BAB 4 Hari pertama menjadi istrinya

1297 Words
Malam berlalu, sinar matahari menyambutku, aku menggeliat di atas tempat tidur. Saat tanganku tanpa sengaja menyentuh kasur di sisi kiriku yang terasa dingin dan ternyata kosong, aku pun menoleh. “Dia benar-benar tidak datang,” gumamku, seperti seorang istri yang kecewa. Tapi kemudian, aku menggelengkan kepalaku kuat, ‘Apa yang kamu pikirkan, Fera?’ batinku. “Seharusnya aku bersyukur karena semalam dia tidak datang ke kamar ini. Ya, aku seharusnya bersyukur,” kataku sembari meringsek bangun dari posisi tidurku. Tapi anehnya, rasa kesal dan kecewa entah kenapa benar-benar menyerang hatiku. Setelah pernikahan sederhanaku kemarin. Malamnya, deraian air mataku yang tak ingin pergi dari rumah menjadi perjalanan panjangku hingga aku dengan terpaksa ikut suamiku pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, suamiku langsung menunjuk sebuah kamar yang katanya akan menjadi kamarku. Tanpa aku menunggu lama, aku pun masuk dengan segera ke dalam kamar yang ia tunjukkan padaku. Dan sekarang, sepertinya kamar ini benar-benar milikku seorang. Tidak ada embel-embel kata kamarku dan kamarnya. Karena dia pun aku yakin tidak akan pernah ada niat untuk masuk ke dalam kamar ini. Aku tersenyum miris mengingat bahwa diriku bagai istri cadangan, yang akan berguna saat istri pertamanya telah tiada. Ya, aku baru mengetahuinya kemarin. Dari cerita Bunda, aku tahu kalau umur Mbak Sarah tidak akan lama lagi. Karena itu Mas Fatih di suruh keluarganya untuk mencari istri kedua. Istri yang dapat memberinya keturunan, juga mampu menemaninya hingga dunia berakhir. Mengetahui fakta itu, rasanya aku ingin mencibir nasib burukku berulang kali. Kenapa harus aku diantara banyaknya wanita di luar sana? Helaan napas kasarku pun tak henti-hentinya terdengar. Lalu, tiba-tiba suara ketukan pintu menggema masuk ke dalam kamarku. “Fera...,” panggil sebuah suara dari luar sana. Itu suara Mbak Sarah. Dengan cepat aku pun menyahutinya, “Iya?” “Sudah bangun ya. Ayo cepat keluar dan makan bersama,” ajaknya. Aku menatap pintu itu dalam diam. Melihat jam yang terpajang di dinding menunjuk ke angka delapan, aku tersadar kalau aku bangun terlewat siang dari waktu seorang muslim seharusnya bangun. “Fera?” panggil Mbak Sarah lagi. “Iya, Mbak, sebentar lagi aku keluar,” kataku yang langsung bergegas masuk ke kamar mandi, mengambil wudhu untuk menunaikan salat subuh yang tak sengaja aku lewatkan. ••• Dua puluh menit aku mandi, berpakaian dan salat subuh. Setelah itu, aku keluar dari kamar menuju ruang makan. Dengan langkah ragu, aku berjalan mendekati ruang makan yang terhubung dengan dapur itu. “Fera,” panggil Mbak Sarah yang menyadari kedatanganku. Wanita itu tersenyum lembut padaku. “Ayo duduk sini,” katanya sembari menunjuk kursi kosong di hadapannya. Aku mengangguk, lalu duduk mengikuti instruksinya. Meja makan itu di penuhi dengan menu sarapan yang ideal. Ada karbohidrat, protein dan bahkan sayuran. Dalam hatiku ada rasa tidak enak saat aku sadar kalau semua makanannya masih utuh belum tersentuh. Mereka sepertinya menungguku keluar dari kamar untuk makan bersama. Jika tahu seperti ini, pasti tadi aku tidak akan mandi pagi dan langsung bergegas turun dari kamarku yang ada di lantai dua. “Lain kali kalau sudah bangun, langsung turun, keluar dari kamar. Lebih bagus lagi kalau kamu bantu Sarah masak dan mengurus rumah,” kata suara bass itu. Aku menundukkan kepalaku. Takut kalau-kalau dia marah lebih dari itu. “Sudahlah, Mas. Ini kan hari pertama Fera ada di rumah ini. Kamu jangan terlalu menekannya begitu. Lihat, dia sampai takut gitu sama kamu,” nasihat Mbak Sarah pada Mas Fatih. Wanita itu berkata sembari mengambilkan nasi goreng beserta lauk pendamping yang mungkin Mas Fatih sukai. “Fera, jangan di ambil hati ya. Mas Fatih emang kadang omongannya suka dingin. Tapi sebenernya dia sayang kok,” kata Mbak Sarah padaku. Aku mengangguk menanggapinya sembari tersenyum canggung. Jujur saja, hatiku mencelos mendengar kata 'sebenarnya sayang'. Sayang apanya, di lihat langsung dari raut mukanya saja, semua orang sudah tahu kalau pria yang sedang sibuk memakan sarapannya itu tidak punya rasa sedikitpun padaku. Memikirkannya, membuatku tanpa sadar menghela napas kesal. “Ada apa, Fera? Enggak suka ya sama makanannya?” tanya Mbak Sarah padaku. Aku terhenyak, sadar kalau sikapku bisa membuat mereka salah paham. “Enggak kok, Mbak. Ini, Fera cuma kangen sama Bunda aja. Soalnya biasanya Bunda juga masak nasi goreng untuk menu sarapan,” kataku membuat alasan yang masuk di akal pikiran. Mbak Sarah tampak tersenyum penuh pengertian. Dia pasti juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Berpisah dengan orangtuanya dan ikut suami, seperti memulai hidup baru di negeri asing, bagai Alice yang harus menyesuaikan diri di Wonderland. “Kamu itu sudah punya suami, hilangkan sifat kekanakanmu itu. Kalau kangen bisa telepon, lagian baru enggak ketemu semalam kamu udah ngerengek kayak anak kecil, kalau kamu terus kayak gini, kapan kamu dewasanya,” sahut Mas Fatih yang terlihat sudah menyelesaikan sarapannya. Pria berusia dua puluh enam tahun itu pun kemudian beranjak dari kursinya. Bersamaan dengan itu, Mbak Sarah tampak meraih jas kerja milik Mas Fatih yang tersampir di kursi sampingnya. Lalu, memakaikan jas itu pada Mas Fatih. Salaman layaknya seorang istri pada suami pun menjadi adegan selanjutnya. Kemudian, Mas Fatih tampak beralih menatapku. Aku yang masih merasa dongkol dengan perkataannya barusan, hanya menatapnya datar. Tapi juga penuh tanya, kenapa dia terus menatapku seperti menunggu sesuatu dariku? “Aku mau berangkat kerja,” ucapnya. “Eh, ii...iya,” kataku. Mbak Sarah yang melihat kebingunganku. Ia pun tampak menunjuk tangannya, lalu memperagakan gerakan mencium tangan padaku. Seketika itu aku paham kenapa Mas Fatih menatapku seperti menunggu sesuatu dariku. “Aaa...,” pahamku, tanpa sadar lagi aku bersuara dengan kebiasaan lamaku. Aku pun segera menutup mulutku, lalu menatap Mas Fatih yang tampak menghela napasnya. “Sarah, kamu tolong ajari dia dengan baik. Aku tidak ada waktu bermain-main. Aku berangkat kerja dulu, assalamu'alaikum,” katanya, dengan kalimat penuh sindiran padaku. Mas Fatih kemudian mendekati Mbak Sarah, ia mencium kening wanita itu sejenak. Lalu, lagi dan lagi, ia kembali beralih menatapku. Aku pun di buat gelagapan dengan tindakan yang akan ia lakukan padaku. Pikirku, ia akan menciumiku juga, sama seperti apa yang telah ia lakukan pada Mbak Sarah barusan. Tapi, siapa yang mengira kalau aku ini bisa juga terlalu percaya diri. Aku merasa ginjalku menertawai diriku sendiri saat Mas Fatih hanya mengusap kepalaku yang tak berkerudung. “Jangan nakal ya,” pesannya. Aku melengos mendengarnya. Dia benar-benar menganggapku seperti anak kecil. “Aku berangkat,” pamitnya lagi pada Mbak Sarah. Mbak Sarah pun mengangguk padanya. Setelah itu, Mas Fatih pergi tanpa meminta untuk di antar sampai keluar rumah. Melihatnya pergi, napasku berhembus lega. Atmosfir di sekitarku pun terasa lebih terbuka. Aku bisa menghirup udara sepuas hatiku tanpa ada rasa takut kalau ada yang memarahiku. Hari pertamaku menjadi istrinya saja sudah mampu membuat hatiku menangis. Jiwaku meronta ingin di lepaskan dari mimpi buruk ini, dan bahkan jantungku berteriak. Aku mendengus, tidak tahu bagaimana aku akan menjalani hariku selanjutnya, yaitu sebagai istri mudanya. “Fera, nanti kalau sudah selesai sarapannya, taruh saja piring kotornya di wastafel, biar nanti Mbak yang cuci— ” “Eh, jangan Mbak. Mbak Sarah kan udah capek masak. Masalah piring sama pekerjaan rumah lain, biar Fera yang urus. Fera bisa kok,” kataku menawarkan diri. “Kamu yakin? Jangan paksain diri kamu kalau belum terbiasa. Em, gimana kalau kita bagi tugas aja?” saran Mbak Sarah. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mengangguk, menyetujui sarannya. “Baiklah, kalau gitu, bagian masak biar Mbak yang urus, juga termasuk urusan dapur seperti cuci piring dan lainnya. Kamu cuci baju gimana? Bisa enggak? Kamu tenang aja, nyucinya pakai mesin cuci kok,” kata Mbak Sarah. Aku kembali menganggukkan kepalaku. “Iya, Mbak, bisa kok,” jawabku. Wanita itu kemudian tersenyum hangat lagi padaku. Senyum yang sejujurnya selalu membuatku merasa tidak enak hati padanya. Walaupun aku di terima di rumah ini. Namun aku tetap sadar bahwa kehadiranku di sini adalah sebagai orang ketiga antara Mbak Sarah dan Mas Fatih. Kalau saja Mbak Sarah tidak sakit parah, dan usianya masih bisa bertahan lama. Aku pasti tidak akan masuk ke dalam rumah ini dan tidak akan pula menjadi istri muda dari pria itu. Sungguh, kata andai tidak akan pernah habis karena telah terurai bersama harapanku yang ingin lepas dari nasib berpredikat buruk ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD