Kenapa Gagap?

1414 Words
Sambil mengesampingkan rasa malu, aku menyiangi cabai dan bawang sebelum memulai acara memasak sore ini. Tak seperti biasanya, mual dan muntah tak datang menyerangku kali ini. Apakah ini efek karena aku merasa bahagia hari ini? Entahlah. Tatapan bengis mertuaku yang mengawasiku layaknya seorang majikan yang mengawasi pembantunya bekerja, tak kupedulikan. Mertuaku memang menyebalkan, tapi tak mengapa. Asalkan anaknya perhatian padaku itu tak jadi masalah. Harus aku akui, hidupku memang terasa lebih b*******h pasca menemukan sikap hangat suamiku hari ini. Ah! Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tak berselang lama, tampak Mas Edgar datang menghampiri diriku ke dapur. "Masak apa, Sayang?" tanya suamiku lembut. Sambil kakinya terayun mendekat ke arahku yang tengah sibuk di depan meja samping kompor. "Ini, mau bikin tumis kangkung sama ayam asam manis," balasku datar. "Perlu bantuan nggak?" tanyanya diiringi tatapan menggoda saat menatapku. Keberadaan ibunya sama sekali tak menghalangi suamiku untuk bersikap manis padaku. Bagai mendapat durian runtuh saja aku hari ini. Benar, 'kan? "Emang, Mas, mau bantuin?" tanyaku sembari melirik ke arah mertua yang masih saja berdiri di samping lemari pendingin. "Boleh, bantuin apa?" balas Mas Edgar masih dengan suara yang terdengar lembut menenangkan. "Metikin kangkung." "Nggak masalah, mana kangkungnya?" "Tuh." Mataku melirik ke arah pojokan meja dapur. Tanpa menunggu lama, Mas Edgar mengambil kangkung dan melepas ikatannya. "Metikinnya gimana?" Suamiku nampak kebingungan. Membuatku ingin tertawa, tapi sebisa mungkin aku tahan. "Ya tinggal dipetikin aja, Sayang," balasku spontan. Aku lantas menutup mulut saat merasa sudah keceplosan memanggil sayang pada suamiku di depan ibunya. Bu Melanie berdeham keras. Tampak sekali dia risih melihat kedekatanku dengan putra tampannya. "Demi wanita kampung ini, kamu udah ngelupain Kayla, Gar?" ungkit ibu mertua. Matanya melotot, menatapku penuh kebencian. "Stop bahas Kayla, Ma!" sergah Mas Edgar sambil menyilangkan jari di depan bibirnya. Aku rasa … suamiku jadi agak berani pada ibunya sekarang. Apakah aku harus senang, atau … sedih? Mendengar nama Kayla, entah kenapa hatiku mendadak jadi tak enak. Ada rasa cemburu yang menyelinap dalam hati. Dadaku bergemuruh menahan gejolak mendengar satu nama itu. Detik kemudian, tanpa diminta, mual dan rasa ingin muntah melanda tiba-tiba. Memaksaku segera berlari ke kamar mandi untuk melegakan apa yang mengganjal di batang tenggorokan. Dan tak lama kemudian, jelas terlihat di mataku, Mas Edgar nampak khawatir saat melihatku kembali dari kamar mandi. Buru-buru ia mengambil tissue dan mengelap sudut bibirku yang mungkin saja ada sisa muntahan belum lama ini. "Kamu … kamu nggak apa-apa?" tanyanya penuh kekhawatiran. Membuatku merasa sesuatu yang … entah. Aku menggeleng pelan. Menatap sendu wajah suamiku yang ketampanannya jadi naik berkali lipat saat bersikap baik seperti sekarang ini. "Halah, Gar. Namanya orang hamil ya begitu!" ketus mertuaku yang sedari tadi masih belum ingin beranjak dari posisinya. Mas Edgar mengibaskan tangannya, seperti tak ingin mempedulikan ucapan ibunya yang senantiasa menyepelekan apa yang terjadi padaku. "Udah, nggak usah masak, ya. Biar ntar aku pesen makanan online aja," ucap suamiku terdengar enteng. "Tapi, Mas." Mendengar usulan itu, aku benar-benar jadi tak enak hati dibuatnya. Takut dikira malas dan memanfaatkan keadaan. "Nggak apa-apa, Sayang. Besok aku cariin pembantu baru pengganti Mbak Fitri, ya." Mas Edgar merengkuh kedua tanganku dengan lembut. "Tapi, Mas." "Berani kamu, Gar!" Ibu mertuaku mendelik menatap putranya yang mungkin saja dirasa lancang karena membuat keputusan tanpa bertanya lebih dulu pada ibunya. "Kalau aku nggak boleh cari pengganti Mbak Fitri, biar aku sama Afifah saja yang pergi dari rumah ini." Aku dan Bu Melanie kompak menajamkan pandangan ke satu arah saat mendengar kalimat itu tercetus dari bibir suamiku. "Apa kamu bilang?" tanya Bu Melanie tak percaya. "Bukankah ucapanku sebelumnya sudah cukup jelas, Ma?" Terlihat wanita paruh baya itu seperti kehabisan kata-kata saat mendengar balasan tegas suamiku. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Edgar menarik tanganku ke kamar. Meninggalkan ibunya yang masih berdiri mematung, seperti tak percaya dengan perubahan sikap anaknya yang sedrastis ini. Sampai di kamar, tampak ia mengambil ponsel yang disimpan di atas nakas samping tempat tidur. Suamiku lantas duduk di bibir ranjang dan aku mengikuti. "Mau makan apa?" tanya Mas Edgar sambil menscroll gawai di tangannya, mencari menu makanan di aplikasi ojek online. "Apa aja deh, Mas," balasku sekenanya. Melihat harga-harga makanan yang tertera di aplikasi membuatku mengelus d**a. Kenapa cah kangkung saja jadi mahal begitu? "Kamu kenapa?" tanya Mas Edgar keheranan ketika memindai wajahku. Bisa dipastikan, ekspresiku saat ini persis seperti orang yang tidak punya uang, datang ke mall besar dan melihat bandrol mahal pada suatu produk. Bisa dibayangkan? "Mas, aku mendingan masak aja, deh," tuturku sambil memilin ujung rambut. "Kenapa emangnya?" "Itu makanannya mahal semua," ujarku sambil menunjuk layar ponsel Mas Edgar dengan bibir mengerucut. Suamiku tertawa terbahak melihat sikapku yang mungkin saja terkesan norak dan kampungan. "Dasar emak-emak! Perhitungan banget!" sindirnya diiringi tawa menggelegar. "Dasar bapak-bapak! Boros!" balasku ketus yang sontak disambut tawa menggelegak. "Biarin, yang penting istri bahagia." Pipiku sontak menghangat mendengar bagaimana dia membalas olok-olokan yang kuberikan. Kutatap wajahnya dengan seksama, mencari-cari adakah kebohongan atau pun sandiwara yang mungkin sedang ia jalankan. Namun, hanya sorot mata dan raut wajah menenangkan yang kutemukan di sana. Ya Allah, benarkah ini? Benarkah hubungan kami memang telah membaik secepat ini? Hatiku kembali dilanda keraguan tentang benar atau tidaknya suamiku yang berubah dalam waktu singkat. "Kamu kenapa?" tanya Mas Edgar saat mungkin menyadari jika aku mendadak diam. Aku menggeleng pelan. "Ada masalah?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng lagi. "Boleh pinjam tangannya sebentar?" pintaku dengan suara pelan. Detik ini, jelas sekali suamiku kebingungan mendengar pertanyaan sekaligus permintaan yang kulayangkan ini. "Ya, tentu saja," ucapnya kemudian, dan lantas mengulurkan tangannya yang kekar padaku. "Katakan padaku jika ini bukan mimpi, Mas," ucapku saat menyadari jika aku memang tengah menggenggam tangannya saat ini. Dia memalingkan wajah sebelum mengucapkan sesuatu. "Tentu saja ini bukan mimpi, Sayang," ucapnya sambil menatap dalam mataku. "Tapi, seandainya ini hanya mimpi, aku hanya berharap jika aku tak kan pernah terbangun dari tidurku." "Afifah …," ucapnya lirih saat menyebut namaku. Kulihat dadanya naik turun dengan mata yang tiba-tiba menampakkan bias kaca saat kedua tangannya terulur dan menangkup pipiku. Ya Allah, benarkah hatinya memang telah luluh? "Aku mungkin memang tak secantik Kayla, Mas, tapi, bolehkah aku berharap bisa mendapatkan hatimu suatu hari nanti?" ujarku sambil menatap dalam wajahnya. Membuat suamiku menjauhkan kedua tangannya secara spontan. Ada apa? "Beri aku waktu untuk belajar menerimamu, ya," ucapnya setelah beberapa lama diam. Aku mengangguk dengan rasa haru. "Tentu saja, tentu." *** Malamnya, aku masih memaksakan diri untuk tetap terjaga meski jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Mas Edgar bilang, kalau dia ada lembur hari ini. Dan aku berinisiatif menunggu kepulangannya. Tepat pukul 22.15, senyumku terukir saat menyadari sosok yang sudah kunantikan kepulangannya sedari tadi, akhirnya muncul juga di hadapanku. "Eh, belum tidur, Sayang?" tanyanya yang sontak membuat hatiku melayang. Ya, kata sayang yang meluncur dari bibirnya terdengar sangat lembut dan luwes. Begitu nyaman di telinga. "Belum." Aku menggeleng pelan dengan senyum terkulum. "Oke, kalau gitu … biar aku mandi dulu, ya. Habis itu …." Dia mengedipkan sebelah matanya dan lantas menatap nakal padaku. Membuat hatiku berdebar saat bisa menangkap apa maksud ucapannya. Sekitar sepuluh menit aku menunggunya mandi dan selama itu pula aku merasakan tengkuk leherku mendadak dingin dan kaku. Tenangkan pikiranmu, Afifah! Tenangkan. Tidak perlu gugup. Bukankah ini bukanlah pengalaman pertama untukmu? Seperti pengantin baru yang masih malu-malu, aku buru-buru membuang pandangan begitu Mas Edgar muncul setelah pintu kamar mandi terbuka. Menyadari aku begitu salah tingkah, dia yang masih mengenakan handuk sebatas pinggang, justru mendekat dengan senyum terukir di bibir. "Bisa kita mulai sekarang?" bisiknya mesra. Membuat bulu kudukku berdiri. "Bi-bisa, tentu saja," balasku terbata-bata. "Baiklah, kalau begitu … buka sekarang," bisiknya lagi. Aku tak kuasa menolak saat dia melepas satu persatu kain yang melekat di tubuhku. Seperti kemarin, semuanya terjadi begitu saja. Tanpa paksaan, juga tanpa ketidaksadaran. Dia menjatuhkan tubuhnya di sampingku pasca mendapatkan hak batin yang dengan sukarela kuberikan malam ini. "Makasih, Sayang." Tak lama kemudian, aku yang hendak menurunkan kaki sebelum pergi ke kamar mandi, dibuat menahan gerakan saat dia mengucap dua kata itu penuh kelembutan. Aku mengerjap pelan sebelum benar-benar pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ada rasa bahagia yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata saat merasa jika apa yang baru saja terjadi pada kami sudah sangat pantas disebut sebagai aktivitas percintaan antara suami istri. "Please, berhenti menghubungiku sampai—." Mas Edgar buru-buru menutup sambungan telepon ketika menyadari aku keluar dari kamar mandi detik kemudian. Membuat diriku penasaran dengan siapa identitas sang penelepon yang menghubungi dirinya malam-malam begini. "Siapa yang menelepon, Mas?" tanyaku sambil mengayunkan langkah semakin dekat dengannya. "Dia … dia—," jawab Mas Edgar terdengar gugup. Siapa yang menelepon sebenarnya? Kenapa suamiku mendadak gagap begini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD