BAB 3 Menjadi istri keduanya

1064 Words
Setelah akad nikah terucap dan do'a pengantin-baru di lafalkan. Pria itu kemudian berbalik menghadapku. Aku diam bergeming, tak bergerak sedikitpun dan masih pada posisi awalku. Aku tidak ingin menghadap ke arahnya atau ke arah siapapun. Inginku saat ini hanya satu. Aku ingin berlari. Sejauh mungkin. Kemanapun itu, aku tidak peduli. Aku hanya ingin berlari. Berlari meninggalkan semua yang menimpaku saat ini. Diriku terlanjur kacau. Protes yang tak tersampaikan membuat pilu dan kesal terpendam di hati. Sesak. Seolah ada batu besar yang menyumpal di antara tulang rusuk, tempat hatiku berada. "Fera," lirih Bunda, berada tak jauh di sisi kiriku. Aku tidak menanggapinya. Aku masih membeku dalam diam. Bisik-bisik dari keluarga dan para undangan yang menyaksikan pernikahanku pun mulai memasuki indra pendengaranku. Tapi aku tidak peduli. Bahkan, sorot tajam dari Ayah yang biasanya mampu menciutkan nyaliku, kini tak lagi berpengaruh padaku. Ini semua karena rasa kekecewaanku yang begitu besar. Aku merasa di tipu, di tusuk dari belakang, di khianati, di anggap remeh. Aku ini apa bagi mereka? Apa aku semurah itu? Teganya mereka menjodohkanku pada pria yang sudah menikah. "Fera...," lirih sebuah suara di samping Bunda. Ummi Aida, dia terlihat cemas. Raut khawatir terurai jelas di wajahnya. Sekilas aku menatapnya, kemudian beralih pada Bunda yang lagi-lagi mengeluarkan raut memelasnya. Sikap mereka sungguh membuatku ingin sekali menghela napas panjang. "Fera," kali ini sebuah suara bass terdengar mengalir lembut memasuki telingaku. Sejenak ku tutup mataku, lalu membukanya kembali diiringi dengan helaan napas pelan. Apa yang harus aku lakukan? Melanjutkan semua drama menjijikan ini atau menolaknya mentah-mentah dan kemudian aku akan menjadi janda muda? "Fera, Nak... ayo balik badan dan cium tangan suami kamu," nasihat Bunda. Ingin sekali aku menolak nasihatnya. Ingin sekali aku menentang keinginannya. Tapi tubuhku, dia seolah bergerak sendiri, mengikuti semua perkataan yang Bunda lontarkan. Aku memutar tubuhku sembilan-puluh derajat menghadap ke arah pria itu. Aku yang biasanya tak berani menatapnya lurus, kini ku tatap dia dengan sorot tajamku. Aku tidak suka, begitulah arti dari tatapanku padanya. Tapi, alih-alih membalas tatapan tajamku. Pria bernama Fatih itu malah mengeluarkan tatapan lembutnya diiringi senyum hangat yang membelai hatiku. "Fera, ayo cium tangan suami kamu. Itu akan menjadi awal bagimu karena kelak selanjutnya kamu akan banyak menuai pahala dari tangannya, insya allah," tutur Ummi Aida. Hatiku mencelos mendengarnya. Pahala? Yang benar saja. Siapa yang sudi menuai pahala dari pria yang menikahi dua wanita? Siapa pula yang mau menjadi istri muda untuk pria yang tidak puas dengan satu istri seperti dia? Semua ini karena tipu muslihat kalian, aku tertipu dengan sangat apik. Hatiku sungguh membeku untuknya, tidak akan pernah ada ruang untuk dia mengusikku. Hanya saja, semua protes dan keluhanku itu tidak akan pernah tersampaikan. Terlontar keluar dari tenggorakanku saja sulit, apalagi sampai keluar dari mulutku yang sering bungkam ini. Pada akhirnya, dengan terpaksa aku pun meraih tangannya yang sudah menggantung di udara. Ku raih tangan itu, lalu kucium punggung tangannya cepat. Namun, belum sempat aku menyudahi salimku padanya. Dapat aku rasakan sesuatu yang lembut menekan keningku, membuat hatiku berdesir tak menentu. Sekilas, dia kecup kening polosku. Aku terhenyak, membelalakkan mata karena terkejut. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika seorang wanita memelukku hangat. "Mbak berharap kita bisa hidup rukun bersama ya, Fera," ucapnya. Suaranya terdengar halus, seperti putri-putri kerajaan Jawa yang penuh dengan tata krama. "Ii...iya, Mbak," jawabku canggung. Jujur, sebenarnya aku merasa bersalah pada wanita ini. Dia istri pertama suamiku. "Kedepannya kita harus lebih akrab lagi ya. Kalau Fera ada yang mau di tanyakan tentang Mas Fatih, bisa tanya-tanya sama Mbak. Enggak usah malu," kata wanita yang belum aku ketahui namanya. Dia berkata sembari tersenyum melirik suamiku, ralat, yang benar adalah suami kami. Mas Fatih terlihat mesem mendengarnya. "Masya Allah, kalau begini, rasanya adem loh lihatnya," ujar seorang wanita paruh baya yang masih asing bagiku. "Oh iya, Fera. Ini ibunya Mbak, panggil aja Umma Nur," sahut wanita di hadapanku itu, memperkenalkan ibunya padaku. Aku kembali menampilkan senyum palsuku. Ku sambut jabatan tangan wanita paruh baya itu dengan sopan santun dan tata krama yang Bunda ajarkan padaku. "Fera ternyata memang cantik ya. Pantas saja Fatih langsung setuju sewaktu di tawari Fera untuk jadi istri mudanya," kata Umma Nur, entah itu pujian atau sindiran, aku pun tak tahu. "Umma... jangan bilang gitu dong. Fera-nya nanti bisa salah paham," ujar istri pertama suamiku. Umma Nur hanya tersenyum tipis mendengarnya, "Astaghfirullah. Maaf ya, Fera," ucapnya. Aku pun mengangguk menanggapinya sembari berkata, "Iya, Umma Nur, tidak apa," ucapku dengan senyuman. "Fera, Fatih, ayo sungkem dulu sama orangtuanya masing-masing," kata si penghulu. Kami berdua pun mengangguk, lalu mulai melakukan tradisi sungkem yang memang melekat kuat dalam suku-ku, Jawa. *** Hari beranjak sore. Matahari mulai meninggi dan perlahan condong ke arah barat. Waktu zuhur pun melewati kami beberapa jam yang lalu. Para tetangga telah pulang. Sanak saudara dari kedua belah pihak keluarga pun satu-persatu berpamitan. Aku duduk dengan tenang, kemudian meluruskan kakiku yang terasa berdenyut. Lelah menyelimuti diriku. "Kamu capek?" tanya suara bass itu lagi. Sekilas aku terlonjak kaget. Namun kemudian, aku menatapnya. "Masih sanggup kok," jawabku pada pria yang kini tengah duduk di antara aku dan istri pertamanya. Sungguh menggelikan. "Fera kalau capek istirahat aja," kata perempuan di samping pria itu. Si istri pertama suamiku, namanya Sarah Anastasia. Mbak Sarah, begitulah dia menyuruhku memanggilnya. Aku baru tahu namanya beberapa jam yang lalu setelah kami usai salat zuhur berjamaah. "Istiraharlah, kalau mau tidur, tidur aja. Nanti asar di bangunin untuk salat berjamaah," sahut Mas Fatih, suamiku. Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku pun menatap Mbak Sarah, dia tersenyum lembut, setuju dengan apa yang Mas Fatih katakan. "Iya, Mas. Kalau gitu, Fera masuk ke kamar dulu," ucapku yang kemudian beranjak dari dudukku. Aku menoleh sekilas menatap Mas Fatih yang masih menampilkan senyumannya. Ku balas senyum itu tipis. Lalu kemudian, aku pergi menuju kamarku. Meninggalkan sepasang suami-istri yang sudah aku rusak keelokan cinta mereka. Sesak di dalam hatiku masih belum pudar. Hebatnya aku yang masih bisa menampilkan senyum cerah pada setiap orang yang mengucap selamat padaku. Hatiku mendesah. Sungguh patut diriku ini di apresiasi sebagai aktris terbaik tahun ini. Berpura-pura seolah semua baik-baik saja. Hidupku hancur, impianku melayang entah kemana. Tapi aku masih diam. Diam menuruti semua permainan yang mereka semua buat untukku. Aku ingin memberontak. Tapi, ketidaktegasanku pada diriku sendiri membuat aku merasa jijik pada diri ini. Aku hanya bisa diam karena tidak punya nyali besar untuk memberontak keadaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD