bc

A V E A

book_age0+
183
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
second chance
friends to lovers
sensitive
student
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Sejatinya, ketika semesta mengambil satu, itu pertanda bahwa semesta akan menggantinya seribu. Hanya tunggu, karena waktu terbaik akan menunjukkan momen terbaik pula.

chap-preview
Free preview
Hujan di Pelupuk Mata
Suasana koridor sekolah malam itu terlihat sepi dan terasa begitu dingin. Lampu yang menyala semua tidak mengurangi gambaran mencekam sedikitpun dari lorong panjang itu. Kadang kala, di jendela terdengar bunyi-bunyi gemerisik aneh karena angin kencang dari luar, atau dahan pohon patah yang kemudian terlempar menuju jendela. Langit sedang mendung, sebentar lagi hujan turun. Bagi siswa-siswi penakut, sekolah bukanlah tempat yang pantas didatangi ketika hari berganti malam. Berbeda  dengan mereka yang berani, seperti halnya sepasang manusia yang kini tengah bersitatap di dalam salah satu ruangan kelas. Pembicaraan mereka tampak serius, terlihat dari bagaimana ekspresi anak perempuan yang bisa ditebak sangat tidak menyukai lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan seragam sekolah sudah lusuh akibat seharian beraktivitas. “Pergi sana,” ujar perempuan itu mengusir entah untuk keberapa kali. “Aku nggak mau denger apa-apa lagi dari kamu.” Ethas---panggilan untuk lelaki yang diusir tadi--- menghela napas panjang. Kalau saja Ethas tidak menyakiti perempuan di depannya, mungkin sekarang mereka sedang menikmati waktu dengan bermain sepeda bersama di taman angsa. Perempuan di depannya senang dengan sepeda, pohon-pohon rindang, kemudian hewan ternak. Tidak sulit membuatnya bahagia dengan hal paling sederhana. Tapi ketika ia dikecewakan, maka berkemaslah untuk pergi. “Ta,” panggil Ethas lemah sebab sudah tidak percaya diri lagi. Wajah ditemani seragam putih abu-abu itu kian terlihat lusuh. “Aku cuma mau kamu dengerin penjelasan aku di sini sebelum kamu pergi.” Aleta memutar bola matanya malas, ia sudah terlampau lelah dengan segalanya. “Udahlah, nikmatin aja hidup kamu, biar aku di sini jalanin hidupku sendiri.” “Jangan tinggalin aku dulu, Ta,” cegat Ethas refleks memegang tangan Aleta. Namun tanpa diduga, sentakan keras muncul dari gadis itu karena ketidaksukaannya terhadap cara Ethas yang kasar. “Kamu yang ninggalin aku duluan,” balas Aleta dingin. Tatapannya tajam lurus pada manik mata milik Ethas. “Pertama, aku nyesel kenapa nggak pernah percaya sama orang-orang di sekitar kalau kamu emang nggak bener. Kedua, aku nyesel kenapa jadiin kamu laki-laki yang aku sayang setelah ayah. Ketiga, aku nyesel karena udah kenal kamu, Ethas.” Aleta menahan merah di matanya, rasanya menyakitkan sekali kala mengingat kembali apa yang dilakukan Ethas terhadapnya. Kalau fisiknya sekarang sudah terlihat tidak baik, bagaimana dengan hati dan perasaannya? Aleta hanya bingung dan belum bisa mencerna apapun selain kejahatan Ethas terhadapnya. Setelah sekian lama menaruh kepercayaan terhadap lelaki ini, pada akhirnya kepercayaan Aleta dirusak juga. Aleta ingin melangkah pergi, sampai Ethas menghalang tubuh gadis itu. Jarak mereka terkikis, sehingga Ethas memiliki kesempatan untuk menatap wajah Aleta dari dekat. “Ta, aku pengen kamu dengerin aku dulu.” “Kalau kamu bisa mikir, kamu nggak bakal ngelakuin itu. Apapun yang kamu lakuin, Ethas, kamu pasti ngerti kalau itu salah. Kamu jelas-jelas ngelakuin itu dalam kondisi sadar.” “Aku nyesel, Ta,” ungkap Ethas jujur dan menyesal. “Terus gunanya nyesel kamu buat aku apa? Udahlah, mending kamu pulang. Selain kamu, masih ada hal penting yang harus aku urus.” Aleta menggeser langkahnya ke sebelah, berjalan melalui Ethas tanpa berniat untuk menoleh ke belakang. Selarut ini di sekolah, alasan Aleta bukan karena ingin bertemu dengan Ethas. Aleta sudah hampir tiba di rumah sejak pukul enam tadi---dia memang sering pulang ketika senja sebab menghabiskan waktu untuk belajar dulu di sekolah. Namun gadis itu baru sadar bahwa ia meninggalkan sesuatu di loker mejanya. Tidak ada pilihan lain selain menjemput karena benda yang tertinggal merupakan dokumen-dokumen penting perihal jurusan kuliahnya nanti. Aleta juga tidak tahu kalau Ethas masih berada di sekolah ketika ia sampai di gerbang. Gadis itu melihat bola basket tengah dipeluk oleh Ethas, tapi ia tidak berniat menebak apa yang dilakukan Ethas bersama kedua temannya yang menatap Aleta bingung. Barulah, Ethas yang berpikir kalau ia memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Aleta, langsung melemparkan bola pada temannya dan mengejar Aleta yang sudah melengos menuju gedung kelasnya. Sudah dua hari Ethas tidak bisa menghubungi bahkan menemui perempuan itu. Akhirnya ia punya kesempatan. Setelah berakhirnya pembicaraan antra dirinya dan Aleta, Ethas malah semakin menyesal. Kalau saja Ethas tahu bahwa Aleta sekecewa itu terhadapnya, ia tidak akan berani mengejar atau menatap Aleta. Ethas sadar betul akan kesalahan yang dirinya perbuat. Namun lelaki itu tidak tahu cara mencari jalan keluarnya untuk sekarang. Semuanya sedang sulit. Ethas berusaha menahan diri, namun gagal dan ia langsung berbalik untuk mengejar langkah Aleta. Kalau harus berlutut untuk mendapatkan maaf gadis itu, maka akan Ethas lakukan. Dirinya yang jahat, dirinya yang b******k, dirinya yang tidak tahu diri, dan sudah sepantasnya ia menerima hukuman berat dari Aleta. “Aleta!” Ethas berteriak, suaranya bergema di sepanjang koridor. Membuat suasana yang tadinya sepi ganti ribut oleh langkah dan suara Ethas. “Aleta!” Suara guntur bergemuruh hebat. Ethas yang sadar kalau Aleta pergi dan pulang dengan sepeda buru-buru mempercepat larinya. Salah satu kelemahan Aleta, dia akan sakit ketika berlama-lama di bawah air hujan. Beruntung kalau hanya demam biasa, tapi jika sampai satu minggu dengan kondisi panas naik turun, itu yang membuat khawatir. Belum lagi flu yang nantinya dirasakan. Aleta bahkan sering sekali mengadu pada Ethas kalau ia tidak bisa bernapas karena virus influenza tersebut. Ethas tiba di lantai pertama, langsung melihat ke arah parkiran yang diterangi cahaya remang. Disana, dilihatnya Aleta tengah tergesa-gesa berjalan di bawah guyuran deras hujan. Ethas berlari kencang, menyusul Aleta sembari mengeluarkan jaket dari dalam tasnya. Sebelum sempat tangan Aleta menyentuh sepeda putihnya, tangan Ethas lebih dulu menggapai lengan Aleta. Gadis itu berbalik dengan jantung berdegub kencang. Matanya dapat menangkap sosok Ethas yang tanpa permisi memakaikan jaketnya pada tubuh Aleta. Aleta protes, tapi kekuatan Ethas jauh lebih besar. “Lepasin,” kata Aleta kuat dan Ethas sontak menatap wajah gadis di depannya. “Kamu nangis?” “Sana pergi,” ujar Aleta kemudian membuka jaket yang diberikan oleh Ethas. “Jangan pernah muncul di depan aku lagi. Kalau kita ketemu, anggap kamu nggak pernah kenal aku.” Ethas menahan gejolak perih itu sendiri. Ia mengangkat tangan dan mundur beberapa langkah ke belakang. “Kamu neduh dulu, jangan terobos hujannya.” “Urusin dia, jangan urusin aku lagi. Kita udah selesai dari hari dimana kamu lebih milih dia, Ethas.” Aleta mengambil sepedanya dengan kasar, enggan melihat Ethas yang kini hanya bisa berdiri digerogoti rasa sesal mendalam. Tanpa memasang helm sepeda, Aleta langsung menaiki benda roda dua itu. Sebelum mengayuh dan pergi, Aleta memutuskan berbalik menatap Ethas tanpa ekspresi. “Kalau aja akhirnya hubungan kita selesai, aku harap kita selesai baik-baik dan bisa jadi temen lagi. Tapi kamu terlalu jahat karna kasih aku hadiah kayak gini, Ethas. Jadi jangan salahin aku, karna hubungan kita malah punya akhir berantakan kayak benang kusut. Karna kamu, kamu yang berantakin semuanya.” Perkataan Aleta ditutup oleh guntur, sampai dirinya pun ikut terkejut dan diam untuk beberapa saat sebentar. Aleta sadar, bahwa hampir dua tahun ia menjalani hubungan bersama Ethas, baru kali ini ia mengetahui Ethas berbohong. Sebelum ini, entah kebohongan apalagi yang pernah Ethas perbuat tetapi Aleta tidak sadar. Dia terlalu mempercayai lelaki itu, hingga tiba saat Aleta dipermainkan, rasa sakitnya memang luar biasa hebat. Aleta melanjutkan langkahnya, mengayuh sepeda di bawah guyuran hebat air hujan. Tidak peduli bahwa esok dia akan jatuh sakit. Daripada berteduh dan membiarkan Ethas memiliki kesempatan besar untuk menemuinya lagi, lebih baik Aleta pulang. Perkara sakit biarlah ia urus besok saja. > a l e t h a s Aleta membuka pintu rumahnya dengan kasar, membuat Ciwa yang sedang menyusun kue di meja tamu jadi terlonjak. Dia pikir pencuri yang masuk barusan mengingat akhir-akhir ini berita pencurian sedang hangat di bahas oleh orang-orang sekomplek. Ciwa yang khawatir lantas buru-buru menutup stoples kue dan menyusul Aleta yang sudah naik ke kamarnya dalam kondisi basah kuyup. “Ta,” panggil Ciwa sambil mengetuk pintu kamar Aleta. Pergi sekolah dengan senyum, kenapa pulang malah seperti orang kesetanan, pikir Ciwa. Tangannya terus mengetuk, sementara mulutnya masih memanggil Aleta berharap ada jawaban dari dalam. “Ta, buka dulu pintunya. Kamu kenapa? Cerita sama aku.” Ciwa masih muda. Ia lima bersaudara, dengan status ayah Aleta sebagai anak pertama dan Ciwa sebagai adik paling bungsu. Lima tahun menghabiskan waktu di Jepang sampai akhirnya kembali membawa gelar. Sebenarnya Ciwa bisa tinggal di rumah peninggalan orangtuanya, tapi membiarkan kakak tertuanya hidup hanya berdua dengan Aleta, Ciwa tidak enak. Kalau dihitung, mungkin sudah hampir setahun Ciwa tinggal di sini dan menjadi tante rasa ibu bagi Aleta. Sikapnya yang mudah bergaul membuat Aleta merasa nyaman dekat dengan Ciwa. “Ta! Kamu tega biarin aku ngetuk-ngetuk sambil penasaran? Buka, deh, pintunya. Cerita sama aku kamu kenapa.” “Sana!” teriak Aleta dari dalam. Ia sedang tidak ingin diganggu bahkan oleh Ciwa sekalipun. “Aku mau mandi terus tidur. Jangan ganggu!” “Besok boleh ganggu, nggak?” balas Ciwa seenak perut. Bukannya menurut saja, Ciwa malah mempertanyakan hal konyol pada Aleta. “Nggak!” “Tapikan kamu ada les privat sama Mas Apta. Emang besok nggak mau les?” “Ciwa kamu bisa nggak jangan gangguin dulu?!” Aleta kini geram. Dia hampir saja melemparkan sesuatu pada pintu agar Ciwa terkejut dan tidak lagi menganggap Aleta bercanda. “Kalau Mas Apta besok dateng baru panggil aku.” “Sensi bangetsih kamu,” ucap Ciwa geleng-geleng. “PERGI!” “Iya-iya, Aleta.” Ciwa menghela napas. Mau tidak mau dia harus menurut atau Aleta akan membuat rumah ini terbalik akibat kemarahannya. Beruntung saja karena ayah Aleta masih belum pulang bekerja atau gadis itu pasti habis dibombardir pertanyaan oleh ayahnya. “Yaudah pokoknya kalau kamu laper turun, ya? Aku nggak mau nganterin ke atas.” “Brisik.” “Kamu yang brisik,” balas Ciwa masih belum selesai. “Pulang-pulang dorong pintu. Untung nggak lepas pintunya---” “Ciwa kamu bisa pergi nggak, sih?” Ciwa mengatupkan bibirnya rapat. Sadar kalau sudah saatnya ia meninggalkan pintu kamar keponakannya itu. Ciwa membuka mulut, kemudian bersuara layaknya Anna dalam film disney Frozen. “Okay bye.” > a l e t h a s

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

PEPPERMINT

read
369.9K
bc

Love You My Secretary

read
242.9K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.4K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.5K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.0K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook