Menghadiri Pemakaman

1490 Words
Saat diwawancara, Jenny mengatakan sambil terisak di depan kamera. Begitu juga dengan kedua anaknya yang ternyata bernama Lucas dan Levin Prayoga. Mereka benar-benar menunjukkan wajah kesedihan yang Aina yakin hanya dibuat-buat. “Bukankah kedua pria itu yang semalam memukuli Bang Danu?” ujar Aina saat melihat kedua pria itu mengarang kebohongan depan kamera wartawan. Tentu berita seperti itu, membuat Aina semakin sedih. Ia tahu betul, Danu bukan seorang kriminal dan Danu sangat setia kepada Bara, mana mungkin dia mencuri apa lagi membunuh majikan yang sudah sangat baik padanya. Aina juga yakin, Danu meninggal bukan karena kecelakaan motor. Ia masih ingat dengan jelas saat Danu diseret sudah dalam keadaan tak berdaya, mana mungkin bisa mengedarai? apa lagi mengendarai motor. Itu sangat mustahil menurutnya. “Bang, kenapa Abang tega meninggalkan aku? Aku belum siap ditinggal Abang. Aku belum bisa apa-apa tanpa Abang. Jangan pergi, Bang!” Aina terisak dari balik pohon beringin saat jenazah Danu dimasukkan ke dalam liang lahat. Danu dimakamkan berdampingan dengan makam Bara karena kematian mereka hanya berbeda beberapa jam saja. Mata Aina yang tertutup air mata, segera ia hapus saat berusaha memperjelas pandangannya. Ia melihat seorang pria yang sangat ia kenal. Pria yang menjadi cinta pertamanya dan hingga detik ini masih bertakhta di hatinya. “Bukankah itu Kak Bi?” ujar Aina. “Tapi Kak Bi bukan anggota keluarga Prayoga, kenapa Kak Bi ikut dalam pemakaman Tuan Bara?” ucapnya penasaran. Dari kejauhan Aina terus menyaksikan proses pemakaman Danu dan Bara hingga selesai. Ia hanya bisa menangis dari balik pohon. Mata Aina seakan tidak memiliki rasa lelah menangis sejak pagi tadi. Bahkan, saat ini matanya tidak bisa terbuka dengan sempurna karena, kedua pelipisnya sudah membengkak. “Bang, aku ingin peluk Abang. Aku sayang Abang. Siapa yang akan melindungi aku, Bang,” isak Aina ke sekian kalinya. Setelah pemakaman selesai dan hari mulai gelap, semua orang sudah pergi meninggalkan pemakaman. Aina segera berlari menuju makam Danu, hingga hampir terjatuh. Aina langsung memeluk gundukan tanah yang sudah menutup tubuh Danu, seolah tanah itu adalah tubuh Danu. Aina kembali menangis sejadi-jadinya sambil terus meluapkan kesedihannya lewat kata-kata. “Bang, jangan pergi. Aina belum siap kehilangan Abang. Abang harus tepati janji Abang. Abang bilang akan selalu menjaga Aina sampai Aina menikah nanti. Kalau Abang pergi, siapa yang akan menjaga Aina, Bang?” ucap Aina dalam tangisnya. “Aina belum siap hidup sendiri. Bangun, Bang, bangun!” Aina memukuli makam Danu, seolah pukulannya bisa membangkitkan Danu dari kematian. “Aina sangat menyayangi Abang. Aina ingin ikut, Bang. Kenapa semalam Abang mengunci Aina? Kenapa kita tidak hadapi saja mereka bersama? Aina pasti bisa bantu Abang, kalau semalam Abang tidak mengunci pintunya. Ajak Aina, Bang. Bawa Aina pergi.” Aina menangis di makam Danu hingga sesenggukan. Ia bahkan tidak peduli dengan baju dan wajah yang kotor terkena tanah makam yang masih basah. Ia terus memeluk tanah dan sesekali mengusap batu nisan yang bertuliskan Danu Prayoga. “Mereka tidak tahu nama Abang. Nama Abang bukan