BAB 2 Lamaran dan Pernikahan

1313 Words
Keheningan terjadi dalam detikan jam berjalan. Aku semakin menundukkan kepala, kedua ujung jari tanganku beradu dan bermain-main, mencoba menghilangkan kegugupan yang terjadi. “Jadi ini yang namanya Fera? Kalau di lihat langsung, lebih cantik dari fotonya ya...,” kata seorang wanita paruh baya. Suaranya terdengar lembut. Bahkan kuakui lebih lembut dari suara Bundaku. “Fera, kok diem aja. Kalau di puji itu bilang makasih,” tutur Bunda. Aku tersenyum tipis, kemudian berkata tanpa berani mengangkat kepala, “Terimakasih, Tante,” ucapku sopan. Wanita yang aku panggil dengan sebutan 'tante' itu terlihat mengulas senyum hangatnya. “Kok tante manggilnya? Panggil Ummi aja,” tutur wanita dengan khimar panjangnya itu. Aku kembali tersenyum tipis. Kemudian ku tatap Bunda yang tampak mengangguk, menyuruhku untuk menyetujui permintaan wanita itu. “Baik, Ummi,” ucapku penuh keraguan. “Oh iya, Fera. Jadi gini, kedatangan mereka kemari ini sebenarnya ada hubungannya sama kamu,” sela seorang pria paruh baya. Dia ayahku, orang-orang memanggilnya Pak Hasan, sosok yang tegas dan tidak mudah untuk dibantah apalagi di lawan. “Eh? Aku?” tanyaku kebingungan. Ayah yang biasanya jarang sekali tersenyum, kecuali pada Bunda, kini aku bisa melihatnya tersenyum lepas sembari menatapku dan seseorang di seberang meja sana secara bergantian. “Nak Fatih, silahkan memperkenalkan diri,” suruh ayahku pada seorang pria yang sangat asing bagiku. “Baik, Pak Hasan, jazakallahu khoir,” ucap pria itu dengan gaya bahasa Arabnya. Mendengarnya bertutur seperti itu, aku sedikit mengangkat wajahku. Merasa penasaran dengan wajah pria yang menurutku terlalu lebay menggunakan bahasa Arab hanya untuk berterima kasih. “Mbak Fera,” panggilnya. Aku semakin diam membisu. Tenggorokanku seolah tercekat oleh sesuatu yang berduri. Suaranya mengalun lembut. Ada getaran aneh yang menyelubungi setiap arteriku. Jiwaku meronta, hatiku tergelitik, dan jantungku... detakannya bagai domba yang dikejar oleh serigala, berdegup kencang penuh adrenalin. “Saya Fatih Al-habib. Kedatangan saya kemari untuk melamar Mbak Fera secara resmi,” sambungnya. Melamar? Aku terhenyak. Kepalaku terangkat, ku tatap pria yang mengajakku bicara itu dengan binaran keterkejutan. “Me...melamar?” tanyaku terbata-bata. Kemudian, dapat aku rasakan tangan Bunda meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Aku pun menoleh padanya. Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? “Jadi begini, Fera...,” ayahku menyela. Ayah sepertinya paham dengan raut wajah bingungku yang dipenuhi kepanikan. “Beberapa bulan yang lalu, keluarga kita dan keluarga Nak Fatih ini sudah berembuk. Kami sepakat untuk menikahkan Fera dengan Fatih setelah Fera lulus SMA,” jelas Ayah. Tubuhku lemas seketika itu. Aku di jodohkan? Parahnya, orangtuaku menjodohkanku tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. Seolah semua ini harus aku terima dan aku jalani. Tidak boleh ada protes, tidak boleh pula ada penolakan. Umurku barulah 18 tahun. Siapa yang mau menikah di usia emas sepertiku? Aku ingin menolak. Berkata 'tidak' dengan tegas. Tapi, melihat tatapan tajam dari Ayah dan tatapan memelas dari Bunda. Aku bisa apa? Ingin marah dan mengumpati mereka dengan puas pun aku tidak bisa. “Bagaimana Fera? Fera setuju kan menikah dengan Fatih?” tanya wanita yang meminta dirinya dipanggil 'ummi' olehku. Dua detik aku memejamkan mataku, berpikir seolah itu mampu mengusir kegundahan yang melekat kuat di dalam hatiku saat ini. “Fera?” panggil Bunda. Semuanya menatapku, menunggu jawabanku yang sebenarnya tidak perlu mereka tunggu. Karena menjawab 'iya' ataupun 'tidak', hasil yang aku dapatkan tetap lah sama. Mereka akan tetap menikahkanku dengan pria asing itu. “Aku, aku ikut jawaban Bunda sama Ayah. Kalau mereka setuju, Fera juga setuju,” jawabku. Hanya itu jawaban teraman bagiku. “Alhamdulillah...,” ucap semua orang, kecuali aku dan pria itu. Diam-diam aku menatapnya lebih dalam dari sebelumnya. Kini kutahu kalau matanya berwarna hitam legam. Kulitnya kuning langsat, pakaiannya bersih, rambutnya tersisir dengan rapi, seperti pria dalam majalah idola. ••• Tak kusangka, hari pernikahan kami pun sudah di siapkan sedemikian rupa. Siapa yang mengira kalau ternyata malam setelah lamaran itu diterima. Tiga hari kemudian, akad nikah kami pun di langsungkan. Dulu, aku pernah bermimpi. Menikah dengan seorang pria pilihanku sendiri. Membuat acara pesta resepsi yang kami sukai dan berfoto bersama teman-temanku yang akan menjadi bridesmaids. Tapi kini, impian itu hanya sekedar mimpi, bunga tidur yang tidak pernah mekar dan nyata. Aku menghela napasku. Menatap pantulan diriku pada cermin yang ada di hadapanku. Kekecewaan dan rasa syukur benar-benar terbaur menyelinap masuk ke dalam relung hatiku. Aku kecewa karena pernikahan kami tidak akan ada resepsi. Tapi disisi lain, aku merasa senang karena dengan begitu, tidak akan ada teman-temanku yang tahu jika aku sudah menikah. Apa kata mereka nanti kalau sampai mereka tahu jika orang yang pernah menentang tegas tentang masalah pernikahan dini. Sekarang malah menelan ludahnya sendiri. “Fera,” panggil Bunda. Wanita yang sangat aku sayangi itu masuk ke dalam kamarku. Aku tersenyum tanpa menoleh. Dari pantulan cermin itu kami saling beradu pandang. “Masya Allah, cantik, anak bunda memang yang paling cantik,” pujinya membuatku tersipu malu-malu. “Oh iya, tadi Fariz telpon Bunda. Dia bilang nanti sore baru sampai sini. Jadi pas akad kamu, kayaknya Mas-mu itu enggak bisa dateng deh,” tutur Bunda. Aku pun langsung menekuk wajahku. Saudaraku satu-satunya tidak bisa menjadi saksi di saat akad nikahku. Sedih rasanya. “Tapi nanti bakalan pulang 'kan, Bun?” tanyaku. Bunda mengangguk sembari tersenyum lembut, “Iya, dia pulang, Mas Fariz-mu pasti dateng kok,” jawab Bunda. Aku pun tersenyum senang mendengarnya. “Maaf, Bun, Mbak Fera, semuanya sudah siap. Pihak laki-laki juga sudah datang,” kata asisten rumah tanggaku, Mbak Rum. “Ayo, Fera,” ajak Bunda. Aku mengangguk, lalu dengan bantuan Bunda dan Mbak Rum. Aku berjalan keluar dari kamarku dengan susah payah, bukan karena gaun yang kupakai terlalu meriah, bukan pula karena aksesorisku yang terlalu banyak. Tapi ini karena kakiku yang terbalut kaus kaki berwarna krem terasa lemas seperti kesemutan. “Kamu baik-baik aja kan, Ra?” tanya Bundaku. Aku tersenyum tipis, “Fera gugup, Bunda,” jujurku. “Bismillah aja, Mbak Fera. Insya Allah nanti di hilangkan rasa gugupnya, terus semua berjalan lancar,” nasihat Mbak Rum. Aku mengangguk, “Iya, Mbak Rum. Makasih nasihatnya,” ucapku yang langsung dibalas dengan anggukan kepala serta senyum ramah dari Mbak Rum. Kami pun berjalan keluar dari kamar menuju ruang tamu yang kini di sulap menjadi ruang akad nikah antara aku dan pria bernama Fatih. Sekitar tiga-puluhan orang terlihat duduk dengan pandangan yang kini beralih fokus menatapku. Senyum merekah terukir di wajah mereka. Tidak sepertiku yang hanya bisa bungkam dengan jantung berdebar kencang. “Fera, ayo duduk sini,” kata Ummi yang belakangan ku tahu namanya adalah Ummi Aida. Ummi Aida menepuk tempat kosong di samping pria itu. Melihat sosoknya yang duduk dengan tegap di sana, jantungku semakin mengacau ricuh. Perlahan aku duduk di sampingnya. Kemudian sedikit menundukkan kepalaku. Tidak berani aku meliriknya apalagi menatapnya. “Kedua mempelai sudah ada di sini. Tapi sebelum akadnya dimulai. Sebelumnya mari kita mendengar sepatah dua patah kata yang akan di sampaikan oleh istri pertama Mas Fatih,” kata si penghulu. Is... istri pertamanya? Maksudnya... aku, aku akan menikah dengan pria yang sudah beristri?! Batinku menjerit keras. Aku menatap Bunda yang langsung menatapku dengan tatapan meminta maafnya. Ingin sekali aku menangis dan meronta, meminta agar pernikahan ini dibatalkan saja. Tapi di sisi lain, aku tidak ingin mencoreng nama baik keluargaku dengan membuat keonaran di acara akad nikahku sendiri. Kini, seluruh indra pada tubuhku seakan mati rasa. Karena keterkejutan ini, aku seolah tidak dapat merasakan dan mendengar apapun yang terjadi di sekitarku. Bahkan untuk bernapas pun aku merasa kesulitan. “... saya pikir itu saja yang dapat saya sampaikan pada suami saya dan Dik Fera, selaku calon istri kedua Mas Fatih,” kata-kata terakhir dari perempuan yang merupakan istri pertama dari calon suamiku itu terdengar menelisik memasuki telingaku. Aku sampai menutup mataku beberapa detik lamanya ketika aku harus mendengar kata 'istri kedua' terucap dari mulutnya. Menit berikutnya, aku seperti di paksa masuk ke dunia mimpi buruk. Suara lantangnya yang mengucap akad nikah menjadi pertanda bahwa kini aku sah menjadi istrinya. Istri keduanya, istri mudanya, istri barunya. Predikat manapun yang akan aku sandang, semuanya sama saja bahwa aku adalah orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Duniaku benar-benar runtuh. Impianku hilang dan kini masa depanku pun lenyap. Tubuhku terasa lemas, aku seperti sepotong kayu yang terombang-ambing di atas lautan lepas. Tidak tahu harus pergi mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD