Pesona Sang Dokter

1862 Words
   Tari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Di sana, jarum jam menunjuk tepat pukul 4 sore. ‘Alhamdulillah, sudah waktunya pulang,’ suara batin Tari.    Tari menyunggingkan senyum. Rasa lelah yang ia rasakan, akan segera terbayar saat bertemu dengan Hafiza nanti.    Tumpukan  map yang menggunung sudah menunggu untuk dirapikan. Dengan cepat, Tari segera membereskan beberapa berkas yang ada di meja kerjanya.    Tari mengamati sekelilingnya. Ruang kerja dengan tulisan ‘resepsionis’ terlihat sudah rapi. Ia menarik napas lega karena pekerjaannya hari ini sudah tuntas.    Dengan cepat, Tari langsung menyambar tasnya dan segera melangkah menuju parkiran.    Sesampainya di parkiran, motor matic berskotlet hello kity itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi.    Sebelum menemui Hafiza di rumah sakit, Tari menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Ia harus mengganti bajunya sekalian bersih-bersih.    Sesampainya di rumah, Tari menghempas tasnya asal. Ia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Sejenak, ia memanjakan punggungnya yang nyeri agar tidak semakin kaku.    5 menit kemudian Tari beranjak. Rasa lelah yang sedari tadi sudah bergelanjut manja di seluruh tubuhnya, sama sekali tidak ia pedulikan. Demi Adiknya, apa pun akan Tari berikan.    Tari memungut tas yang tadi sempat ia lempar dengan asal, lalu menaruhnya pada tempat yang seharusnya.    Tari menyambar handuk dan bersiap untuk mandi.    Hampir 30 menit berlalu, Tari pun sudah bersiap dengan pakaiannya yang rapi. Setelan blous berwarna lavender yang dipadukan dengan kulot panjang warna hitam, ditambah polesan make up yang tidak terlalu tebal membuat penampilannya terlihat modis.    Tari mengambil tasnya. Tak lupa, ia mengenakan flat shoos hitam yang senada dengan celananya.    Sebelum menancap gas, Tari menelepon Hafiza. Barangkali, Hafiza membutuhkan sesuatu.    Tari merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan cekatan, Tari mengutak-atik ponselnya, Lalu mendial sebuah kontak yang diberi nama ‘Adik Bawelku.’    Tak lama, seseorang menyapanya di seberang sana.    [Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Mbak?]    Tari tersenyum mendengar suaranya. “Waalaikumussalam. Bentar lagi, Mbak mau ke rumah sakit.  Kamu butuh sesuatu?”    Terdengar helaan napas dari ponsel Tari.    [Duh, kirain ada apa. Nggak usah bawa apa-apa. Yang penting Mbak sampai sini dengan selamat. Itu udah cukup.]    Rasa haru tampak jelas di wajah Tari. Matanya mulai berkaca-kaca.    “Ya sudah, sebentar lagi Mbak berangkat. Kamu tunggu ya?”    [Iya, hati-hati di jalan.]    “Siap! Ya sudah, Mbak tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum.”    [Wa’alaikumussalam.]    Tut ....    Sambungan pun berakhir.    Tari mulai menancap gas motornya meninggalkan pelataran rumah yang tak terlalu mewah itu.    Motor Tari berjalan cukup lambat. Jam segini, jalanan memang suka macet. Jadi, ia harus ekstra sabar sampai tiba di rumah sakit.    Hampir 30 menit bergulat dengan jalanan yang padat, akhirnya motor Tari menginjak parkiran rumah sakit. Ia pun langsung mengambil karcis dan segera melangkah menuju kamar tempat Hafiza dirawat.    Ruang tertutup dengan pintu kaca minimalis yang cukup tebal mulai terlihat oleh penglihatan Tari. Dengan bertuliskan ‘Mawar 02’ yang terpampang di balik pintu, membuat Tari semakin yakin jika itu kamar inap adiknya.    Tari langsung membuka pintu tanpa berniat mengetuknya.    “Assalamualaikum,” ucapnya memberi salam.    Seketika, bau obat menguar menyapu indra penciumannya. Ruangan berdinding putih dengan suhu yang cukup dingin membuat Tari mengusap lengannya.   Tari kembali menutup pintu. Setelahnya, ia berjalan menghampiri Hafiza.    “Waalaikumussalam,” jawab Allan dan Hafiza bersamaan.    Perhatian Tari terkunci pada sosok pria dengan setelan kemeja berwarna maroon yang dipadukan dengan celana bahan berwarna abu. Jas putih yang membalut kemeja lengkap dengan stetoskop yang menggantung di lehernya, membuat Tari semakin yakin, jika pria tampan itu seorang dokter.    “Eh, ada Pak Dokter. Ini dokter barunya Hafiza, ya? Belum pernah lihat sebelumnya. Biasanya, dokter jenggot yang memeriksa Hafiza.”    “Dokter jenggotan itu punya nama kali, Mbak. Namanya Dokter Bambang! Udah dikasih tahu berkali-kali, masih aja manggil Dokter Jenggotan,” tegur Hafiza membuat Tari meringis.    Allan terkekeh di tempatnya. “Ini saudaranya Hafiza ya?” tebak Allan. Sekilas, keduanya terlihat mirip. Hanya saja, Tari tampak lebih bersih dari Hafiza. Tapi kalau soal manis, Tari masih kalah jauh dari Hafiza.    Tari memberi senyumnya yang ramah. “Iya, Dok. Saya Tari, kakaknya Hafiza,” jawab Tari sembari memperkenalkan diri.    Mata Tari masih betah menjelajah dari atas sampai bawah. Tidak ada cela sedikit pun. Tubuh atletis dengan rahang kokoh dan wajah rupawan bak Dewa Yunani, membuat Allan semakin menarik di matanya. Satu kata yang mampu Tari ucap dalam hati. ‘sempurna.’     Allan mengunci tatapan Tari. Untuk beberapa saat, Tari jatuh pada pesona sang dokter. “Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Allan Mahendra. Dokter spesialis penyakit dalam yang bertanggung jawab untuk memantau perkembangan Hafiza selama Hafiza masih menjadi pasien di rumah sakit ini.”    “Dokter Jenggotnya ke mana? Eh, maksud saya Dokter Bambang.”Tari menunduk malu. Wajahnya pun tampak bersemu.    “Dokter Bambang sudah pindah tugas di luar provinsi. Alhamdulillah, saya sendiri yang direkomendasikan Dokter Bambang untuk menggantikan beliau dalam memantau pasien-pasiennya, termasuk Hafiza.”    Tari memanggutkan kepala. Diliriknya Hafiza sebentar, lalu tatapannya kembali berpusat pada Allan. Tak ingin obrolannya berakhir, Tari mencoba cari topik baru. “Bagaimana kondisi adik saya, Dok? Kapan bisa pulang?”    Dengan senang hati, Allan memberi tahu perkembangan Hafiza saat ini. “Alhamdulillah, konsisinya sangat baik. Bahkan, tadi pagi sudah keluyuran dari ranjang. Untuk kepulangan Hafiza, tergantung kondisinya. Kita lihat dua hari ke depan. Kalau dirasa sudah tidak membutuhkan perawatan intensif lagi, Hafiza sudah bisa pulang,” jelas Allan panjang lebar.    Tari menghembuskan napas lega. Diliriknya sang adik yang senyum kegirangan.    “Seneng banget, kamu Dek? Sepertinya, udah nggak perlu dirawat lagi deh,” goda Tari.    “Sepertinya begitu. Tadi siang juga sudah bisa cerita panjang lebar,” timpal Allan membuat hafiza tersipu. Memang benar, dirinya sudah tidak sabar pulang ke rumah. Rindu dengan suasana kamar yang menenangkan, dan boneka beruang kesayangannya.    “Wah, wah, wah, cerita apa, nih? Kok aku nggak diajak?” tanya Tari dengan wajah yang ditekuk seperti orang merajuk. Terlihat sangat menggemaskan.    “Kan Mbak kerja? Mana bisa ajak Mbak Tari. Lagi pula, kita cuman bahas seputar penyakit aja, kok. Nggak bakal menarik di mata Mbak Tari,” balas Hafiza.    “Hust! Nggak boleh ngomong gitu, ah! Mbak nggak suka.” Mata Tari menatap Hafiza sendu. Dirinya paling benci saat Hafiza menyinggung soal penyakit.    Diraihnya tangan Hafiza ke dalam genggaman. Ia tersenyum manis pada sang adik, tapi kilatan mantanya tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.    “Maafin Mbak ya, Dek. Di saat kamu seperti ini, Mbak malah ninggalin kamu sendirian. Maaf, kalau Mbak belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu.” Tari semakin menunduk. Dirinya tidak mau Hafiza melihatnya bersedih.    Hafiza menangkub pipi Tirus perempuan cantik di hadapannya. “Mbak nggak perlu minta maaf. Hafiza paham kalau Mbak Tari juga harus bekerja. Hafiza nggak papa, kok. Justru Hafiza yang minta maaf, udah bikin Mbak Tari susah. Mbak nggak perlu khawatir sama Fiza. Lagian, Hafiza nggak sendiri kok, tadi. Ada Dokter Allan yang temenin Hafiza dari siang. Mungkin, Pak Dokter kasihan kali ya, lihat jomblo sendirian. Gini amat nasib jomblo.”    Hafiza berusaha membuat lelucon untuk menyamarkan kesedihannya. Namun sayangnya, lelucon itu justru membuat dirinya menjadi terledek.    Allan terkekeh. “Saya tulus kok orangnya.”    “Ekhem.” Suara deheman dari Tari membuat Allan dan Hafiza salah tingkah.     “Ekhem.” Allan ikut berdehem untuk menyamarkan rasa malunya. “Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu,” imbuhnya.    “Kok buru-buru?” tanya Tari tak enak hati. ‘Apa mungkin Allan tak nyaman dengan kehadirannya?’ batin Tari bertanya-tanya.    Allan mengangguk. “Berhubung Hafiza sudah ada yang jaga, saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya selesaikan.”    Tari tak berkutik. Mau tak mau, dirinya harus melepas Allan pergi. Sudah tidak ada lagi alasan untuk membuatnya tetap di sini. “Baiklah. Terima kasih banyak, karena Dokter Allan sudah menemani adik saya. Mari, saya antar ke luar.”    Rani mempersilakan Allan untuk berjalan terlebih dahulu. Namun sebelum itu, Allan mempusatkan perhatiannya pada Hafiza.    “Hafiza, saya pamit dulu ya? Dijaga baik-baik kesehatannya. Jangan banyak pikiran, Jangan makan sembarangan. Makan yang dikasih sama rumah sakit saja. Jangan makan yang dari luar, ” pesan Allan pada Hafiza.    Hafiza menempelkan telunjuknya di bibir Allan. Hafiza paling tidak suka jika diingatkan soal makanan.Dirinya jadi malas karena itu membuatnya teringat akan penyakitnya. “Sssttt! Bawel!” ketus Hafiza.    Hafiza kembali menarik tangannya. Ia kelihatan bete.    “Dek, nggak boleh gitu ah! Nggak sopan,” tegur Tari.    “Nggak papa, Mbak. Udah biasa diginiin,” timpal Allan.    Hafiza melirik Allan. “Kok jadi curhat?” tanyanya.    “Fiza!” tegur Tari untuk yang ke dua kalinya dengan mata melotot.    “Hehe ....” Hafiza nyengir tanpa dosa.    Allan menarik napas panjang. Mencoba bersabar dengan kelakuan Hafiza yang unik ini.    “Saya permisi dulu,” ucapnya ramah.    “Pak Dokter.” Tarikan tangan Hafiza membuat Allan urung beranjak dari tempatnya.    “Ya?” Allan kembali mempusatkan perhatiannya pada Hafiza.    Hafiza menarik sudut bibirnya. “Terima kasih banyak untuk hari ini,” ujanya tulus.    Alan menyunggingkan senyumnya. “Sama-sama, Hafiza.”    Hafiza menunduk sebentar. Menggigit bibir bawah sambil sesekali merenung. “Emmm ... kalau nggak repot, besok ke sini lagi ya? Biar aku ada temennya,” pinta Hafiza ragu sekaligus malu.    Tari tersenyum. Adiknya memang punya banyak cara untuk membuat orang selalu nyaman dengannya. “Modus!” goda Tari.    Hafiza tampak nyengir kuda. Diliriknya sang kakak yang tengah melempar senyum ke arahnya. “Nggak modus. Cuman bosen kalo sendirian.”    Allan terkekeh, “Iya, besok saya ke sini lagi.”    Hafiza menepuk kedua tangannya keras. “Yes!” ucapnya bersamaan dengan suara dari tepukan tangannya.    Hafiza melanjutkan ucapannya lagi. “Silakan, Pak Dokter bisa pergi dari sini.”    Allan menatap Hafiza tajam. Muka kusutnya tertekuk sempurna. “Oh, jadi ceritanya saya diusir nih? Gitu, ya? habis manis sepah dibuang.”    Hafiza menggigit kukunya. ‘Duh, salah ngomong,’ batinnya dalam hati.    “Emmm ... nggak gitu maksud aku. duh, gimana ya jelasinnya?!” Hafiza jadi kesal sendiri.    “Kalau nggak gitu, terus gimana?” uber Allan.    Hafiza tampak berpikir. Tapi sayangnya, otaknya sekarang tidak bisa diajak kompromi. Hafiza melirik Tari. Berharap, sang kakak mau membantunya. “Mbak, Bantu jelasin,” rengek Hafiza.    Tari mengkerutkan alisnya. “Hah? jelasin apa?”    Hafiza tersenyum kecut. Ia melirik Allan sekilas. Namun tatapannya, terkunci oleh tatapan Allan yang juga menatap dirinya. Pandangan keduanya saling beradu.    “Apa lirik-lirik!” tukas Allan.    “Hehe ... enggak.”    Hafiza melirik Tari. “Bantu jelasin sama Pak Dokter, kalau Hafiza nggak niat ngusir.    Tari berdecak sembari bersilang da da. “Ckck! Jelasin aja sendiri. punya mulut, ‘kan?”    Hafiza memicingkan matanya. Ia terlihat sangat kesal. “Dih, nggak pren kita!”    Hafiza membuang muka ke arah lain, membuat Allan dan Tari terkekeh di tempat.    Allan mendekatkan dirinya. ia memaksa Hafiza untuk memandangnya. “Salim dulu sama Om,” Allan mengulurkan tangan pada gadis itu.    Hafiza menatap Allan sinis. “Ompong!” tukasnya.    Tari sudah terbahak di tempatnya.    Allan memaksa Hafiza meraih tangannya. Kemudian, ia membawa tangannya sendiri agar dicium Hafiza. “Assalamualaikum,” ucapnya saat hidung dan bibir Hafiza menyentuh tangan kokohnya.    “Wa’alaikumussalam,” jawab Tari dan Hafiza.    Allan pun berlalu diikuti Tari dari belakang.    Tari mengantar Allan hingga depan pintu. Setelahnya, ia kembali masuk untuk menemani sang adik.      Hai, Hai, Hai. Sampai bertemu di lain waktu. Up[date selow dulu ya! Tanggal 1 Dailly cerita Seamin Tak Seiman, yang tentunya tidak kalah keren.    Da dah ...    Muah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD