan penuh, ia melangkah ke tengah jalan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Sanya menoleh ke arah samping saat suara mesin terdengar mendengung cepat—terlambat disadari. Hanya sekelebat cahaya lampu motor yang menyilaukan matanya sebelum akhirnya … brak!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD