Surti

1046 Words
Flashback Sembilan belas tahun lalu, Surti turun dari sebuah mobil mewah. Dia bersama Wati dan Wengi yang masih berusia satu hari digendongnya. "Bu, tolong jagain Wati dan Wengi, Ibu jangan kembali lagi ke kota untuk mencari kami, Bram sudah meninggal,” ucap Linda. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Seorang ibu mertua yang selalu memperlakukan Wati dengan begitu baik meskipun keluarga besarnya begitu menolak keberadaan Wati yang sudah sah menjadi istri dari Bramantyo, anaknya. Linda meraih tangan Surti, matanya mulai berkaca-kaca. Bukan dia tega meninggalkan Wati dan cucunya Wengi di dusun yang begitu jauh dari tempat tinggalnya. Namun, semua ini terpaksa dia lakukan. “Tolong ibu urus anak dan cucu Ibu.” Linda kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini sertifikat rumah dan tanah, yang ini sertifikat sawah dua hektar yang bisa ibu gunakan untuk biaya hidup kalian. Saya minta maaf harus melakukan ini, Saya gak mau papanya Bram yang bertindak lebih dulu. Bagaimana pun Wengi cuci saya bu, maafkan saya," mohon Linda dengan air mata yang mulai menitik. Namun dia tepis agar luapannya tak bertambah deras. "Terima kasih, Bu," ucap Surti terbata. “Saya akan menjaga mereka. Hanya mereka berdua keluarga saya.” Air mata Surti berlinang jatuh, bagaimanapun dia seorang Ibu, hatinya rapuh dan sedih meratapi nasib anak dan cucunya yang diusir dari keluarga besar sang besan setelah kematian sang suami. Meskipun Surti masih merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kematian sang menantu karena tidak tahu penyebab Bram yang sehat wal afiat tiba-tiba dikabarkan meninggal. Surti dan Wati pun tidak diijinkan hadir ke pemakaman Bram. "Saya pamit, Bu, insya Allah kalian aman di sini, ini buat pegangan ibu," pamit Linda. Linda memberikan amplop berisi uang sepuluh juta rupiah dan menyalami tangan Surti. Dia juga memeluk Wati dan mencium cucu pertamanya, Wengi. "Maafin Mamah, Wati," "Mas Bram mana, Mah," tanya Wati yang tidak tahu kemana sang suami sebenarnya. “Bukannya Mamah sudah bilang kalau suami….” Linda tidak mau melanjutkan kalimatnya. “Tidak mungkin Mah, tidak mungkin Mas Bram ninggalin kami begitu saja. Apa Papah yang menyuruh Mamah membuang kami ke sini?” tebak Wati dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tahu sejak awal pernikahannya dengan Bram, keluarga besar suaminya tidak menyukai Wati. Mereka begitu terang-terangan memperlihatkan rasa tidak suka mereka pada Wati. Bukan hanya sang papah mertua, tapi kakak Bram, kakek dan nenek suaminya pun terlihat memandang dirinya dengan begitu hina. Linda menggeleng, dia ingin mengelak tebakan Wati yang tidak sepenuhnya salah. Namun dia benar-benar tidak ingin membahayakan Wati dan Wengi atas rencana gila sang suami dan kedua mertuanya yang sempat dia dengar saat malam sebelum Wati melahirkan. “Memang itu kenyataan Wati, kamu harus ikhlas menerimanya. Bram, sudah tidak bisa menjaga kalian berdua lagi. Dia sudah….” “Mamah bohong, tega-teganya Mamah bilang anak sendiri sudah meninggal sedangkan aku yakin Mas Bram masih hidup. Katakan dimana Mas Bram Mah?” Wati menekuk kedua lututnya dengan kedua tangannya memegang lengan Linda. Linda tidak menjawab, dia membantu Wati berdiri dan memeluknya, membisikan kalimat permohonan maaf kemudian masuk kembali ke dalam mobil meninggalkan Wati dan Wengi di sebuah dusun yang sangat asing untuk mereka. Sepulangnya Linda, Pak RT datang ke rumah Surti untuk menyambut warga baru di dusun Karang Anyes, dia juga menunjukan sawah yang menjadi milik Surti sesuai dengan akta tanah yang diberikan Linda. Kehidupan Surti dan anak cucunya memang terpenuhi dari uang dan tanah yang diberikan Linda. Namun, sejak kepergian Linda, Wati tak henti menanyakan keberadaan sang suami. Wati tidak percaya kalau Bram sudah meninggal karena dia tidak melihat jasad Bram. Sejak saat itu emosi Wati tidak terkontrol, dia sering mengamuk dan membanting barang, tetapi satu hal yang tidak pernah dia lakukan adalah menyakiti bayi mungilnya. Bayi cantik bernama Wengi hasil dari buah cinta dia dan Bramantyo, suaminya. "Wengi, Kamu gak boleh tinggalin Ibu. Cuma kamu kebahagiaan Ibu, Wengi harus terus sama Ibu, Ibu gak mau Wengi pergi jauh seperti ayahmu," gumam Wati berulang-ulang ketika dia mengayun Wengi di Ayunan kain yang di pasang Surti di ruang televisi. Surti hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Wati, dia sudah mencoba membawa wati ke dokter, ke orang pintar, ke kiyai, tetapi menurut mereka, Wati seolah nyaman hidup dalam dunianya. Sehingga tidak ada keinginan sama sekali untuk sembuh dan bangkit. Obat yang dikonsumsi Wati hanya untuk membuatnya tenang dan tidak mengamuk. Surti juga terpaksa menjual satu hektar sawah pemberian Linda yang digunakan untuk pengobatan Wati, tetapi belum juga ada hasil. Akhirnya, dia hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesembuhan anaknya. Bukan Surti tidak mau menjual semua sawah pemberian Linda. Namun, dia harus berfikir untuk masa depan Wengi. "Bi Surti besok bisa kerja di sawah saya?" tanya Mila tetangga Surti yang sering menyuruhnya kerja di sawah. "Bisa Mil, sawah yang dimana?" "Yang di ujung desa itu, Bi." "Inggih Mil, nanti pagi saya langsung ke sana." Surti menjadi buruh tani untuk biaya makan sehari-hari mereka, sedangkan sawah pemberian Linda yang satu hektar, dia sewakan ke Marjuki. Dia menerima padi kering tiga ton setiap musim panen pertama sebagai biaya sewa yang diberikan Marjuki. Marjuki adalah tuan tanah di kampung tersebut, tetapi meski sawahnya berhektar-hektar keluarga Marjuki tetap rendah hati. Anak kedua Marjuki, Hendra seusia dengan cucu Surti. "Wati, lihat Hendra sudah ganteng, sudah wa-ngi, sini biar aku mandikan Wengi, terus didandani biar cantik, boleh ya," pinta Halimah pada Wati. Wati mengangguk dan menyerahkan Wengi pada Halimah. Halimah istri Marjuki kerap kali mengajak Wati ke rumahnya, Halimah akan memandikan dan mendandani Wengi setiap pagi dan sore. Hanya Halimah dan Surti orang yang diijinkan Wati menyentuh Wengi. Selain mereka berdua, sudah dipastikan Wati akan mengamuk bahkan, melempari orang yang hendak mengajak Wengi dengan batu, kerikil atau apapun yang dia temukan. Sering kali karena hal itu Surti harus mengganti biaya pengobatan dari orang-orang ataupun anak-anak yang menjadi korban amukan Wati. Namun, warga Dusun Karang Anyes tetap selalu berbaik hati menawarkan pekerjaan ataupun memberikan makan pada Surti dan Wati. Bahkan, ada juga yang memberikan pakaian, popok dan s**u untuk Wengi. Tidak ada yang mengucilkan mereka. Warga malah sangat berempati pada keluarga Surti “Terima kasih ya Allah, meski kami cuma pendatang, orang-orang di kampung ini memperlakukanku selayaknya keluarga, cuma Wati dan Wengi yang aku punya, kutitipkan mereka pada-Mu ya Allah. Tak selamanya aku hidup, cepat atau lambat aku akan kembali pada-Mu." Setiap usai salat, kalimat itu begitu seringnya dia ucapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD