Hendra

1060 Words
Wati berbaring di kasur yang ada di kamarnya. Kamar kecil yang hanya diisi satu kasur berukuran 200x180, satu lemari pakaian, dan satu kipas angin kecil yang tergantung di langit-langit kamar. Wengi berbaring di sisi Wati, dia mulai membaca surat-surat juz amma yang dia hapal sampai napas wati yang teratur menandakan dia sudah terlelap. “Alhamdulillah, Ibu sudah tidur.” Wengi memutuskan ke luar dari kamar dan duduk di kursi ruang tamu.  Matanya menerawang jauh, mengingat semua kenangan di rumah ini. Kenangan saat Kakek dan neneknya masih hidup. Tidak lama berselang, suara pintu diketuk terdengar, dengan malas Wengi berjalan membuka pintu untuk melihat tamu yang datang. "Assalamualaikum," sapa seorang laki-laki berpostur tinggi dengan pipi chubby dan lesung pipi disebelah kiri. Dia memakai topi hitam dengan setelan kemeja dan jeans slim fit membuatnya terlihat tampan. "Waalaikumsalam, ada perlu apa, Dra?" tanya Wengi pada laki-laki yang bernama Hendra. Hendra adalah sahabat Wengi dari semenjak dia kanak-kanak, dia kini berkuliah di Institut Pertanian Bogor. Hendra berasal dari keluarga berada sehingga dia mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, berbanding terbalik dengan Wengi, yang untuk makan sehari-hari saja dia harus bekerja keras. "Boleh aku duduk?" Hendra menatap Wengi, gadis yang teramat dirindukannya beberapa bulan ini. . "Di sini saja ya." Wengi duduk di ranjang yang berada di luar rumah diikuti Hendra "Mau aku ambilkan minum? Cuma ada air putih," tawar Wengi sekedar basa-basi. "Gak usah, aku gak lama,” tolak Hendra dengan netra mata yang terus menatap Wengi, menyiratkan sebuah kerinduan yang teramat besar untuk seorang gadis yang duduk di sisinya. “Aku cuma ingin memastikan kalau kamu sehat. Jauh dari kamu membuatku sadar kalau aku selalu merindukanmu," aku Hendra, matanya memandang penuh cinta pada sosok Wengi. Wengi sadar sejak dulu Hendra selalu memberikan perhatian lebih padanya. Hendra juga selalu membantu Wengi, setiap kali ada tugas yang memerlukan biaya atau sekedar membantunya menghabiskan dagangan Wengi. Namun, dia sadar diri dan dia tidak mau perhatian yang Hendra berikan membuat dirinya melambung tinggi. Sekuat tenaga Wengi mengusir pesona Hendra yang kerap datang dalam lamunannya. Sungguh dia tidak ingin jatuh cinta kalau pada akhirnya cinta itu justru akan membuat dirinya terhempas dengan rasa yang teramat sakit. Dia sudah satu paket dengan Wati, tak bisa dia mengabaikan sang ibu yang kini hanya memiliki dirinya. Keluarga Hendra mungkin bisa menerima Wengi. Namun, belum tentu mereka bisa menerima Wati. "Terima kasih," balas Wengi singkat. Kepalanya terus menunduk, memandang ujung jari kaki yang dia ayun-ayunkan. Tidak puas dengan jawaban Wengi, Hendra menggeser posisi duduk, tatapan matanya lurus ke arah Wengi. "Apa kamu tidak merindukanku?" "Apalah arti rinduku, rindu dari anak orang gila hanya akan menyusahkan hidupmu." Wengi membalas tatapan Hendra dengan seulas senyum yang terasa getir untuknya. Dia ingin pria di sampingnya sadar kalau mereka teramat berbeda. "Bukannya aku tidak pernah mempermasalahkan keadaan Ibumu?" "Kamu gak hidup sendiri, Dra. Aku gak berharap apa pun. Lebih baik kamu fokus kuliah supaya bisa segera meraih gelar sarjana dan…," "Dan melamar kamu? Untuk jadi istriku." potong Hendra. “Tidak Hendra, masih banyak wanita baik yang bisa kau pilih untuk menjadi pendamping hidupmu. Yang jauh lebih pantas berada di tengah keluargamu,” elak Wengi. Dia tidak ingin ungkapan perasaan pria di sampingnya membuat angannya berkembang dan merajut sebuah harapan tak pasti. Bagi Wengi, berharap pada manusia hanya akan membuanya kecewa. “Aku tdak peduli dengan wanita lain, hatiku hanya menginginkanmu.” “Sudah aku pikirkan semuanya, sebelum aku melangkah pasti ke rumahmu. Harapanku hanya satu Wengi, kamu bersedia menungguku.” “Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik dalam hidupmu, Ndra. Sungguh aku sudah pasrahkan kemana pun kehidupan ini membawaku.” Wengi kembali melirik Hendra yang sedari tatapannya fokus pada Wengi. “Aku gak mau berjanji apapun, aku yakin Allah sebaik-baiknya penentu jalan hidupku,” sambungnya tak ingin memberi kepastian apapun pada Hendra. “Apa kali ini kamu menolakku juga, Wengi? Apa ada laki-laki lain yang mengisi hatimu?” Wengi menggeleng, sungguh dia tak pernah memikirkan pria mana pun. Yang ada dalam pikirannya kini hanya tentang bagaimana dia bisa melanjutkan hidup berdua dengan Wati. ‘Kalau pun ada pria yang mengisi hatiku, itu kamu. Bukan yang lain,’ batin Wengi yang tak mampu dia perdengarkan pada Hendra. Wengi menghempaskan napasnya perlahan, dia memaksa menarik kedua sudut bibirnya agar membentuk sebuah senyuman. “Sungguh aku belum memikirkan sebuah hubungan dengan pria manapun.” Sebuah jawaban yang membuat seulas senyum terbit di wajah Hendra. “Berarti masih ada harapan untuk aku bisa menghalalkanmu?” "Kuburlah perasaanmu, tidak akan ada masa depan bahagia kalau kamu berharap bisa bersamaku." Wengi berdiri dari duduknya. Hendra yang masih duduk pun mendongak menatap wajah Wengi. "Aku akan buktikan kalau perasaanku tidak semudah itu dikubur, orang tuaku menyerahkan pilihan sepenuhnya kepadaku, siapapun calon istriku mereka akan menerima dengan tangan terbuka." "Bukan pilihan untuk memperistri anak dari orang gila yang sebatang kara tanpa sanak saudara,” ujarnya dengan suara yang mulai bergetar. Sebuah kalimat yang terasa getir, tapi itulah kenyataan yang harus dia ungkapkan. Dia tidak ingin keberadaan Wati di sisinya kelak akan di permasalah, baik oleh Hendra maupun keluarganya. “Pulanglah, terima kasih untuk semuanya. Assalamualaikum." Wengi masuk dan menutup pintu. "Wengi, aku gak akan menyerah, akan ku buktikan kesungguhanku," janji Hendra yang dia yakin masih bisa didengar Wengi di balik pintu. “Sekuat tenaga kamu menolakku, sekuat itu pula aku akan berusaha mendapatkan cintamu.” Hendra berdiri di depan pintu yang tertutup, dia yakin Wengi pasti mendengar ucapannya. “Aku mencintaimu Wengi Kusuma,” sambungnya sebelum berjalan meninggalkan rumah dari gadis yang begitu ia kagumi. Semua perkataan Hendra begitu terasa menyesakkan d**a Wengi. Luruh sudah pertahanannya, dengan perlahan tubuh Wengi luruh dan duduk di depan pintu, tangisnya pecah. Dia meringkuk membenamkan kepala di atas kedua lututnya. 'Sadar Wengi, jangan pernah berpikir tentang cinta karena itu akan menyakitimu. Sadar Wengi, kamu hanya anak orang gila yang sebatang kara, untuk apa memperjuangkan sesuatu yang sudah jelas hasilnya. Lebih baik kamu tetap fokus merawat ibu, jangan biarkan anganmu melambung tinggi karena pada akhirnya, kau tetap akan terhempas juga.' Wengi mengangkat wajahnya, diusap air mata yang membasahi wajahnya. Sungguh dia begitu ingin membalas ungkapan cinta Hendra. Dia tidak bisa membohongi suara hati terdalamnya yang berteriak cinta pada pria yang baru saja datang menemuinya. “Aku yakin seiring berjalannya waktu, Hendra bisa melupakanku. Aku pun bisa melupakannya. Biarlah kupasrahkan segala urusan hidupku pada Allah saja. Tak mau aku berharap pada manusia yang rentan memberikan rasa kecewa,” gumam Wengi.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD