Saling Terbuka

1926 Words
   Setelah beberapa menit membisu,  akhinya ia menemukan kembali topik pembicaraan yang berkwalitas. Hafiz a memang tidak terlalu suka dengan suasana yang canggung seperti ini. Jadi, tidak perlu khawatir,  akan selalu ada topik perbincangan hangat saat bersama dengan Hafiza. Salah satu sifat mudah akrabnya inilah, yang membuat Hafiza lebih mudah diterima di hati orang-orang yang baru dijumpainya.    “Emmm ... ngomong-ngomong, Pak Dokter umur berapa sih?” tanya Hafiza meramaikan kebisuan yang tercipta.    “Aku masih 25, Za,” jawabnya santai.    Terdapat kerutan samar di kening Hafiza. Matanya menyipit, meninggalkan ribuan tanya. Seolah tak percaya, jika laki-laki yang ada di hadapannya  masih berusia semuda itu. Terdengar cukup mencengangkan bagi Hafiza. Bukan masalah umurnya, tapi ini menyangkut soal gelar yang diraihnya. Hebat sekali bukan? Di usia yang ke 25 sudah menjadi dokter spesialis?    Tatapan Hafiza semakin menajam, seolah tak percaya dengan jawaban dari Allan. “Beneran umur 25?” tanya Hafiza menuntut penjelasan.    Allan mengangguk, “Iya, Hafiza. Aku serius. Aku masuk SD umur 5 tahun, terus pas SMP, aku ambil kelas percepatan akselerasi,  begitu juga waktu SMA, aku lulus dalam waktu 2 tahun. Aku lulus SMA di umur 15 tahun. Lanjut kuliah, aku cari beasiswa di luar negeri. lebih tepatnya di Amsterdam,  Belanda.”    Hafiza menutup mulut dengan satu tangannya. Dirinya begitu tercengang mendengar pengakuan dari Allan. Tangannya terulur  untuk memberinya tepuk tangan.    Prok ... prok ... prok ....    “Wih, keren, keren. Hebat Pak Dokter,” pujinya terkagum-kagum. “Tapi, kenapa nggak kerja di luar aja?  ‘kan lulusan luar negeri? Gaji juga tentu lebih besar dong?” sambungnya lagi.    Allan tersenyum samar. “Enggak, Za.  Tujuanku jadi dokter, bukan cuman untuk cari materi semata. Tapi aku ingin mengabdi untuk negara dan membantu masyarakat kurang mampu, yang membutuhkan jasaku.  Jadi, ya aku kembali lagi ke tanah kelahiranku. Aku jauh-jauh belajar di luar negeri hanya untuk menimba ilmu, tidak mengabdi  untuk negara luar. Lagian, keluargaku juga ada di sini semua. Kasihan keluarga kalau aku tinggal terus-terusan. Terutama Mama, perempuan yang menjadi cinta pertamaku.”    “Salut aku, Mas, sama kamu. Sungguh mulia sekali pekerjaanmu. Semangat terus menebar kebaikan.” Hafiza semakin terkagum dengan dokter tampan di hadapannya. Kelihatannya, Allan adalah sosok anak yang begitu menyayangi ibunya. Hafiza juga ingin bisa lebih akrab lagi dengan Allan. Belajar lebih banyak lagi tentang arti kehidupan darinya, hingga Hafiza sudah tidak segan lagi memanggilnya dengan sebutan Mas. Sebutan akrab untuk perempuan Jawa pada laki-laki yang sedikit lebih tua darinya.    “Siap! Makasih, Hafiza. Semoga kita bisa sama-sama menjadi pribadi yang bernmanfaat.” Tanpa pamrih, Allan berani mengutarakan apa yang menjadi harapannya ke depan.    “Aamiin,” ujar Hafiza mengaminkan.    Keadaan kembali canggung, keduanya saling bersitatap untuk menghangatkan ruangan ber AC yang terasa begitu dingin.    “Ngomong-ngomong soal salut, kamu lebih pantas buat dikagumin loh. Aku pun jauh lebih salut sama kamu.” Dari hatinya yang terdalam, Allan tulus memuji Hafiza.    Hafiza terkekeh, “Apanya yang disalutin dari aku, Mas? Aku cuman gadis penyakitan yang nggak punya masa depan. Cuman bisa bikin repot dan menyusahkan. Aku punya banyak sekali kekurangan. Dari segi rupa juga, aku mah gak ada apa-apanya. Cantik? Enggak!  Menarik juga enggak. Gak ada sama sekali yang bisa dibanggain dari aku. Aku itu, cuman gadis dari kampung yang cuman bisa berpenampilan alakadarnya. Bukan perempuan modis, nggak bisa ikut trend atau fashion ternama. Dandan aja, aku gak bisa. Yang ada mah, malu maluin.”    Kebiasaan Hafiza yang sangat dibenci orang-orang di sekitarnya adalah, selalu melabeli dirinya dengan kata perempuan penyakitan yang tidak punya masa depan. ia selalu menganggap jika dirinya itu tidak berharga. Padahal, orang-orang yang begitu menyayanginya, bisa melihat kelebihan yang dimiliki gadis itu. Tentu kelebihan yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Salah satu kelebihannya adalah ketangguhan hatinya untuk menerima takdir hidup yang sudah tertulis dengan kepahitan. Mungkin, suatu saat nanti bahagianya akan segera hadir. Karena tidak mungkin, hujan turun tanpa henti. Pasti ada masanya hujan reda dan pelangi ikut keluar dari persembunyiannya.    Allan tersenyum sembari menggeleng lemah. “Bukan itu yang aku salutin dari kamu. Kalau kamu menganggap rasa kagum itu dinilai dari mereka yang cantik dan pinter dandan, di luaran mah banyak, Za.  Jadi, kamu salah kalau kekaguman hanya diukur dari segi kecantikan.”     “Hemmm .... ”  Hafiza menggumam.    Senyum Allan tak pernah memudar. Lesung pipinya yang manis, membuat senyum itu semakin menarik untuk dinikmati lebih lama lagi. “Aku terkagum dengan ketangguhan gadis kuat, gadis hebat, yang sangat pandai menyembunyikan kerapuhan sepertimu.  Selama aku hidup, aku tidak pernah menemukan perempuan setangguh hatimu. Perempuan hebat memang banyak. Tapi perempuan yang tangguh dengan segala kekurangannya, aku belum pernah menjumpai itu pada perempuan mana pun. Hanya kamu, yang mampu melewati itu.”    Mata Hafiza tampak berkaca-kaca. Tatapannya juga berubah menjadi sendu. “Aku tidak setangguh itu, Mas,” ucapnya dengan suara melirih.    “Aku tahu, Za. Sebenarnya, kamu itu sangat rapuh.  Namun, kamu pandai mengecoh. Kamu pura-pura bahagia, kamu pura-pura ceria, dan kamu juga sengaja  menebarkan senyum manis yang kamu punya, hanya untuk menutupi sebuah luka. Benar, gak, Za, apa yang aku bilang?”    Allan bisa merasakan kepiluan yang Hafiza alami.  Dari tatapannya yang nanar, itu sudah bisa menjelaskan semuanya.    Hafiza tak sanggup bersuara. Dirinya hanya bisa terdiam membisu. Ia bingung, bagaimana cara menjelaskannya. Semua yang Allan katakan memang benar. Kebahagiaan yang ia ciptakan semua ini hanyalah kepura-puraan. Sungguh, hidupnya penuh kepalsuan.    “Emmm ... Mas, pernah nggak sih, merasa capek hidup? Rasanya seperti udah lelah banget. Mau berjuang tertatih-tatih, tapi kalau nyerah, gak mungkin bisa. Tapi lanjut hidup pun kayak udah nggak ada gairah, udah nggak ada semangat buat hidup. Pernah merasakan di titik itu? Titik di mana udah bo doh ah mad, seperti ‘ya udah lah, ikutin aja alurnya. Entar juga mati sendiri kalau udah waktunya’ Jadi, kita cuman bisa pasrah gitu lho.”    “Pernah,” jawab Allan dengan sekali anggukan. Allan memejamkan mata sejenak. Membayangkan bagaimana masa-masa terpuruknya dulu, saat berada di titik terendah.    “Serius?” tanya Hafiza ragu.    Matanya menatap manik Hafiza, seolah  mengatakan jika itu bukanlah sebuah kebohongan. “Serius. Buat apa aku bohong sama kamu. Gak ada untungnya, tau.”     “Aku kira, cuman aku aja yang ngerasain itu.” Hafiza membuang mukanya ke arah lain. Ia tidak ingin orang lain melihat kerapuhannya.    Allan menangkub wajah Hafiza agar gadis itu mau menatapnya. “Fiza, dengar ini baik-baik ya? Setiap orang pasti akan merasakan berada pada titik terendah, meski masalah yang dihadapi tidak selalu sama. Ada yang terpuruk dengan masalah yang sedang, ada juga yang terpuruk dengan masalahnya yang begitu besar. Setiap orang memiliki kekuatan mental yang berbeda-beda. Tapi semua orang pasti pernah merasakan yang namanya ingin menyerah.”    Mata Hafiza mulai berkaca-kaca. Namun, sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak terjatuh. Hafiza tidak ingin Allan memandangnya sebagai gadis yang cengeng dan lemah. Cukup saja dirinya dipandang sebagai gadis penyakitan.    “Sebenernya, aku capek, Mas. Aku lelah hidup dengan kepura-puraan seperti ini. Aku pengen hidup normal seperti teman teman seusiaku. Aku nggak mau jadi gadis penyakitan dan nggak berguna. Aku cuman bisa bikin susah dan ngerepotin banyak orang. Kadang aku sampai mikir, siapa laki-laki yang mau sama gadis penyakitan sepertiku ini? Laki-laki mana yang akan bersedia menikahi perempuan penyakitan? Semua laki-laki pasti ingin mendapatkan perempuan yang sehat dan tentunya tidak menyusahkan. Bukan perempuan yang nggak punya masa depan kayak aku. Oke lah, mungkin sekarang aku belum sampai mikir ke sana. Aku belum ada pikiran buat nikah. Tapi beberapa tahun lagi, aku juga ingin merasakan hal itu terjadi.” Hafiza menarik napas perlahan. Mengambil pasokan oksigen banyak-banyak, karena dadanya terlalu sesak.  “Kalau seandainya memang ada laki-laki yang bisa menerima segala kurangku, aku juga mikir kedepannya gimana. Aku nggak mau terjadi sesuatu dengan anak-anak yang terlahir dari rahimku. Aku tahu resikonya besar. Kalau nggak cacat, ya akan mengalami gangguan kesehatan seperti jantung lemah dan hipoglikemia akibat dari insulin yang terus kukenakan,” sambungnya lagi dengan tatapan semakin sendu.    Allan menggeleng lemah. Ia menyeret kursi tunggu yang ada di sampingnya, lalu duduk di samping kanan Hafiza. Dirinya meraih tangan Hafiza yang bebas dari infus, lalu membawanya ke dalam genggaman.    “Kamu janga berkecil hati ya? tidak semua bayi yang terlahir dari ibu penyandang diabetes, terlahir dengan kondisi yang cacat atau penyakitan. Banyak kok yang terlahir normal dan sehat wal afiat tanpa kurang suatu apa pun. Itu semua bisa di atur, asal kamu mau mejaga pola makan, pola hidup yang baik, istirahat yang cukup dan yang paling penting tidak boleh stress. Kalau kamu banyak pikiran, penyakit itu pasti akan bersarang di tubuh kamu. Kamu nggak akan bisa lawan penyakitmu, jika sumber penyakit itu tidak segera kamu berantas. Percaya atau tidak, faktor utama yang membuat penyakit sering kambuh adalah terlalu banyak memilirkan apa yang seharusnya tidak kamu pikirkan. Coba over thingking-nya  dikurangin lagi.”    Hafiz atersenyum getir. “Tetap saja, Mas. Aku tidak bisa menampik hal ini. Aku begitu memikirkan nasib anak-anakku kelak.  Apa aku bisa menemani mereka sampai besar? Apa aku bisa menemani sumaiku sampai aku menua?” Hafiza memejamkan matanya. Membayangkan saja, dirinya sudah tidak sanggup.    Allan tersenyum. Setenang mungkin, dirinya mencoba menjelaskan pada Hafiza. Ia tidak mau Hafiza menjadi tersinggung mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Hafiza, apa yang kamu pikirkan itu terlalu jauh. Nggak ada yang bisa mengetahui kematian seseorang. Kematian itu pasti. Hanya saja, kita semua tidak ada yang tahu kapan waktunya mati. Jangan pikirkan itu. Kematian tidak memandang umur, kematian tidak memandang penyakit. Jangan cemaskan kematiannmu hanya karena penyakit. Orang yang sehat pun, kalau sudah waktunya mati ya mati. Meski dengan jalan yang tragis, contohnya saja kecelakaan. Hanya dalam hitungan detik, seseorang bisa menghembuskan napasnya. Jadi, jangan pikirkan lagi soal itu.” Allan mengusap rambut Hafizah penuh kelembutan. Membuat gadis itu merasa sedikit lebih tenang.    Hafiza kembali menatap Allan. Tatapan sayunya, semakin menambah kesedihan yang ia rasakan. “Kadang, pikiran buat bunuh diri selalu terlintas. Tapi, semuanya hanyalah sebatas angan, karena setiap mencoba selalu gagal. Akal sehatku terkalahkan dengan iman. Aku sadar, aku punya Allah. Jadi, aku nggak boleh mendahulu takdir.” Hafiza menarik napas kasar. “ Hemmm ... ya beginilah hidupku. Penuh drama dan kepura-puraan.”    Allan menggeser duduknya agar bisa lebih dekat dengan Hafiza. “Za, setiap orang punya masalah. Dulu, aku juga begitu. Aku pernah verada di titik terendah seperti kamu. Aku merasa benar-benar jatuh karena nilai IPK ku menurun. Dekan bilang, beasiswaku terancam dicabut.  Mendengar itu, aku jadi sangat frustasi. Bayangin, aku hidup di negeri orang dan aku adalah harapan keluarga. Kalau beasiswaku dicabut, aku mau jadi apa?”    “Terus, apa yang mas lakuin waktu itu?” tanya Hafiza antusias.    “Waktu itu, aku semakin terpuruk dan merasa capek untuk berjuang.  Tapi aku kembali bangkit setelah menatap wajah orang tuaku yang tersenyum di dalam galeri ponselku. Aku teringat satu pesan Mama. Beliau bilang gini. ‘Allah selalu ada bersama kita. Bersama orang-orang yang mengakui jika dirinya lemah hanya di hadapan Tuhan. Jadi, kita tidak perlu menyembah siapa pun selain Allah.’ Dari situ,  aku mulai semangat untuk memperjuangkan mimpiku. Memperjuangkan nasib yang selangkah lagi bisa kugapai.  Alhamdulillah, aku bisa melewati ujianku. Percayalah, jika jodoh, rezeki dan maut, semuanya sudah diatur sama Allah. Kamu nggak perlu takut ataupun ragu. Jadi, kamu harus semangat terus. Aku janji sama kamu, aku akan selalu ada buat kamu disaat kamu benar-benar rapuh. Kamu bisa pegang janjiku.”    Semua yang Allan ucapkan memang benar. Hanya Allah sebaik-baiknya tempat untuk meminta.    “Terima kasih banyak, Mas.” Hafiza tersenyum manis. Meski begitu, senyum itu tidak mampu menyembunyikan luka yang mendalam di hatinya.    “Sama-sama.” Allan menarik simpul sudut bibirnya. Membuat bibir tipisnya membentuk lengkungan sabit.       Bersambung dulu ya ...    Sampai bertemu di lain waktu.    Da dah ...    Muah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD