Bab 4 : Ternodai

1086 Words
“Wah, luar biasa sekali. Hari pertama kerja sudah ingkar janji. Harusnya saya tahu sejak awal kamu ini wanita yang hidupnya penuh asal-asalan.” “Nggak boleh menilai orang seperti itu, Pak,” rajuk Sanya, cemberut. “Memang first impression saya terhadap kamu seperti itu. Mulai dari kamu asal memberi saya kupon diskon ayam goreng pedas itu, sampai asal ngomong mau datang lebih awal dari saya—” “Saya pasti sampai kantor sebelum Bapak,” katanya, lalu buru-buru pamit dan berlari secepat mungkin mendahului Ardika. Lelaki itu hanya menggeleng menatap Sanya yang sudah lenyap di balik belokan. Ia menoleh melirik pintu unit Sanya sebelum melanjutkan langkahnya. Tak jadi membawa mobil, Sanya memilih naik ojek online—mendesak driver-nya untuk melaju lebih cepat. Dan benar saja, ia menepati janjinya—tiba sepuluh menit lebih dulu dari Ardika. Ia tersenyum sombong begitu berpapasan dengan atasannya itu. Pagi itu, Ardika ikut dalam sesi briefing perkenalan tiga karyawan baru, termasuk Sanya. Wanita itu ditempatkan di divisi pemasaran, bagian kontrak, yang bertugas menangani kesepakatan dengan klien. Saat coffee break, Sanya membuat kopi dan menikmati camilan di pantry, lalu duduk sejenak menikmatinya. Ia mengeluarkan ponselnya yang disetel dalam mode senyap. Panggilan dari Yuji terus masuk tanpa henti hingga Sanya memutuskan untuk memblokir nomor lelaki itu. “Woy,” panggil seseorang dari belakang. Sanya menoleh, mendapati Ardika berdiri tak jauh darinya. “Saya, Pak?” tanyanya, menatap sekitar untuk memastikan benar dirinya yang dipanggil CEO itu. “Ada orang lain di sini?” Sanya menggeleng pelan. “Tapi saya punya nama, Pak. Kok panggil ‘woy’ sih?” rajuk Sanya, keningnya sedikit mengerut dan bibirnya mengerucut. CEO seperti apa yang memanggil karyawannya dengan sebutan ‘woy’ sangat tidak sopan nan arogan, pikirnya. “Nggak ingat saya nama kamu, nggak penting juga soalnya.” Sanya mengeratkan rahangnya. Sabar, Sanya... sabar. Ia menahan diri dan menawarkan bantuan. Lelaki itu meminta diambilkan snack. Sanya memilih beberapa pastry yang tersusun di etalase camilan hari itu. Ia sempat menawarkan buah, tapi karena tak mendapat jawaban, ia menoleh—matanya membulat melihat Ardika dengan santai menikmati kopinya. "Pak, itukan kopi saya." “Enak,” jawab Ardika santai, sama sekali tidak merasa bersalah. “Buatkan saya yang seperti ini, antar ke ruangan saya.” Sanya tidak bisa melayangkan protes lagi karena Ardika sudah lebih dulu beranjak keluar dari pantry. Wanita itu terpaksa memaklumi. “Baik, Pak. Saya akan minta OB yang antar,” kata Sanya dengan nada rendah. Langkah Ardika terhenti, lalu berbalik. “Kamu nggak dengar saya bilang, kamu yang antar ke ruangan saya.” “Saya kan bukan bekerja untuk Bapak,” ujar Sanya menahan nada kesal. Ardika mengerutkan keningnya. “Maksud saya, tanggung jawab saya langsung ke manajer pemasaran. Bapak kan punya sekretaris—” “Perhitungan sekali. Saya juga bisa memperhitungkan berapa persen gaji yang akan kamu terima dari tiga puluh persen ... mungkin menjadi … dua puluh—” “Saya antar, Pak!” sahut Sanya cepat. Sanya membuang sedih pandangannya menerima perlakuan arogan atasannya. Padahal perusahaan ini dikenal memiliki citra baik di dunia bisnis, siapa sangka pemimpinnya justru berwatak arogan seperti itu. Ia meraih gelas kopinya, hendak meneguk karena tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Belum sampai ke bibir, ia teringat bahwa Ardika sudah meminumnya. “Eh, nggak boleh diminum, nanti aku nurut lagi sama dia. Dia yang minum bekasku, biar rasain nanti dia yang nurut denganku,” gumamnya. Entah kepercayaan dari mana, Sanya hanya asal mengucapkannya. Telepon masuk membuat Sanya refleks meraih ponselnya. Nomor tak dikenal muncul di layar, tanpa pikir panjang ia mengangkatnya. “Kenapa kamu blokir nomor saya, Sanya?” suara di seberang membuat darahnya seketika berdesir. “Jangan memutuskan sambungan ini! Kita harus bicara.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Yuji. Aku dan kamu … sudah selesai sejak malam itu.” “Pertunangan ini tidak bisa dibatalkan sepihak seperti ini, Sanya. Aku mencintai kamu.” Sanya memejamkan mata, menarik napas dalam. “Aku sibuk, Yuji. Aku tidak punya waktu untuk ini.” “Sanya, maafkan aku. Aku sudah memecat wanita itu. Aku menyesal, sungguh. Aku tidak bisa tanpa kamu—Sanya!” serunya ketika mendengar sambungan terputus sepihak. Sanya mengembuskan napas lega, ia harus berani menghadapi Yuji. *** Sanya membawa nampan berisi kopi. Ia hendak menyerahkan pada sekretaris Ardika, Zeno, tapi lelaki itu malah memberi isyarat agar ia masuk. “Tidak Anda saja yang antar?” tanya Sanya setengah berharap. “Nona Sanya yang diminta mengantar langsung,” jawab Zeno singkat. Mau tak mau, Sanya melangkah masuk dengan malas setelah Ardika mempersilakan dari dalam. Sanya terus berjalan menuju meja Ardika yang dipenuhi berkas. “Letakkan di situ,” ucap Ardika datar, menunjuk dengan dagunya tanpa menoleh—membaca sesuatu di tab-nya. Sanya menatap meja itu bingung. ‘Situ’ yang mana? Hampir tak ada ruang kosong. “Di sini, Pak?” tanyanya pelan. Tidak ada jawaban. “Di sini, Pak?” tanyanya lagi, mencoba mencari posisi yang aman. “Di sini?” ulangnya sekali lagi dengan nada ragu. Ardika mendengus jengah. “Di mana saja! Asal jangan kena kertas itu—itu semuanya penting!” Sanya menggeser-geser nampannya, makin bingung. “Di sini?” “Argh! Sudah, sini saja, berikan pada saya. Merepotkan sekali,” kesal Ardika, Sanya pun mengulurkan tangannya. Namun, karena tidak imbang …. “Aahh!” seru Ardika tiba-tiba memekik saat kopi tumpah tepat di dadanya. Ardika refleks membuang nampan ke lantai, panik, merasakan panas meresap ke dadanya. “Aduh! Maaf, Pak! Panas, ya? Saya bantu—” Kaget dan merasa bersalah, Sanya berjalan mendekati Ardika—refleks ikut membuka kancing kemeja CEO itu. Di saat yang sama, pintu ruangan terbuka. Zeno muncul dengan wajah khawatir karena mendengar suara erangan. Sekejap suasana membeku. Ardika dan Sanya menatap ke arah Zeno, kedua pasang tangan mereka masih berada di kancing kemeja sang CEO. Zeno cepat-cepat menunduk. “Maafkan saya, Pak!” katanya salah paham—panik dan menutup pintu lagi. Keheningan kembali mengisi ruangan. Tatapan Ardika dan Sanya bertemu, lalu seketika wanita itu menarik diri. “Pa–Pak, sa—saya tidak bermaksud—” “Berani-beraninya kamu membuka kemeja saya!” potong Ardika dengan wajah kesal. “Mau menodai saya, kamu?!” “Bu—bukan begitu, Pak!” bela Sanya panik. “Saya—" “Keluar kamu!” bentaknya tegas. Sanya menelan ludah, panik—berbalik hendak keluar. Ardika mengangkat pandangannya saat Sanya kembali menoleh ragu. “Dadaa Bapak—” Lelaki itu mengerutkan alisnya. “Dadaa saya? Kamu memperhatikan sampai ke dadaa saya? Wah, bahaya juga kamu ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD