Terlahir Miskin Bukan Keinginan

1225 Words
Adik iparku berlalu setelah meninggalkan ketegangan di wajah sang kakak. "Apa kamu menyukai Rafka?" tanyanya mengagetkanku. "Kenapa Mas bisa berpikiran seperti itu? Kalau aku menyukainya, tidak mungkin aku—." Tidak mungkin aku bertahan dengan pernikahan kita sampai enam bulan ini, Mas. "Mas, pengen kopi? Biar aku buatkan." Aku yang tak ingin mengingat lagi tentang kepahitan yang sempat mengisi perjalanan kehidupan pernikahanku dengan lelaki yang berdiri di sampingku ini, mencoba menanyakan tentang hal lain. Dia tak menyahut. Juga tak menggelengkan kepalanya. Membuatku tak mengerti tentang apa yang diinginkannya. "Mana yang perlu dibantu?" tanyanya kemudian. Dan, ya, itu memang sedikit mengejutkan untukku. Dia … serius ingin membantu pekerjaan dapur pagi-pagi begini? "Mana yang perlu dibantu, Afifah?" Mas Edgar mengulang kembali pertanyaan saat aku tak langsung menanggapi pertanyaannya sebelum ini. "Itu." Aku melirik pekerjaan Rafka yang belum sempat diselesaikan. Tanpa banyak bicara, Mas Edgar mengambil alih buncis yang ditinggalkan Rafka dan memotongnya. Mengikut bagaimana cara sang adik memotong sayuran itu. "Fah." Aku dan Mas Edgar yang sebelumnya tengah menekuni pekerjaan masing-masing, secara kompak menoleh saat Rafka kembali ke dapur dan tiba-tiba memanggil namaku. "Iya?" Tampak di mataku, Mas Edgar menatap tak suka pada sang adik yang terlihat santai saat memfokuskan pandangan pada kakak iparnya ini. "Bisa bikinin aku kopi? Seperti yang sempat kamu tawarkan padaku sebelum ini? Aku mau kopi putih, ya," cerocosnya tanpa jeda. Membuat sang kakak menatapnya lebih tajam. "Iya, Ka. Nanti aku bikinin." "Kalau bisa jangan lama-lama, ya. Soalnya, aku mau ke kantor lebih awal hari ini," terang Rafka yang secara spontan kusambut dengan anggukan kecil. "Oke, aku buatkan sekarang." "Sip. Ditunggu dengan senang hati." Dia tersenyum senang menyambut ucapanku. Sangat berbeda ekspresinya dibanding dengan sang kakak yang sedari tadi terus memilih untuk bermasam muka. "Aku rasa … kau masih memiliki anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Kenapa harus menyusahkan istriku, hm?" sindir Mas Edgar dengan masih mempertahankan tatapan bengisnya. Membuat diriku merasa aneh saat menyadari jika dirinya berubah menjadi galak dan posesif seperti ini. "Aku cuma tidak mampu menolak kebaikan yang ditawarkan kakak iparku. Itu saja," balas Rafka santai, tapi ampuh membuat napas suamiku memburu mendengarnya. "Mas mau dibikinin juga?" tanyaku sambil menyalakan kompor sebelum menyeduh air dan membuatkan adik iparku kopi putih, seperti yang dia pesan sebelum ini. "Tidak usah," balas suamiku sedikit ketus. Membuatku tak mengerti kenapa dia sudah menunjukkan gelagat bad mood pagi-pagi begini. "Oke," sahutku berusaha tetap tenang saat menghadapi mood-nya yang seperti roller coaster. "Ini, sudah jadi," ucapku saat kopi putih yang kusiapkan untuk Rafka, telah teraduk sempurna. "Makasih, Fah." Sambil menorehkan senyum, adik iparku meraih secangkir kopi putih yang aku angsurkan, lantas berlalu meninggalkan dapur tanpa banyak berkomentar lagi. "Mungkin benar adanya, jika ada sebutan yang mengatakan kalau ipar adalah maut," ucap suamiku tak lama setelah Rafka berlalu dari hadapan kami. Aku menggeleng pelan. Merasa jika Mas Edgar terlalu berlebihan sejak pagi ini. Padahal, jika ditilik lagi, ini bukan pertama kalinya Rafka meminta pertolongan padaku untuk membuatkannya kopi. Namun, ya … bukankah sebelum ini Mas Edgar memang tak pernah peduli dengan apa yang terjadi pada istrinya? *** Terhitung, ini adalah hari ketiga mertuaku lebih banyak diam saat berada di meja makan. Dia yang sebelum-sebelumnya sering cerewet dan kerap mengkomplain rasa masakanku, kini tak lagi berkomentar apa pun. Cukup membuatku tenang. Tapi entah kenapa … jadi ada yang terasa kurang. Tunggu! Jangan bilang kalau kau rindu dengan omelan-omelan mertuamu, Afifah! "Makan yang banyak ya, Sayang." Aku yang hampir menghabiskan nasi di piring, tersentak saat Mas Edgar menyendok nasi dan menambahkannya lagi ke piringku. "Aku udah kenyang, Mas." Aku yang memang sudah merasa cukup dengan sarapanku pagi ini, berusaha menolak niat baik suamiku yang menginginkan istrinya makan dengan porsi lebih banyak. Suamiku menggeleng pelan. "Kamu makan untuk dua orang, porsinya harus ditambah," ujarnya pelan, tapi membuatku merasa tersanjung. Aku benar-benar merasa tak enak hati saat Bu Melanie terus menatapku dengan pandangan sinis. Ya, aku tahu pasti apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Seorang pangeran tak seharusnya memanjakan kaum jelata. Suasana yang sebelumnya hening, mendadak berubah saat Rafka tiba-tiba berdeham keras. "Apa Mama merasa risih melihat keuwuan pasangan ini?" tanya adik iparku saat melirik padaku dan Mas Edgar secara bergantian. Jujur, ucapannya terdengar sedikit frontal dan membuatku benar-benar tak habis pikir. Apa maksudnya coba dia bertanya seperti itu pada ibunya? Bu Melanie menatap tajam ke arah adik iparku. Rasanya … dia pun menunggu apa yang akan diucapkan Rafka selanjutnya. "Gini, kalau Mama risih melihat kehangatan hubungan anak dan menantu Mama, bukankah sebaiknya Mama mencari pengganti Papa? Biar sama-sama … punya pasangan? Biar nggak ada rasa cemburu dan iri hati?" Ya ampun! Bukankah ucapan Rafka barusan terdengar sedikit kurang ajar? "Ah iya, itu ide yang bagus," sahut suamiku spontan. Eh, akur pula mereka? Bukankah kakak beradik ini sempat bersitegang saat di dapur tadi? Ah, entahlah. "Nah, kan?!" Rafka mengacungkan jari telunjuknya pada sang kakak yang duduk berhadapan dengannya. Bu Melanie terlihat jengah. "Aku rasa … 14 tahun adalah waktu yang cukup untuk membuktikan kalau Mama care pada kami, Ma," sambung Rafka kemudian. Napas Bu Melanie tampak tak beraturan mendengar ucapan demi ucapan yang Rafka lontarkan. "Karena sebentar lagi … aku juga ingin memperkenalkan calon istriku. Sebab itulah aku pun menginginkan Mama segera mencari pasangan. Biar kita sama-sama punya partner gitu, Ma." "Apa kamu bilang? Kamu ingin mengenalkan calon istri pada Mama?" sambar Bu Melanie dengan pandangan mata yang lebih tajam saat menatap wajah sang anak. Rafka mengangguk santai. Sementara Mas Edgar terlihat menampilkan senyum misterius mendengar pernyataan sang adik. "Ya. Aku sudah cukup umur bukan? Tahun depan umurku 25, tidak masalah, 'kan, kalau aku mulai mencari-cari calon pendamping hidup? Kecuali —." "Kecuali apa?" sambar mertuaku cepat. "Kecuali Edgar menyia-nyiakan Afifah, itu akan lain lagi ceritanya," ujar Rafka sambil melirik pada suamiku yang dadanya terlihat naik turun. "Jadi maksud kamu—?" "Ah, lupakan. Aku cuma bercanda, Ma," ucapnya saat mungkin menyadari telah salah bicara dan membuat ibunya semakin bertambah murka. "Jadi gimana, Ma. Mama udah siap berkenalan dengan calon mantu Mama yang baru?" Masih dengan napas yang terlihat memburu, Bu Melanie menggeleng tegas. "Jangan bilang kalau calon istri kamu adalah gadis tak berkelas seperti istri kakakmu ini, Ka," balas mertuaku sambil menatapku dengan pandangan sengit. Membuat diriku kembali merasa rendah diri saat ini. Rafka mendesah singkat mendengar bagaimana sang ibu memberikan penilaian terhadap orang-orang yang dianggapnya tak selevel dengan dirinya. Ya, aku paham betul jika harga diri seseorang hanya dilihat dari apa status dan berapa materi yang dimiliki orang itu. Itulah pemikiran yang bisa kutangkap dari ucapan dan tanggapan Bu Melanie selama ini. "Dia memang cuma bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket sebelum ini. Tapi, aku yakin, kok, kalau dia bakal bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku nantinya." "Mama tidak setuju!" tegas Bu Melanie dengan suara lantang. Namun, ditanggapi dengan sangat santai oleh putra bungsunya. Pun begitu dengan si sulung yang tampak cuek bebek melihat kemarahan sang mama. "Apa kalian pikir Mama nggak malu sama temen-temen arisan Mama, ha?" ungkit Bu Melanie sambil menatapku dengan tatapan kesal. "Teman-teman Mama bisa bangga memperkenalkan menantu-menantu mereka yang rata-rata anak seorang pengusaha. Tapi Mama, apa yang perlu dibanggakan jika ternyata punya menantu yang cuma bekas buruh pabrik," tambahnya sambil menatap diriku dengan pandangan sengit. "Sudah buruh pabrik, yatim piatu pula," cibirnya yang terasa semakin menikam hingga ke jantung. Apakah terlahir miskin dan menjadi seorang yatim piatu adalah pilihanku? Kenapa mertuaku memperolok dengan sangat kejam hal yang sebenarnya juga tak pernah kuharapkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD