Ardika bertepuk tangan—memberi standing applause saat melihat Sanya melangkah masuk ke lobi apartemen tepat pukul satu dini hari. Sanya terperanjat, spontan menoleh—matanya membulat sempurna ketika mendapati lelaki itu sudah beranjak dari di sofa. Lelaki itu memaksakan senyumnya, melangkah mendekati Sanya. “Luar biasa. Seperti ini kamu rupanya… penuh kebebasan,” ujarnya, senyuman sinis terukir tipis. Sanya enggan menanggapi dan memilih berjalan melewatinya. “Lihat,” ujar Ardika, menyusul di belakangnya, “diajak bicara malah kabur. Tidak sopan.” Ia menyamakan langkah wanita itu—masuk ke dalam lift bersama. “Anak perempuan pulang jam segini… mau jadi apa kamu?” “Mau jadi apa kamu?” Kalimat itu memantul di kepala Sanya, membentur memori yang seharusnya sudah ia kubur. Ia menelan napas, ber

