Tentukan Pilihanmu!

2073 Words
Selera makanku benar-benar hilang mendengar bagaimana Bu Melanie memperolok nasibku yang tak seberuntung mereka-mereka—anak yang beruntung bisa hidup dengan dibesarkan dan ditemani oleh kedua orang tua hingga dewasa. Aku bangkit. Dan tanpa peduli apa pun, kutinggalkan meja makan tanpa banyak bicara. Tentang bagaimana tanggapan ibu mertua, aku tak mau ambil peduli. Jujur, aku muak dan sakit hati. Namun, untuk mendebatnya secara langsung, rasanya terlalu kurang ajar dan berlebihan. "Fah." Rafka menyerukan namaku saat mungkin menyadari jika aku tersinggung dengan ucapan ibunya yang memang lebih tajam dari belati. "Tidak usah berlebihan, Rafka. Lihatlah, dia jadi semakin ngelunjak, 'kan, karena tahu kau sering membelanya," sahut Bu Melanie cepat dan terdengar lantang. Seperti sengaja agar aku mendengar. Bersama napas yang kian terasa sesak, aku benar-benar menarik langkah. Meninggalkan mereka dan berjalan cepat menuju kamar. Ingin menenangkan hati yang mendadak kalut setelah ibu mertua memperolok bukan hanya dari status sosial, tapi juga nasib malang yang menimpa diri. Ya Allah, apakah ini adil? Bukankah jika boleh aku meminta, aku pun ingin tumbuh membesar dengan limpahan kasih sayang kedua orang tuaku? Kuusap bulir bening yang menetes secara perlahan. Membasahi pipi yang beberapa hari ini kering. "Fah …." Aku buru-buru membuang pandangan dan sebisa mungkin menahan diri agar jangan sampai menunjukkan air mata, juga memperdengarkan suara isakan saat menyadari dirinya menyusul langkahku ke kamar. "Please, jangan ambil hati ucapan Mama, ya," ucapnya saat berjalan mendekat. Aku mengangguk pelan dengan hati yang terasa damai saat menyadari jika kini bukan cuma luka hati yang didapat saat tinggal di rumah ini. Namun, juga penawarnya. Senyumnya yang menawan, seperti candu dan menjadi obat atas segala resah. "Ibu hamil harus tetap ceria, biar baby juga happy," tambahnya kemudian. Aku kembali didera perasaan haru saat dia mendekat dan mengusap lembut perutku. "Kamu … mau ke kantor pake baju yang mana?" Aku yang tak mau terlalu menunjukkan perasaan, buru-buru berjalan menuju lemari jati di kamar ini dan kemudian membuka pintunya yang berbentuk sliding. "Mana yang bagus menurutmu?" sahut Mas Edgar dengan penuh kelembutan. "Ini bagus," ujarku sambil menunjuk setelan berwarna biru dongker padanya. Dia mengangguk sambil tersenyum misterius saat menarik langkah mendekat. "Tapi … bukannya kalau nggak pake baju lebih bagus?" ujarnya lantas memelukku secara tiba-tiba. "Jangan macam-macam, Mas. Nanti kamu kesiangan." Aku memperingatkan dengan tegas saat menyadari kedua tangannya mulai bergerak nakal saat menyentuh bagian atas tubuhku. "Iya, Sayang. Habisnya … bumil satu ini emang bikin gemes," ujarnya sambil melepas pelan pelukan. "Serius, kamu udah sayang?" tanyaku saat tiba-tiba tertarik untuk mengulik isi hatinya. Karena sejatinya … aku sendiri masih ragu dengan kesungguhannya. Bukankah aku akan sangat naif seandainya percaya dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah manis dalam sekelip mata? "Iyalah sayang. Emang salah, ya, kalau suami sayang sama istrinya? Apa lagi … wanita berstatus istri itu … jelas-jelas sedang hamil." "Kayla?" Muka suamiku berubah masam mendengar nama itu disebut. "Maaf kalau aku salah bicara," ucapku buru-buru. Merasa tak seharusnya menghadirkan nama itu di tengah-tengah kehangatan hubungan ini. Mas Edgar tak menanggapi. Dia justru lebih tertarik meraih dan memakai setelan 2 in 1 warna biru dongker yang kupilihkan tadi. "Aku akan sangat bahagia jika kamu memang berusaha memantapkan hati padaku dan menganggap Kayla sebagai bagian dari masa lalu. Tapi, jika ternyata semua cuma kepura-puraan, izinkan aku pergi dan jangan pernah sekalipun mencariku." Mas Edgar yang tengah mengancingkan satu persatu kancing kemejanya, sontak menahan gerakan mendengar kalimat cukup panjang yang kuucapkan. "Ya udah, aku … keluar dulu, ya. Mau beberes," ucapku setelah merasa cukup dengan apa yang memang ingin aku sampaikan. "Fah." Aku menahan langkah saat tangan kekarnya mencekal pergelangan tanganku. "Aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak kita," ucapnya sambil mengusap lembut perutku. Melakukan sesuatu yang dulu terasa mustahil, tapi nyatanya bisa terealisasi juga saat ini. "Aku pegang ucapanmu, Mas," ucapku sambil berusaha melepaskan tangannya yang seperti belum ingin melepaskan cengkraman. "Fah." "Hm?" Aku tertegun saat dia tiba-tiba menarik tanganku lebih kuat dan membuat diriku jatuh ke dalam pelukannya. "Tolong jangan buru-buru ke dapur sebelum memberikan satu kecupan hangat untukku," ucapnya sambil menunjukkan tatapan nakal menyebalkan. Aku menepuk pundaknya pelan saat merasa suamiku berubah menjadi sosok yang terlihat lebih nakal dan m***m akhir-akhir ini. Tak mau berdebat, aku sedikit berjinjit saat mengecup pipi kanannya. "Aku mau yang ini." Aku kembali menepuk pelan pundaknya saat dia tiba-tiba menunjuk pada bibir tipisnya. Aku menggeleng pelan. Membuatnya tampak semakin gemas. "Pokoknya aku nggak mau lepasin kamu sebelum kamu ngasih kecupan ke sini," ucapnya sambil menunjuk lagi bibirnya. Aku pura-pura merengut. "Nyebelin!" sungutku yang sontak membuatnya tertawa. Meski sebenarnya dengan senang hati melakukannya, aku pura-pura jual mahal dan tak kunjung memberikan kecupan di bibirnya. Dia yang gemas, buru-buru menyambar bibirku saat aku hampir mendekatkan bibirku ke bibirnya. "Kelamaan," ucapnya setelah mengecup singkat bibir istrinya ini. Membuatku menggeleng pelan sebelum benar-benar berlalu dari hadapannya. Sosok yang sebenarnya ingin aku selami hingga ke dasar hatinya. Mencari-cari benarkah ada cinta di hatinya untuk seorang Afifah. Gadis yang dulu dinikahi karena terpaksa dan membuatnya seperti enggan meski hanya untuk menatapnya. *** Kedatangan asisten rumah tangga yang baru, benar-benar membuat pekerjaanku jadi semakin ringan. "Apa perlu kita ambil satu lagi asisten rumah tangga? Biar kamu bisa bener-bener istirahat?" Sore ini, aku yang tengah menyiapkan menu makan malam, tertegun saat Mas Edgar yang baru pulang dari kantor, tiba-tiba membisikkan kata sambil memelukku dari belakang. "Jangan ngaco, ah!" balasku cepat. "Kenapa?" tanyanya pelan. Ya ampun, Mas! Satu asisten rumah tangga saja mamamu seperti tak ikhlas karena pekerjaanku jadi lebih ringan. Lalu, bagaimana ceritanya jika benar-benar tambah asisten satu lagi, apa tidak semakin marah? "Nggak apa-apa, Mas. Lagian, nggak baik juga orang hamil cuma diam dan nggak banyak gerak," ucapku, mencoba mencari alasan paling logis untuk disampaikan. "Oh … okelah, takutnya … kalau kecapean, kamu jadi …." Aku buru-buru membalik badan setelah mematikan kompor. Penasaran dengan kata-katanya yang tak tuntas sebelum ini. "Jadi apa?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. "Jadi kurang hot mainnya," balasnya tanpa terduga. Membuat Bik Marliyah—asisten rumah tangga baru—yang kebetulan juga berada di dapur, menoleh dan lantas terkekeh kecil. Sangat memalukan bukan, lelucon anak sulung Bu Melanie ini? "Ih … udah, ah, sana, ganti baju dulu. Bau asem," ucapku sekenanya, saat tak tahu dengan alasan apa untuk mengusirnya. "Iya, Sayang. Tapi … sebelum mandi, pengen sun dulu, dong." Lagi, tanpa tahu malu, Mas Edgar menunjuk pipinya. Aku yang tak ingin berbuat konyol dengan menunjukkan kemesraan secara berlebihan di depan Bik Marliyah, menggeleng tegas. "Ya udah, kalau kamu nggak mau. Biar aku aja." Aku membelalak lebar saat menyadari dia benar-benar nekat mengecup pipiku bahkan di depan Bik Marliyah, wanita paruh baya yang notabene adalah orang baru di rumah ini. "Bik, anggap nggak pernah lihat apa-apa, ya, sebelum ini." Aku yang kepalang malu, buru-buru mengatakan hal itu pada Bik Marliyah yang tersenyum tipis sambil menggeleng pelan setelah melihat majikan laki-lakinya mengecup pipiku tanpa tahu malu. "Santai aja, Non. Bibik paham, Bibik juga dulu pernah muda," sahut wanita itu terdengar ramah dan bersahabat. Rasanya … aku harus berterima kasih pada Rafka karena memilih asisten rumah tangga sebaik Bik Marliyah. Karena selain kalem dan pengertian, wanita paruh baya ini punya sifat keibuan yang cenderung mengayomi. *** "Non Afifah jadi, mau nganterin langsung makan siang Mas Edgar ke kantor?" tanya Bik Marliyah, saat melihatku menyusun makanan-makanan spesial kesukaan Mas Edgar dalam beberapa wadah sebelum memasukkannya ke dalam tote bag. "Jadi, dong, Bik," balasku mantap. Aku tersenyum sendiri ketika mengingat sudah lebih dari sebulan ini, hubunganku dan Mas Edgar membaik. Bahkan, sikap manisnya tak berkurang sama sekali sampai sejauh ini. Membuatku semakin yakin jika hatinya perlahan telah kumiliki. Apakah aku terlalu berlebihan jika beranggapan seperti itu? "Ya udah, Bik. Aku … berangkat dulu," ucapku penuh semangat, sebelum bertolak ke kantor tempat suamiku bekerja. "Hati-hati, Non." "Iya." Sampai di kantor, aku yang telah memiliki kartu akses—bisa berjumpa dengan Mas Edgar tanpa melakukan janji terlebih dahulu, langsung naik ke lantai tujuh. Menuju ruangan suamiku. Ruang yang pada pintunya ada tulisan direktur utama, membuatku tersenyum penuh semangat ketika hendak memasukinya. "Maaf, Bu. Pak Edgar sedang ada tamu." Baru hendak mengetuk pintu bercat putih di hadapan, aku dibuat menahan diri saat seseorang yang kuperkirakan adalah sekretaris Mas Edgar, yang rasanya datang dari arah lift, menghampiriku dengan tergesa. "Tamu?" tanyaku sedikit kecewa. "Iya, Bu," balas wanita cantik ini dengan begitu ramah. "Tapi … seharusnya ini sudah jam istirahat, 'kan, Mbak?" "Iya, tapi …." Aku menarik langkah mundur saat menyadari pintu ruangan suamiku terbuka beberapa saat kemudian. "Afifah?" Detik setelahnya, jelas sekali kalau Mas Edgar terkejut dengan keberadaanku di sini. Pun begitu dengan wanita yang keluar terlebih dulu sebelum dirinya. Dia tampak sangat gugup dan kikuk saat tahu aku datang ke sini tanpa terduga. "Ini, makan siang untukmu." Aku mengulurkan bekal makan siang yang sebelumnya kubuat dengan penuh semangat pada lelaki yang detik ini terlihat begitu salah tingkah. "Aku pulang," ucapku tanpa ingin melihat bagaimana ekspresinya. Rasa cemburu yang berbaur dengan rasa kecewa, membuatku tak ingin melihat mereka lebih lama. "Fah, aku bisa jelasin semuanya." Mas Edgar gerak cepat mencekal pergelangan tanganku. Membuat langkahku tertahan. "Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, Mas, aku pasti akan pergi dari hidupmu kalau ternyata sikap baikmu cuma kepura-puraan," ucapku penuh ketegasan. "Baguslah, sudah seharusnya kau pergi dan tidak menjadi batu sandungan dalam hubunganku dengan Mas Edgar." Aku melirik tajam saat wanita cantik itu mulai bersuara. Memperdengarkan suara indahnya saat mengomentari diriku. "Kau tahu, 'kan, di sini, bukan aku yang jadi orang ketiga?" ucapnya tajam. Membuatku terdiam seribu bahasa ketika jari tangannya yang lentik dia arahkan padaku. "Tapi kamu!" Tunjuknya tepat di depan dadaku. Kulihat wajah suamiku terlihat menegang saat wanita cantik bernama Kayla itu, menegaskan posisinya. "Tapi yang jadi istrinya, kan, Afifah. Jadi … tetap saja kau akan dianggap pelakor kalau masih nekat mendekati Edgar, Kayla." Aku, Mas Edgar, dan Kayla sontak menoleh saat menyadari suara tak asing itu memenuhi rongga pendengaran. "Jadi, jelaskan apa keputusanmu, Edgar, kau pilih pelakor, atau istri sah? Dan tentunya, setiap pilihan kau tahu sudah ada konsekuensinya masing-masing." "Aku …." "Jangan bilang kalau kau akan memilih wanita miskin ini demi kakekmu, Mas. Aku udah cukup bersabar membiarkannya masuk ke dalam hidupmu selama tujuh bulan ini," ujar Kayla terlihat ingin mengintimidasi. Mas Edgar terdiam untuk beberapa lama, membuatku semakin yakin jika sikap manis yang ditunjukkan selama ini, tak lebih dari sebuah kamuflase. "Mulai sekarang, aku tegaskan, jangan pernah datang atau menghubungiku lagi, Kay. Meski awalnya memang aku terpaksa saat menikah dengan Afifah, tapi nyatanya … ada calon bayi tak berdosa yang pantas aku pikirkan, Kay. Dia … anakku." Hatiku mendadak gerimis saat mendengar Mas Edgar membuat keputusan demikian. Kayla mendengkus kecil. "Jangan bercanda, Mas! Jadi menurutmu, bayi yang dikandung wanita miskin ini lebih berharga dari hubungan kita yang sudah terjalin selama bertahun-tahun?" Mas Edgar tak menyahut dan jelas hal itu semakin membuat Kayla meradang. "Baiklah kalau itu keputusanmu. Aku terima. Tapi, jangan pernah menyesal karena telah mencampakkan aku dengan cara seperti ini, Mas!" Kayla berlalu setelah menatap nyalang wajah suamiku dan menunjuk tepat di depan wajah ayah calon anakku. "Oh … takut miskin juga kau rupanya?" sindir Rafka terdengar tajam. Namun, suamiku tak menyahut apa pun ucapan sang adik. Takut miskin? Apa maksudnya? Benarkah Kakek Darma akan mencabut semua hak istimewa pada diri Mas Edgar seandainya dia lebih memilih Kayla dan meninggalkanku? Jika iya, apa alasannya? Bukankah aku cuma gadis miskin yatim piatu yang tak berharta? Apa yang istimewa? "Ayo, kita makan siang bersama hari ini, Fah. Jarang-jarang, 'kan, kita bisa lunch bareng kalau nggak dapat momen seperti ini?" ujar Rafka kemudian, membuat pikiran yang sedang melanglang buana, kembali pada posisinya. Napas Mas Edgar naik turun mendengar ajakan makan siang sang adik padaku. "Jangan bercanda. Dia istriku, Bodoh!" ucap suamiku terdengar tajam. Rafka hanya mendengkus pelan. "Bukankah kau cuma takut miskin? Bukan karena mencintainya? Jadi … nggak usah sok posesif, oke?" Mas Edgar tak menyahut. Seperti membenarkan apa yang dikatakan oleh adiknya. Membuat hatiku teriris perih. Ya Allah, bukankah seharusnya dari awal aku sadar diri? Kenapa aku harus sakit hati jika kenyataannya seperti itu? Bukankah memang tak mudah membalikkan hati yang sebelumnya telah tertaut pada satu nama setelah bertahun-tahun? "Mungkin, bukan ide yang buruk kalau kita makan siang bersama hari ini, Ka. Anggap saja … sebagai kenang-kenangan sebelum kita tidak lagi berstatus sebagai ipar," ucapku bersama hati yang kian terasa perih saat memandang sang pemilik wajah tampan yang tak seharusnya aku jatuh hati. Mas Edgar menggeleng cepat dengan tatapan mata yang terlihat sendu saat memandangku. Membuatku berpikir, dia hanya takut kehilangan diriku? Atau … cuma takut kehilangan jabatan dan segala kemudahan yang diberikan kakeknya? Entahlah. Semua masih menjadi misteri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD