Part 2

1290 Words
Olivia hanya mampu menunduk saat kedua orang dihadapannya tidak hentinya berdebat. Yang membuat gadis itu makin merasa tidak nyaman di ruangan ini adalah karena ia tahu bahwa dirinyalah yang menjadi bahan perdebatan mereka. Sesekali Olivia memberanikan diri mengangkat sedikit kepalanya untuk sekedar melihat kedua orang berwajah hampir serupa namun yang satu adalah versi mudanya sedangkan yang lain versi sudah berumur, namun keduanya tetap sama tampannya. Olivia meremas ujung dress bermotif bunga bunga selutut yang kini sedang ia gunakan merasakan tidak nyaman saat tidak sengaja matanya bertemu dengan mata seseorang yang menatapnya begitu tajam tanpa berkedip. Entah kenapa jantung Olivia sangat berdebar hingga tatapan mereka hanya mampu bertahan selama 3 detik hingga akhirnya Olivia kembali menunduk. Demi Tuhan tatapan Sabian Cavano benar-benar berbahaya bagi Olivia. "Kalau begitu kita langsungkan pernikahan secepatnya, tapi aku tidak ingin ada satu orangpun yang datang. Cukup pernikahan yang resmi tanpa adanya pesta." Ucapan itu seolah menjadi akhir dari perdebatan panjang yang sedang terjadi. Bian berkata dengan sangat datar, berbeda dengan saat ia berdebat dengan ayahnya tadi saat ayahnya memperkenalkan Olivia sebagai calon istri pilihan ayahnya. Masih teringat jelas di dalam benak Olivia saat Bian mengatakan bahwa ayahnya sudah sangat sembarangan dalam memilihkan calon istri untuknya dengan mengatakan penampilan Olivia tidak pantas, Olivia tidak setara dengan dirinya, Olivia hanya gadis yang menginginkan uangnya dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Sakit, tentu saja. Namun Olivia tidak memilih untuk membela diri, karena apa yang diucapkan Bian sebagian besar memang benar adanya. "Tapi kau adalah pewaris satu satunya Cavano Corp. Kita harus membuat pestanya semeriah mungkin. Akan banyak kolega bisnis yang datang dan disitulah kau akan ku perkenalkan sebagai pewaris Cavano Corp." Sepertinya perdebatan itu akan berlanjut kembali. "Tidak ada pesta atau tidak menikah sama sekali," balasan Bian seolah tidak terbantahkan. Andra tampak menghela nafas, jika sudah seperti ini, putranya tidak akan mungkin bisa dibantah. "Baiklah, kapan kau ingin menikah?" "Minggu depan. Setelah itu segera umumkan pada kolega bisnismu bahwa aku adalah penerus perusahaan kemudian pergilah ke London dan berhenti mengatur hidupku lagi. Bukankah seperti yang kau katakan? Jika aku sudah menikah, aku sudah menjadi pria dewasa seutuhnya dan berhak atas diriku sendiri." Setelah mengatakan hal itu, Bian langsung bangkit dari duduknya bersiap keluar dari ruang kebesaran ayahnya yang membuat kepalanya serasa akan pecah. "Dan kau," Olivia langsung mengangkat kepalanya saat ia sadar bahwa kini Bian sedang berbicara dengannya. "Ikut aku." Olivia merasa darahnya berdesir saat mendengar instruksi dari Bian. Sungguh Olivia benar-benar merasa takut saat ini. Setelah mengucapkan kata itu Bian langsung berlalu pergi keluar dari ruang kerja ayahnya. Olivia sempat melirik Adrian sesaat, dilihatnya pria paruh baya itu mengangguk seolah menginsyaratkan bahwa Olivia harus mengikuti ucapan Bian untuk mengikutinya. Olivia pun langsung bangkit dari duduknya dan bergegas menyusul langkah Bian yang besar keluar dari ruangan. Bian masuk ke dalam sebuah ruangan, Olivia yakin ini adalah ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat besar dan terlihat berkelas, ah tentu saja ini Cavano Corp, jangankan ruang atasan seperti ini, bagian toiletnya pun pasti sama berkelasnya. Bian tampak duduk di kursi kebesarannya berwarna coklat tua mengkilap, sementara Olivia masih berdiri di hadapannya karena merasa belum dipersilahkan duduk. "Duduk." Olivia tersentak kecil saat mendengar Bian membuka suara. Padahal suara Bian sangat datar, namun entah kenapa mampu membuat Olivia terkejut. "Ha?" Tanpa sadar Olivia bersuara karena masih belum bisa mencerna kata Bian tadi. "Apa calon istriku tuli?" Masih dengan nada datar namun terdengar cukup menusuk. Setelah paham Olivia duduk di hadapan Bian. "Berapa uang yang ayahku tawarkan?" Tanya Bian. Pria tampan itu menyandar pada sandaran kursi menunggu jawaban dari gadis dihadapannya. "3 miliar," jawab Olivia dengan nada cukup pelan. Bukan, bukan karena ia sengaja memelankan suaranya, hanya saja entah kenapa tiba-tiba rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan suara di hadapan Bian yang sangat mengintimidasi. "Cukup murah." Pupil mata Olivia melebar mendengar ucapan Bian. Apanya yang murah? Dirinya kah, atau angka 3 miliar baginya? "Seperti yang ku katakan tadi, seminggu lagi kita akan menikah. Tapi sebelum kita menikah, ada beberapa hal yang harus kau tau." Bian memperbaiki posisi duduknya, kini ia tampak lebih serius. "Aku sebenarnya sangat tidak butuh istri, jadi kau tidak perlu tinggal bersamaku. Kau hanya perlu datang saat aku butuhkan." "Kau butuhkan, maksudnya?" Tanya Olivia makin berani membuka suara. Sebenarnya ia sangat takut bertanya, namun kalimat Bian itu terdengar sedikit ambigu di telinganya. Sesaat Bian terdengar tertawa mendengar pertanyaan yang terlontar dari Olivia. Namun ini bukanlah tawa biasanya, lebih seperti terdengar tawa ledekan. "Memangnya kau memikirkan apa? Aku membutuhkanmu untuk menghangatkan ranjangku seperti suami istri pada umumnya?" Lagi-lagi Bian tertawa. Namun hanya sepersekian detik sampai akhirnya ia kembali dengan wajah datarnya. "Bu... bukan, maksudku bukan begitu." "Aku akan menghubungimu saat ada pertemuan-pertemuan penting yang membutuhkan keberadaanmu. Diluar dari itu, kau tidak ada urusan denganku. Mengerti?" Olivia mengangguk. "Satu lagi, aku benar-benar tidak peduli dengan dirimu dan tidak akan mencampuri urusanmu, maka jangan pernah campuri urusanku meskipun kau berstatus istriku, mengerti?" Lagi-lagi Olivia mengangguk. "Kurasa cukup, keluarlah." Bian mengambil salah satu dari beberapa berkas yang berada di mejanya kemudian membukanya tanpa melihat ke arah Olivia. Merasa urusannya dan Bian hari ini sudah selesai, Olivia pun berlalu pergi. "Permisi, Bian," setelah mengucapkan kata itu, Olivia keluar dari ruangan Bian. Mendengar pintu sudah tertutup rapat, Bian memandang ke arah pintu dimana gadis yang diperkenalkan ayahnya sebagai calon istrinya itu keluar. Biar menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dipijitnya tulang hidungnya sembari menghela nafas kasar. Bian tidak menyangka bahwa ayahnya benar-benar serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu saat mengatakan akan mencarikan calon istri untuk Bian. Di umur Bian yang sudah menginjak angka 28 tahun ia benar-benar belum memikirkan akan menikah sebenarnya. Baginya ia sampai ada dititik inipun tidak ada campur tangan dari wanita manapun, buktinya ia tetap bisa sukses. Jadi apa gunanya wanita kalau bukan akan menjadi beban bagi hidupnya nanti. Namun berbeda dengan ayahnya yang berpikir bahwa Bian harus segera menikah karena ayahnya akan memberi kekuasaan penuh kepada Bian untuk memegang perusahan. Siapa yang tidak tahu Cavano Corp. Perusahaan yang memegang ekspor dan impor berbagai barang berkelas itu benar-benar membuat siapa saja dikalangan bisnis berdecak kagum. Banyak perusahaan berlomba-lomba ingin bekerja sama dengan perusahaan itu. Setelah memegang Cavano Corp berpuluh tahun, Andra memutuskan untuk memberikan kekuasaan penuh pada Bian untuk memegang perusahan sedangkan dirinya akan pindah ke London untuk menikmati hasil jerih payahnya selama ini dengan tinggal bersama istri mudanya disana. Mengingat p*****r yang dinikahi ayahnya bahkan saat kuburan ibunya belum kering sempurna itu saja sudah bisa membuat rahang Bian mengeras. Sebenarnya salah satu alasan mengapa ia setuju untuk menikah adalah ia ingin segera ayahnya pergi dari hidupnya yang benar-benar selalu membuat Bian muak tiap kali melihatnya. *** Olivia menatap Reyhan yang masih terlihat damai dalam tidurnya. Sejujurnya Olivia sangat khawatir, operasi sudah dilangsungkan, namun mata indah Reyhan yang selalu membuatnya jatuh cinta dengan tatapan teduh itu sama sekali belum terbuka. Dokter yang menangani Reyhan mengatakan bahwa operasinya berhasil, Reyhan juga sudah melewati masa kritisnya, namun masih harus menunggu waktu untuk Reyhan tersadar.  Olivia menggapai tangan Reyhan kemudian digenggamnya lembut. Mengingat apa yang akan terjadi besok membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa sangat bersalah dan tidak tahu harus menjelaskan seperti apa kepada Reyhan nantinya saat ia sadar. Besok adalah hari dimana ia akan menikah dengan Bian. Itu artinya mulai besok ia sudah berganti status menjadi istri seorang Sabian Cavano. Meskipun Bian mengatakan bahwa mereka tidak akan memiliki kehidupan seperti pasangan suami istri normal lainnya, namun tetap saja rasanya akan sangat berbeda. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, mungkin Bian tidak berpikir begitu, namun bagi Olivia ia tetap merasa akan ada yang berbeda dari hidupnya.  Semua ini dilakukan Olivia untuk kebaikan Reyhan. Uang yang ia dapat dari Adrian, semuanya ia gunakan untuk pengobatan Reyhan. Bagi Olivia biarlah kini semua berjalan sesuai yang sudah ditentukan takdir, ia berharap nantinya akan ada masa dimana Bian melepaskannya dan ia bisa kembali bersama Reyhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD