"Siapa yang nelpon, Mas?" tanyaku sambil memindai wajahnya penuh kecurigaan.
"Te-temen," balas suamiku masih terdengar gugup.
"Temen?" Aku mengernyitkan dahi. Sebenarnya, dalam hati timbul kecurigaan jika yang menelepon dirinya barusan adalah Kayla, tapi, aku tak mau menanyakannya secara vokal. Takut merusak suasana jika ternyata … tebakanku meleset.
"Iya, mau ngajakin clubbing, tapi aku tolak," ucapnya terlihat bersungguh-sungguh.
Aku sontak tersenyum mendengarnya. Mencoba percaya jika ungkapan seorang pemabuk bisa saja bertaubat jika hatinya telah tersentuh saat hampir atau telah memiliki buah hati, memang benar adanya.
"Izinkan aku untuk belajar menjadi suami sekaligus calon ayah yang baik setelah ini, ya, Fah." Dia bangkit dan berjalan menghampiriku yang masih bertahan di posisi semula.
"Izinkan aku berusaha menebus dosa-dosaku di masa lalu, ya," ucapnya lantas meraih dan menggenggam erat tanganku. Pandangan matanya saat menatapku benar-benar membuatku terharu.
"Tolong, bantu aku keluar dari masa lalu kelam yang tidak akan mungkin membuatku bangga untuk menceritakannya pada anak-anak kita nantinya," ucapnya tampak bersungguh-sungguh. Lagi, dan lagi.
Kulepaskan genggaman tangannya, dan tanpa pikir panjang kupeluk tubuhnya dengan erat. Merasa telah menemukan sosok yang selama ini hilang dari dalam hidupku.
"Maaf … maafkan aku yang selama ini telah bersikap kasar dan tidak baik padamu, Sayang," bisiknya dengan suara yang terdengar serak.
Aku melepas pelan pelukan kami.
"Mas tidak perlu selalu meminta maaf. Dengan menunjukkan perubahan seperti ini saja, itu sudah sangat berarti untukku, Mas."
Dia mengangguk pelan menyambut ucapanku.
Ditatapnya wajahku penuh kelembutan dan detik kemudian, aku kembali dibuat tak berdaya ketika bibirnya menyergap bibirku tanpa ampun.
Ya ampun! Bisakah ini dipercaya? Sudah berapa kali kami melakukan hal ini sejak hubungan kami menghangat dua hari belakangan?
Kami sama-sama membuang muka setelah ciuman yang bisa dikatakan panas itu berakhir.
"Manis," ucapnya pelan. Membuatku yang sebelumnya memalingkan muka, menoleh padanya. Lelaki yang baru saja mengucapkan satu kata, tapi justru mengundang seribu pertanyaan.
"Apanya yang manis?" tanyaku memastikan.
"Bibir kamu," balasnya yang sontak membuatku memanyunkan bibir dan menatap gemas padanya.
"Jadi nyesel nganggurin kamu lama-lama," ucapnya sambil menatapku dengan tatapan nakal.
"Siapa bilang nganggurin? Ini! Apa?" Aku menunjuk perutku sambil bersungut-sungut manja.
Dia memekik tawa mendengar komplain yang kulayangkan.
"Kalau yang ini … kayaknya buah dari kekhilafan, deh," ujarnya sambil mengusap lembut perutku.
"Kekhilafan yang dilakukan berkali-kali?" tanyaku kembali memprotes ucapannya.
Dia tertawa renyah mendengar olok-olokan yang kuberikan.
"Udah ah, sana, cuci! Biar bersih," ujarku mengalihkan pembahasan. Membuatnya yang telah mengenakan handuk sebatas pinggang, kembali memandangku dengan tatapan usil.
"Cuci apanya?"
"Ih … tau, ah."
Suamiku bergegas menuju kamar mandi setelah memberikan satu kecupan hangat di bibir. Ah, manis sekali bukan sikap putra sulung Bu Melanie?
Melihatkan dia baru masuk ke kamar mandi, aku yang sejatinya masih penasaran dengan identitas seseorang yang menelepon suamiku, timbul keinginan untuk mencari tahu. Namun, belum sempat tanganku meraih dan mengambil ponsel miliknya, suara bariton milik Mas Edgar membuatku mengurungkan niat.
"Fah?"
Ya ampun! Cepat sekali dia kembali?
"Kamu … belum ngantuk?" tanyanya ketika keluar dari kamar mandi dan mendapati istrinya ini masih berdiam diri dengan duduk di bibir ranjang.
Aku menggeleng pelan.
"Ya udah, nggak usah tidur kalau gitu. Kita lembur sampai pagi, ya," ucapnya lantas mendekat padaku dan menonaktifkan ponsel miliknya.
Mungkinkah dia takut teman-teman nongkrongnya bakal menghubungi dirinya lagi untuk mengajaknya clubbing? Atau jangan-jangan … dia tak ingin Kayla tiba-tiba menelepon dirinya?
Ah, entahlah. Terlalu naif memang, jika aku percaya begitu saja kalau dia telah berubah dan melupakan Kayla. Bukankah dia dan Kayla sudah menjalin kasih cukup lama?
Ah, tapi bukankah … Allah maha membolak-balikkan hati? Aku jadi dilema lagi.
"Gimana? Udah siap buat nyambung ronde kedua?" tanyanya mengagetkanku.
"Serius mau minta lagi?" tanyaku sambil menunjukkan tampang keberatan.
"Serius, lah, kita kan … pengantin baru," ujarnya sambil menaik turunkan alisnya dan tersenyum nakal saat menatapku.
"Baru apaan, udah enam bulan juga," sanggahku cepat.
"Ya … tapi, 'kan kita baru saling mengenal luar dalam selama dua hari ini. Jadi, please, ya, izinkan aku mengenalmu lebih jauh."
"Apa mengenal lebih jauh harus dilakukan dengan minta jatah berkali-kali?" tanyaku yang mungkin saja terdengar konyol.
Dia tertawa pelan.
"Ya … itu salah satunya," sahutnya santai.
Aku bersungut-sungut kesal. Walaupun dalam hati sebenarnya tak menolak, tapi, pura-pura jual mahal sedikit, tidak masalah, 'kan?
Dan ya … seperti pasangan pengantin baru yang baru mengenal arti surga dunia, aku terus larut dalam sentuhannya. Kami baru bisa benar-benar tidur saat waktu hampir menunjukkan pukul tiga dini hari.
Seperti masih sulit untuk dipercaya, tapi, begitulah keadaannya.
***
Pukul 5.00 pagi, aku yang bangun lebih dulu, tertarik untuk menyambar ponsel milik suamiku yang disimpan di atas nakas. Terlihat kurang ajar memang, tapi … mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur penasaran sejak tadi malam.
Sambil terus berharap dia tak buru-buru terbangun dari tidurnya, aku mengaktifkan ponsel dengan hati berdebar. Namun, aku yang sebelumnya dilanda keresahan dibuat menahan kesal saat menyadari ponsel suamiku diamankan dengan sandi.
Ah, mungkinkah benar jika sikap baik Mas Edgar padaku selama ini cuma sekedar bentuk kepura-puraan?
Hatiku jadi ragu kembali.
Tak mau perbuatanku yang lancang ini diketahui oleh Mas Edgar, aku buru-buru mematikan kembali ponsel miliknya sebelum pergi ke kamar mandi.
Di depan cermin besar kamar mandi, aku yang baru selesai dengan acara mandi wajib, mendadak menarik bibir saat menyadari jika di tubuh dan leherku terdapat banyak tanda merah hasil karya putra sulung Ibu Melanie tadi malam.
Ah, jika sudah begini, pantaskah aku terus menerus meragukannya?
Bukankah setiap manusia pantas diberikan kesempatan jika ingin berubah?
***
Selepas mandi dan melaksanakan ibadah dua rakaat, aku berinisiatif turun ke dapur untuk memasak, karena katanya … pembantu yang direkomendasikan oleh teman Rafka akan datang besok atau lusa. Tidak masalah. Selagi aku bisa melaksanakan tugas rumah tangga, akan aku kerjakan sesuai kemampuanku.
Toh, cinta yang ditunjukkan Mas Edgar benar-benar ampuh menjadi suntikan semangat baru untukku dalam menjalani hari.
"Suami kamu mana?" Aku yang sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk dimasak, terkejut saat tiba-tiba saja menyadari Rafka telah berdiri di belakangku.
"Ada di atas," balasku tanpa menoleh.
"Belum bangun?" tanyanya santai.
"Lagi mandi," balasku, mencoba bersikap ramah.
"Oh …."
"Kamu … ngapain pagi-pagi begini udah ke dapur?" tanyaku balas membahas dirinya.
"Tadinya pengen bikin kopi, tapi lihat Bumil mau masak, kayaknya mending aku pending dulu, deh," ujar Rafka sambil mengulum senyum.
"Kenapa di-pending? Aku bisa, kok, bikinin kamu kopi. Mau kopi apa? Putih atau … hitam?" tanyaku berusaha menawarkan.
"Nggak usah, nanti aja. Sekarang mau masak apa? Ayo, aku bantuin. Soalnya … dua orang yang direkomendasikan temen aku, paling cepat datangnya besok. Sebenarnya nggak tega ngeliat kamu yang masih sering mual muntah bersibuk-sibuk sendiri di dapur. Tapi mau bagaimana lagi. Kamu yang sabar, ya," ucap Rafka panjang lebar dan terdengar menenangkan.
Aku mengangguk sambil menarik bibir tanpa terasa. Ada rasa bahagia tersendiri saat merasa ada yang peduli seperti ini.
"Sekarang, kamu masak nasi, dan aku bantuin nyiapin bumbu-bumbu aja, gimana?"
Aku mengangguk dan lantas melakukan apa yang disarankan Rafka dengan senang hati.
Baru selesai mencuci beras dan memasukkannya ke dalam panci magic com, aku dan Rafka yang tengah membantuku meringankan pekerjaan, dibuat tersentak saat mendengar dehaman keras seseorang.
Mas Edgar lebih tepatnya.
"Kamu … nggak ada kerjaan lain untuk dilakukan selain berada di dapur dan mengganggu istri abangmu, Rafka?" tanyanya terdengar sedikit ketus dan dingin.
Rafka yang sebelumnya tengah memotong-motong buncis untuk dimasak, sontak menghentikan kegiatannya dan lantas berjalan mendekati sang kakak dengan langkah mantap.
"Oke, kalau kamu keberatan melihatku membantunya, silakan bantu dia," ucapnya yang langsung disambut dengan anggukan mantap suamiku.
"Ya … rasanya itu lebih baik," balas Mas Edgar sambil tersenyum tipis.
"Jujur, melihat hangatnya hubungan kalian baru-baru ini, membuatku ikut gembira melihatnya. Tapi jika ternyata … kebaikanmu pada Afifah cuma pura-pura, bisa kupastikan jika ada laki-laki lain yang siap membahagiakannya. Aku," ucapnya sambil menunjuk dadanya sendiri dengan tegas.
Gigi Mas Edgar bergemeletuk dengan sorot mata yang tajam menghujam mendengar kalimat panjang yang baru saja disampaikan oleh sang adik.
"Jaga ucapanmu, Rafka!" desis suamiku terdengar tajam dan dengan tangan terkepal.
Rafka tersenyum sinis melihat bagaimana cara Mas Edgar menanggapi ultimatum yang diberikannya.
Aku kembali menarik senyuman. Bukan bangga karena tengah menjadi bahan perdebatan kakak beradik ini. Namun, melihat bagaimana suamiku menyikapi ancaman sang adik, memantik rasa haru di dalam hatiku.
Benarkah dia memang cemburu?
Bukankah cemburu tanda cinta?