Bunyi gemerisik air yang jatuh pada lantai kamar mandi menandakan bahwa si empu kamar tengah mandi. Ini hari sabtu, dan bisa dipuji cepat untuk mandi di jam tujuh pagi. Biasanya Ethas akan bangun terlambat sebab bergadang bermain PUBG bersama teman-teman sekelasnya di cafe vape---cafe biasa yang sudah menjadi basecamp Ethas dan teman-teman. Tadi malam sedikit berbeda, karena Ethas memilih berada di rumah dan sudah tidur sejak pukul sembilan.
Ethas menyudahi mandinya. Ia keluar dari kamar mandi dalam keadaan lebih baik daripada semalam. Didekatinya lemari pakaian, mencari baju kaus, celana, beserta jaket. Ethas akan keluar sepagi ini untuk mencoba memperbaiki kesalahannya. Ponsel Ethas berdenting ketika ia hendak memakai baju kaus warna hitam. Diliriknya sedikit, kemudian cepat-cepat mengenakan bajunya.
Ethas menatap pantulan dirinya lewat cermin. Untuk hari ini saja, dia ingin hidup normal tanpa harus terbeban tanggung jawab besar. Dentingan ponsel barusan hanya membuat mood Ethas hancur. Dia punya hidup yang lain, tapi seseorang seperti memenjarakannya sehingga ia tidak dapat melakukan hal lain.
Melupakan segala hal yang mengganggu pikirannya, Ethas mencoba fokus dengan Aleta. Dia harus memikirkan rencana setelah ini.
“Maafin aku, Ta, karena nggak bisa nurutin kemauan kamu buat ngejauh,” ujar Ethas sendiri pada pantulan dirinya di cermin. “Aku mau perbaikin semuanya, dan aku harap kamu mau percaya aku lagi.”
Ethas mengambil ponsel, dompet, dan jaketnya sebelum keluar dari kamar. Ia menuruni anak tangga, dan sudah dapat melihat mamanya tengah mempersiapkan sesuatu di atas meja makan. Ethas mendekat, mencium singkat pipi sang mama sebagai sapaan kecil di pagi hari yang sudah menjadi kebiasaan semenjak dulu.
“Loh, mau kemana?” tanya sang mama memperhatikan penampilan Ethas dari atas sampai bawah.
“Ada janji sama Aleta, Ma,” jawab Ethas berbohong. Lelaki itu mana mungkin bisa jujur sekarang pada sang mama kalau dirinya diputuskan oleh Aleta. Bisa-bisa, Ethas dimarahi siang malam sebab tanpa perlu ditebak, mamanya pasti berkata bahwa Ethas-lah penyebab kenapa hubungan mereka bisa berakhir.
“Tumben hari sabtu pagi?” tanya Mama Ethas bingung. “Biasanya sabtu sore atau minggu pagi. Bukannya sabtu pagi Aleta ada les?”
Lihatkan? Bahkan Mama Ethas menghapal dengan baik jadwal milik Aleta. Bisa dibilang, Aleta memang memiliki kedetakan yang baik dengan mama lelaki itu. Sedang Ethas sendiri tentu begitu bahagia karena Aleta mau membuka diri dan tidak tertutup. Gadis itu kehilangan ibunya sejak ia duduk di bangku SD. Menemukan seorang baru dimana ia bisa merasakan lagi kasih sayang seorang ibu tentu tidak akan disia-siakannya begitu saja.
“Aleta sakit, Ma, kemarin hujan-hujanan. Jadi mau nganterin makanan kesana.”
“Loh? Kamu nggak nganterin Aleta pulang?”
Ethas terlihat berpikir, dia takut sekali kalau salah jawab. Dibanding dirinya, sang mama pastilah lebih mengistimewakan Aleta. “Aleta kan naik sepeda, Ma. Waktu dia pulang emang belum hujan, tapi di tengah jalan hujan.”
“Kok nggak neduh?”
“Takut telat sampai rumah katanya.”
“Besok-besok, kalau tau Aleta kehujanan, kamu langsung jemput. Kamu sendiri kan tau kalau Aleta nggak bisa hujan-hujanan. Gimana, sih, Ethas?”
“Iya, Ma, emang salahnya Ethas. Makanya sekarang mau minta maaf sekalian jengukin Aleta.”
Mama Ethas tampak buru-buru mencari kotak bekal makanan beserta termos. “Sebentar, Mama bikinin bubur. Nggak lama kok.” Ethas mengangguk. Malah bagus kalau mamanya mau repot-repot membuatkan Aleta makanan. Jadi lelaki itu memiliki alasan untuk berkunjung.
Sembari menunggu mamanya, Ethas memilih menyalakan ponsel. Dilihatnya pesan terakhir yang masuk dari seseorang yang sama sekali tidak ia harapkan.
“Ma,” panggil Ethas masih belum membaca pesan baru yang masuk.
“Apa?”
“Varel mana?”
Gerakan tangan sang mama pada panci tiba-tiba terhenti. Ekspresi muka wanita itu langsung berubah dan tidak secerah tadi. Zavarel, adik laki-laki Ethas yang sekarang duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Kalau ditanya bagaimana perbedaan mereka, tidak perlu dijawab karena orang-orangpun tahu dengan hanya melihat Varel dan Ethas apabila disandingkan berdua.
Ethas terlalu humble pada setiap orang, sementara Varel sangat nyaman menjadi pendiam. Ethas terlahir dengan sikap peduli berlebih bahkan pada orang asing sekalipun. Berbeda dengan Varel yang membutuhkan waktu lama untuk bersikap seperti Ethas. Tapi satu kelebihan Varel yang tidak pernah dimiliki Ethas---menjadi pintar dalam bidang akademik di semua pelajaran alam maupun teori dan angka dalam bidang sosial. Varel memegang dengan bangga semuanya, memenangkan berbegai olimpiade semenjak ia duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan salah satu universitas ternama di dalam negeri pun sudah memberikan Varel kursi pada program studi teknik nuklir karena ia berhasil memiliki penghargaan nasional bergengsi. Sedang Ethas, dia harus berusaha sekuat tenaga atau uang milik kedua orangtuanya akan habis hanya untuk membiayainya pada universitas swasta.
Ethas mengambil gelas yang berada tidak jauh darinya, mengisi cepat air ke dalamnya. Kendati ia tidak sepintar Varel, tapi setidaknya otak Ethas masih dapat digunakan untuk berpikir pada hal-hal baik. Bukannya melihat Varel duduk di hadapannya dan mereka dapat sarapan bersama, adiknya yang tampak sempurna itu malah menghilang entah kemana. Ethas meneguk minumannya sembari berpikir, berharap ia dapat menghajar wajah Varel di saat ini juga.
“Dia nggak pulang lagi?” tebak Ethas dan mamanya hanya menghela napas berat. “Mama bisa nggak sih jangan manjain dia?!” Ethas menahan emosinya, walau suara anak lelaki itu tetap terkesan membentak. Ia sedang kesal pada Varel, dan ini bukanlah yang pertama.
“Thas, Mama harus bilang apa lagi sama adik kamu? Mama udah bilang semuanya ke Varel, mohon supaya dia dengerin kata-kata Mama. Tapi ada hasilnya? Makin Mama ngerasin dia, makin susah buat Mama nemuin keberadaan dia di rumah. Mama capek liat kamu kalau terus berantem sama Varel. Dia nggak bisa dibilangin.”
Ethas mendengar keluhan sang mama dengan sekuat tenaga menahan emosi. Varel benar-benar sulit untuk diberi tahu. “Terus dia nginep dimana tadi malam?”
“Di panti kayaknya.”
“Iyalah,” sinis Ethas penuh ejekan. “Dimana lagikan, Mam?”
“Thas, jangan gitu.”
“Tuh anak emang sedikit-sedikit kalau ngambek selalu lari ke panti. Mama coba bilangin ke ibu panti buat jangan mau nampung dia. Biarin dia kedinginan tidur di jalanan.”
“Ethas!” peringat mamanya cepat. “Mama tau kamu kesel sama kayak Mama. Tapi jangan pernah ngomong kayak gitu. Kalau kita bisa enak tidur di rumah, seharusnya Varel juga.”
“Mama kenapa sih selalu aja belain dia? Dia udah nyakitin Mama, lukain perasaan Mama, jadi pembangkang di rumah. Ethas tau dia punya banyak uang karna selalu jadi juara dimana-mana, tapi bukan berarti statusnya Varel berubah. Dia tetep anak Mama sama Papa, dia tetep adik Ethas. Dia yang paling kecil di rumah dan udah seharusnya dia punya sikap hormat, apalagi ke Mama.”
Mama Ethas yang sudah mulai mengaduk nasi untuk dijadikan bubur perlahan menghentikan gerakannya. Wanita itu mendekati Ethas dan duduk di sebelah si sulung dengan mata merah menahan haru serta kecewa. Walau semesta membayarnya dengan dua anak paling berbakti di dunia, ia akan tetap menolak. Sebab Ethas dan Varel sudah jauh dari kata cukup. Sang mama memang sering dibuat kecewa oleh si pintar Varel, tapi keteguhan dan kebaikan hati Ethas akan berhasil membuatnya bersyukur. Begitupula ketika sang mama kerap menangis dan naik darah ketika melihat rapor Ethas yang hancur lebur, keberhasilan Varel pada setiap pelajaranlah yang nantinya akan berhasil mendinginkan hati wanita itu.
Kedua lelaki itu memiliki jalan uniknya masing-masing. Walaupun sang mama jelas-jelas tahu bahwa keduanya begitu handal untuk membuat denyut kuat di kepala. Sampai kapanpun, Abelathas dan Zavarel akan tetap menjadi dua penyelamat hidupnya.
“Ethas,” panggil sang mama lemah. “Abis kamu ketemu Aleta, tolong cari Varel ke panti, ya. Bilang ke dia kalau Mama mau dia pulang dulu hari ini. Masalah di sana tolong banget ditinggalin dulu. Mama butuh Varel, bilang kayak gitu ke dia.”
“Butuh Ethas ajalah, Mam, ngapain butuh dia,” celetuk Ethas tanpa hati. Tapi sang mama tetap menggeleng dengan senyum keibuan yang selalu berhasil membuat Ethas luluh. “Yaudah iya, nanti Ethas ke panti.”
“Abis dari panti pulangnya bareng sama Varel, ya. Inget loh kamu ada les hari ini. Mama nggak mau denger guru privat kamu ngeluh lagi karna tingkah kamu. Juga ini, ambilin lili pesenan mama nanti.”
Ethas mengangguk lemah, percuma saja kalau mulut gantengnya itu protes karena sang mama tidak akan menerima penolakan. Ethas mencoba mengalihkan pikirannya, mengambil roti dan selai cokelat kesukaannya.
“Itu telur setengah matengnya jangan lupa dimakan sekalian.”
Ethas memasang muka jijik, ngeri mendengar kata setengah matang. Lagipula, mamanya kekeh sekali dengan pikiran kalau Ethas akan pintar dengan memakan telur setengah matang setiap hari. Sudah tujuh belas tahun, buktinya Ethas begitu-begitu saja. Buku laporan nilai selalu pas-pasan, mengerjakan soal angka selalu lama. Yang benar-benar membantu rata-rata nilainya hanya pelajaran geografi, agama, kewarganegaraan, seni dan sastra; bahasa, english, german. Sosiologi yang biasa-biasa saja bahkan di ujung jurang, apalagi matematika dan ekonomi dimana kemampuannya pada dua bidang tersebut benar-benar tidak ada. Ethas lama berhitung sejak SD.
Lucunya, keanehan Ethas bahkan terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Ia sering tidak peduli dengan barang-barang diskon ketika Aleta begitu bersemangat. Menurut Ethas, mau diskon atau tidak, sama saja. Atau ketika menerima kembalian uang, ia tidak mau repot-repot menghitung kembalian karena merasa sudah percaya dengan si kasir. Beruntung kebanyakan kasir yang berhadapan dengan Ethas terbilang jujur dan teliti. Pernah ketika ia dan Aleta tengah makan di restoran bilangan ibukota, Ethas memberikan lima lembar uang ratusan. Aleta yang merasa janggal dengan kembalian uang meminta Ethas menghitungnya kembali.
Bukannya sadar, Ethas malah berkata, ‘Nggak apa-apa, sekalian sedekah.’ Aleta yang tidak terima tentu saja menjawab, ‘Mana ada sedekah sama restoran yang udah kaya, Ethas!’
Bunyi dobrakan keras pada pintu utama membuat Ethas yang tengah asik makan dan sang mama yang memotong sosis terkejut. Ethas langsung berdiri, berjalan meninggalkan ruang makan menuju ruang keluarga. Disana, dilihatnya Varel berjalan dengan badan sempoyongan dan wajah babak belur. Sontak Ethas mendekat, memegang badan Varel yang dingin. Varel menepis kepedulian Ethas dengan kasar, wajahnya tampak tidak senang.
“Lepasin,” kata Varel dingin.
“Lo ngapain, sih?!” bentak Ethas tidak habis pikir. “Lo abis ngapain gue tanya?” Suara Ethas bergetar, raut wajahnya menggambarkan amarah yang tertahan. Ethas ingin sekali menambah biru lebam pada wajah adiknya itu, tapi ia tahu sang mama tidak akan menyukainya. Mendengar tangisan sang mama bukanlah hal yang Ethas mau. “Rel, lo abis darimana, hah?”
“Bukan urusan lo,” balas Varel lanjut berjalan sempoyongan menuju kamar.
“Anj---“ Ethas menaha ucapannya dengan buru-buru menggigit bibir. Mencoba meredam amarah sekuat yang ia bisa. “Lo bisa nggak, sih, jangan buat nyokap panik? Kalau mau jadi berandal, lo keluar dari rumah sekarang. Nggak usah balik sekalian. Udah berapa kali lo bikin nyokap nangis liat kelakuan lo yang kayak gini? Percuma, Rel, lo punya otak emas yang bisa bikin lo keliling dunia, tapi di rumah lo selalu bikin nyokap netesin air mata.”
Varel balik badan, menatap kakak sulungnya dengan ekspresi tidak terbaca. “Udah lo ngomongnya? Iya! Yang bisa gue lakuin emang cuma bikin nyokap sedih. Sementara lo selalu berhasil bikin nyokap ketawa. Puas?”
“Kenapa lo jadi banding-bandingin siapa yang paling bisa bikin nyokap bahagia? Gue ngomong kayak tadi karna pengen bikin lo sadar. Jadi pinter tapi nggak punya etika, bahkan hewan lebih terhormat.”
“Oh ya?” kata Varel menatap Ethas sinis. “Lo nggak ngaca? Mendingan pinter nggak punya etika, daripada bego, terus punya sikap kayak preman jalanan.”
“Siapa yang lo bilang preman?” sentak Ethas kini menendang perut Varel sehingga adiknya itu terhempas menuju bed sofa di tengah ruang keluarga. Membuat sang mama jadi berteriak sambil keluar dari balik dinding ruang makan. Wanita paruh baya itu juga tidak berani melerai ketika kedua anaknya tengah berapi-api. Tapi melihat Ethas yang sudah mulai bermain fisik pada sang adik, sang mama harus segera menahan atau kedua remaja itu akan mati hari ini juga. “Gue yang lo bilang preman? Nggak apa-apa. Seenggaknya gue tau caranya berbakti.”
“Ethas!” tahan mamanya sambil menahan lengan si sulung. “Jangan kasar sama adik kamu.”
“Liat, Mam, liat anak yang Mama manjain. Dia jadi ngelunjak, jadi nggak tau yang namanya sopan santun.”
“Ch,” decih Varel dengan wajah lelah bercampur emosi. “Seharusnya lo sadar sama apa yang udah lo lakuin. Gue tau segimana buruknya gue di mata nyokap, tapi gue kayak gini karena punya alasannya. Gue mati-matian jagain Aya, tapi lo dimana? Waktu gue jelas-jelas ada di sebelah Aya tapi dia malah nanyain lo.”
Ethas membeku, mendengar adiknya menyebut nama itu lagi. Ethas melepas pegangan tangan sang mama pada lengannya. Tidak mau berdebat kalau Varel sudah membawa nama itu naik sebagai topik dan menguatkan argumen sampah miliknya. Ethas merasa kakinya melemah, dia ingin segera duduk. Ditatapnya sang mama, mengerjap sesaat untuk mengingat kalimat yang hendak ia ucap.
“Mam,”
“Apa?”
“Ethas sarapan dulu, abis ini mau langsung ke rumah Aleta.”
Sang mama mengangguk, mengerti pada perasaan sulungnya itu. Sikap Ethas persis seperti buku yang terbuka, membuat sang mama tidak sulit untuk membacanya. “Yaudah sebentar Mama siapin buburnya dulu.”
“Urus si cengeng manja dulu aja, Mam,” ucap Ethas tidak memperdulikan ekspresi wajah Varel. Dia balik badan, berjalan kembali menuju ruang makan dengan pikiran tidak fokus. Kalau saja nama itu tidak disebut, Varel pasti sudah habis Ethas tendang tanpa hati. Karena nyatanya, nama perempuan yang disebutkan Varel memang mempengaruhi Ethas sampai membuat semangatnya hilang.
Bukan karena Ethas membenci perempuan itu. Tapi melihat lagi ke belakang dan mengingat satu per satu momentum yang pernah terjadi antara dirinya dan Aya membuat Ethas terus saja dikukung rasa bersalah. Bukan rasa bersalah pada Aya maupun Varel yang sebelum ini terang-terangan tengah cemburu, rasa bersalah itu jelas sekali tertuju pada Aleta. Pacarnya sejak mereka duduk di kelas sepuluh dan sekarang sudah akan tamat. Bagaimana bisa Ethas menyakiti hati perempuan yang telah memberinya ketulusan. Memang, Aleta yang baik tidak cocok untuk laki-laki b******k seperti dirinya.
> a l e t h a s