Danu Prayoga, tapi Danu Pratama. Besok aku akan mengganti dan membenarkan nama Abang. Abang itu keluargaku, bukan keluarga mereka!” protes Aina dalam tangisnya. Meskipun tidak ada yang menanggapi. Saat Aina masih ingin menangis, tiba-tiba beberapa cahaya lampu mobil berhenti di jalan dekat makam. Aina segera mengusap air matanya dan kembali bersembunyi di balik pohon beringin tadi. Aina terus memperhatikan dari kejauhan segerombolan orang yang keluar lebih dulu hanya untuk membuka satu pintu mobil. “Siapa pria itu?” gumam Aina. Aina terus memperhatikan gerak-gerik seorang pria yang keluar dari mobil dengan pakaian serba hitam dan lengan baju yang memperlihatkan otot kokohnya juga dadda bidang yang tercetak jelas. Pria itu berjalan menuju makam Bara. Aina melihat pria itu berlutut di pusaran pria terkaya dengan berbagai bisnis di Indonesia dan negara Asia. “Apa dia anaknya Tuan Bara juga?” Saat pria itu berlutut, Aina melihat segerombolan orang yang mengikutinya pergi. Meskipun gelap, Aina masih bisa melihat jika pria itu menunjukkan kesedihannya sambil mengusap batu nisan Bara. “Sepertinya dia benar-benar anggota keluarga Prayoga. Lalu dia siapanya Tuan Bara? Apa aku bisa memasuki keluarga Prayoga melalui pria itu?” Aina berpikir sambil mengedarkan pandangannya berusaha untuk mengambil keputusan yang tepat di saat yang sempit. “Benar! Aku harus memasuki keluarga Prayoga. Aku harus tahu penyebab kematian Bang Danu!” Aina kembali mengedarkan pandangannya mencari apa pun untuk memukul tengkuk pria itu, hingga akhirnya ia menemukan batang pohon tak jauh dari tempat ia bersembunyi. Kemudian Aina berjalan seperti biasa dengan sebatang kayu di belakangnya. Pria itu tidak menaruh curiga sedikit pun saat melihat seseorang melintas di dekatnya karena, ia pikir hanya penziarah biasa, hingga tiba-tiba sebuah bayangan berhenti tepat di belakangnya. “Maafkan saya, Tuan!” ucap Aina sambil mengangkat batang kayu di genggamannya. Baru saja pria itu ingin berbalik. Namun, sebuah pukulan sudah lebih dulu mengenai tengkuknya hingga ia hilang kesadaran. Setelah berhasil membuat pria itu pingsan, Aina segera menyeretnya ke gubuk warung dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi tadi. Aina menyeret secepat mungkin sebelum segerombolan pria tadi mengetahui tindakannya. “Ish ... kenapa berat sekali?!” keluh Aina saat menyeret pria yang dia sendiri belum tahu identitasnya dan tanpa ia ketahui pula tindakan tepat atau tidak. Dua menit kemudian Aina tiba di warung yang tidak ada pencahayaan sama sekali. Dan ia tidak tahu sama sekali, entah masih terpakai atau tidak warung itu. Pakaian keduanya yang serba hitam, membuat keberadaan mereka tidak bisa terlihat dari kejauhan. Aina segera berbaring di samping pria yang ia seret, untuk menyamarkan keberadaannya. Lima menit kemudian, ia mendengar teriakkan beberapa suara pria yang memanggil nama Tuan Andra berkali-kali yang disusul bunyi tembakan. “Apa dia Andra Prayoga yang Bang Danu maksud?” ucap Aina sambil menoleh ke samping kiri, menatap Andra yang masih tidak sadarkan diri. Dor ... dor ... dor .... Bunyi tembakan yang terdengar lebih dekat, membuat Aina ketakutan hingga ia naik ke atas tubuh Andra mencari perlindungan. Meskipun Andra tidak akan bisa melindunginya. “Bang, Aina takut ...,” ucapnya dan menganggap tubuh Andra adalah tubuh Danu. Aina terus tengkurap di atas tubuh Andra 45 menit lamanya hingga keadaan makam sudah sepi. Mobil yang tadi mengiringi Andra pun sudah tidak terparkir lagi di sisi jalan. “Sepertinya mereka semua sudah pergi,” gumam Aina. Aina segera beranjak dari tubuh Andra untuk mencari bantuan. Ia berlari secepat mungkin agar bisa membawa Andra pergi secepatnya karena ia yakin anak buahnya pasti akan kembali lagi. Dari kejauhan, Aina melihat dua orang penggali kubur dengan cangkul yang mereka pikulkan di bahu masing-masing. Ia pun segera berlari menghampirinya mereka. “Pak, tolong, suami saya pingsan!” ujar Aina dengan wajah panik yang dibuat-buat. Melihat pakaian Aina yang kotor dan mata yang sembab, tentu kedua pria itu berpikir bahwa, Aina adalah seorang istri yang bersedih karena menghadiri pemakaman sanak saudara. “Di mana suaminya, Mbak?” tanya salah satu pria. “Itu, di gubuk warung dekat dengan pohon beringin!” Aina menunjuk tempat dia meninggalkan Andra. “Aduh, Mbak! Itu warung udah lama gak dipake, gimana kalo tiba-tiba warung itu roboh dan menimpa suami, Mbak?!” ucap pria satunya. “Aduh, saya gak tahu, Pak!” Ketiganya langsung berlari menuju tempat Andra berada. Jika kedua pria itu lari dengan panik, takut yang mereka khawatir terjadi, Aina justru tidak terlalu khawatir dengan keadaan pria yang akan ia sembunyikan beberapa hari di apartemennya. “Dia benar-benar tertimbun pun, aku tidak peduli. Itu bukan urusanku,” batin Aina. Kedua pria itu dengan sigap mengangkat tubuh Andra yang masih tidak sadarkan diri. “Kita bawa ke mana suaminya, Mbak?” “Bawa ke mobil saya, Pak. Itu, di sisi jalan dekat tiang lampu.” Aina menunjuk posisi mobilnya yang terparkir agak jauh dari area pemakaman. Kedua pria itu langsung membawa tubuh Andra dengan cepat menuju mobil Aina. “Suaminya pingsan kenapa, Mbak?” tanya salah satu pria. “Dia habis ziarah ke makam mantan istrinya, Pak. Dia masih belum bisa kehilangan mantan istrinya dan menangis hingga pingsan,” jawab Aina dengan penuh kebohongan. “Kenapa Mbak ziarah malam-malam gini?” “Suami saya orang sibuk, Pak, jadi dia baru sempat ziarah sore hari dan sejak tadi saya tidak menemukan siapa pun untuk dimintai tolong, baru bapak-bapak ini yang lewat,” jawab Aina lagi sambil membuka pintu mobilnya. Kedua pria itu langsung memasukkan tubuh Andra ke mobil Danu yang sudah menjadi milik Aina. “Loh, Mbak, bukan satu jam yang lalu banyak orang di pemakaman konglomerat yang baru meninggal pagi tadi!” ujar salah satu pria karena merasa aneh. "Bahkan tadi sempat ada suara tembakan. “Iya, tadi memang banyak orang, tapi saya takut mengganggu mereka yang sedang bersedih,” bohong Aina lagi. “Ya sudah, Pak, terima kasih sudah membantu saya dan suami saya. Ini!” Aina mengeluarkan tiga lembar uang pecahan seratus ribuan sebagai ucapan terima kasih. “Terima kasih, Mbak,” ucap kedua pria itu bersamaan. Kemudian Aina memasuki mobil dan melaju menuju apartemennya. “Semoga aku menculik orang yang tepat!” gumam Aina saat menatap Andra di kursi penumpang melalui spion.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD