-2-

2084 Words
Jam di tanganku menunjukkan pukul 18:08 WIB. Farah yang baru keluar dari mushola kecil di sudut selatan cafe langsung bergegas duduk di depanku. Kami melakukan sholat maghrib bergantian karena pesanan kami sudah datang sebelum waktu sholat tadi, sekalian menjaga tas-tas kami. "Jadi, waktu itu kamu juga nggak tahu dia bakal datang?" tanya Farah ketika sudah duduk di depanku, melanjutkan percakapan kami sebelumnya. "Aku udah bilang nggak usah diantar,” jawabku setelah mengangguk. "Tapi dia tetap datang! Dan itu manis!!" sahutnya heboh sendiri. "Manis apaan?? Yang ada aku malah sedih gara-gara ekspresinya lihatin kereta yang mulai jalan!" "Sok melankolis!!!!" Aku tersenyum dengar ledekan Farah. "Terus waktu liburan dia datang ke Jogja, gimana perasaanmu??" "Ya kagetlah! Kami lagi berantem, 3 hari nggak teleponan, nggak kirim pesan. Dia juga nggak datang ke rumah, padahal biasanya kalau kami berantem pasti malemnya dia ke rumah. Tapi Ibu bilang dia nggak main sama sekali waktu itu." "Ngiri deh aku!!" "Ngiri kenapa?" "Kamu ... yang nggak pernah pacaran, sekalinya pacaran dapat cowok macam Syuja!" "Cowok macam Syuja??" ulangku mengerutkan kening. "Kamu iri sama cowok cuek dan dingin gitu??" "Kahi!! Dia manis tahu!! Kamu nggak ngerasain??" Aku tersenyum antara karena pujian Farah, sama setuju dengan ucapannya. "Ngerasain kok, Fa." "Terus???" Aku memberinya senyum jahil. "Dih!! Nggak usah pamer!!!" "Bukan pamer, tapi kamu inget nggak seberapa seringnya dulu kamu bilang kalo Syuja lebih milih Bintang daripada aku? Terus kamu bilang, semoga nggak dapet cowok kayak Syuja?" Farah langsung mencebik, "karena pas itu aku nggak tahu manusia esmu bisa semanis itu!" Aku tertawa geli melihat sahabat baikku menunjukkan ekspresi sewot. "Tapi kadang cueknya juga kebangetan kok, Fa." "Emang udah kelakuan dia kan?" Kali ini aku mengangguk setuju. "Terus, ini beneran dia sama sekali nggak tahu??" "Enggak." "Astaga, Kahi!!" serunya sambil menggeleng beberapa kali. "Tadi aku udah telepon, tapi dia lagi di kampus." "Urusan apa?" "Dies Natalis. Dia ada pertandingan basket." "Oh iya! Sempat denger aku. Terus kenapa kamu nggak ke kampus?" "Nggak dibolehin." "Kenapa?" "Nggak tahu, dia pernah bilang pas lagi liburan ke Jogja. Aku sempat ajak dia lihat-lihat kampus, terus aku ngomong, kalau aku pulang pengen juga diajak lihat-lihat kampus dia." "Dia bilang apa?" "Nggak usah!" "Gitu doang?" Aku kembali mengangguk. "Kamu nggak tanya alasannya?" "Ditanya berapa kali juga, dia nggak mau ngomong." "Aneh!" sahut Fsrah dengan kening mengernyit. "Apa dia punya gebetan di kampus?" "Farah!?" "Apa?? Kan aku cuma kira-kira." "Tapi nggak dengan ngomong dia punya gebetan!" "Kamu lupa di level berapa tampang dan aura pacarmu itu?? Percaya deh, andai cewek-cewek tahu semanis apa dia, mereka bakal rela berebut atau saling sikut buat ambil Syuja dari kamu." Aku refleks tertawa mendengarnya. "Tampang kayak dia, pasti banyak yang naksir! Apalagi dunia anak kuliah, lebih luas dari anak SMA! Ada banyak senior juga junior, jauh lebih banyak dari jaman sekolah. Paham maksudku?" "Tapi dia bukan tipe cowok yang bakal ngeladenin setiap cewek." "Emang enggak, tapi bukan berarti cewek-cewek nggak bakal naksir dia kan? Kamu lupa jaman sekolah dulu, seheboh apa cewek-cewek itu kalo lihat pacarmu?" Aku mengerucutkan bibir sembari mengaduk-aduk strawberry milkshake yang kupesan tadi. Omongan Farah ada benarnya. "Cowok kayak Syuja itu, istilahnya ngeri-ngeri sedap buat didapetin!" "Terusin ngomporinnya," gerutuku dengan wajah cemberut. "Nggak usah cemburu, ini baru aku yang ngomong. Gimana kalau Luthfi sama Bintang yang cerita betapa populernya pacarmu di kampus!" "Ahh, Luthfi!! aku mau telepon dia!" seruku seketika. "Buat apa?" Farah menatapku bingung. Aku membalas tatapannya dengan tersenyum sambil mengeluarkan ponsel. Setelah memencet nomor Luthfi, aku menunggu panggilan diterima. "Yayang!!" Luthfi langsung meneriakkan namaku begitu kami terhubung. “Assalamu’alaikum,” sapaku tersenyum. “Wa’alaikumsalam!” "Masih di kampus, Fi?" "Iya, kenapa?? Kangen aku? Aku emang super ngangenin! Cuman belum ada yang nyadar aja!" Aku tertawa mendengar kalimatnya, sembari membayangkan wajah lucu Luthfi. "Nggak usah dijawab. Aku tahu jawabanmu, kangenmu ke aku cuma kangen cadangan. Kayak ban serep yang nggak bakal dikeluarin kalo nggak butuh." "Iya deh, aku nggak kangen,” candaku meladeninya. "Oke, kalau gitu jangan tanya apa-apa tentang pacarmu!" Aku kembali tersenyum mendengar ancaman Luthfi yang aku yakin tak serius. "Syuja lagi di dekatmu nggak, Fi?" tanyaku teringat tujuan awal meneleponnya. "Tuh kan! Udah dibilang jangan tanya malah tanya! Apa aku harus pakai bahasa kalbu biar kamu paham maksud hatiku, Yang??" Kali ini aku tak bisa menahan diri tertawa geli. "Nggak yang cewek, nggak yang cowok ... sama aja anehnya!" "Anehan juga kamu!" Barusan itu suara Bintang, sepertinya dia ada di samping Luthfi. "Bisa nggak, sebentar aja kamu jadi botol kecap??!!" protes Luthfi pada Bintang. "AAAARRRGHH!" seru Luhtfi, mungkin Bintang memukul Luthfi, menjambaknya, menyentil keningnya atau entah apa lagi yang dulu sering dilakukan untuk menghentikan kejahilan Luthfi. "Fine, aku pergi!!! Jangan ikutin aku!!!" teriak Luthfi pada Bintang. Aku terkekeh geli mendengarnya, kembali terbayang saat kami sekelas, tingkah dan ucapannya yang selalu di luar dugaan selalu bisa membuat siapa saja tertawa. Farah menatapku bingung, tapi dia tak bisa bertanya karena aku melarangnya bersuara. Sebab jika Luthfi mendengar ada suara Farah, gagal sudah rencanaku memberi kejutan Syuja. "Mau tanya apa, Yang?" "Udah boleh nanya sekarang??" "Silahkan, tapi kalau aku nggak bisa jawab tolong dimaklumi karena aku bukan mbah google!" Sekali lagi aku tertawa karena lelucon Luthfi. "Nanya apa?" "Syuja di mana?" "Sepuluh menit lalu masuk gedung olahraga indoor, kayaknya mandi, kamu nggak telepon dia?" "Belum." "Kenapa?" "Takut ganggu." "Takut karena faktor ganggu-nya atau takut di Yasiin-in sama Syuja karena ganggu dia??" "Kamu pikir aku setan???" Luthfi tertawa terbahak-bahak mendengar protesanku. Lama kelamaan aku bisa ketularan ngaconya Luthfi. "Besok masih acara ya, Fi?" "Iya, besok pertandingan final tim basket." "Jam berapa?" "Jam tiga sore." Aku mengangguk lalu sadar kalau sedang bicara via telepon dengan Luthfi. "Habis ini katanya mau nongkrong ya?" "Nongkrong? Kata siapa?" "Tadi aku ngobrol sama Syuja di telepon sebelum pertandingan." "Oooh, tadinya mau ngumpul bentar aja sama anak-anak di dekat kampus, tapi karena besok masih tanding lagi, jadi sekalian koordinasi buat final besok." "Ya udah kalau gitu." "Loh, gitu aja?" "Iya, kapan-kapan kita ngobrol lagi, aku masih ada perlu soalnya." "Bener loh ya?!" "Iya, makasih Fi." "Oke!" "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Setelah itu sambungan terputus. "Gimana?" Farah menatapku penuh minat. "Habis ini mereka mau ngumpul, soalnya tim mereka masuk final." "Terus, telepon si Upik buat??" "Tahu jadwal mereka," jawabku tersenyum. "Berarti besok beneran baru ketemu Syuja?" Kepalaku mengangguk singkat. "Kalau aku jadi kamu, pasti sekarang udah lari aja ke dia, enam bulan itu nggak sebentar!" "Dari tadi juga udah mau ke dia kali, Fa," jujurku tersenyum. "Terus, kenapa nggak ke sana?" "Belum waktu yang tepat." "Duh! Kenapa harus besok sih??? Padahal aku pengen tahu juga!" "Pengen tahu apa??" "Pengen tahu kalian kalau pacaran apa masih kayak jaman sekolah!" Aku tertawa mendengar sindirannya. "Emang kenapa kalau masih kayak jaman sekolah?" "Tolong ya, anak SMP pasti ngetawain kalian kalau tahu gimana gaya pacaran kalian!" "Dan kayaknya anak SMP juga masih akan tertawa kalau lihat kami sekarang!" "Astaga! Serius?!" Farah merespon dengan ekspresi terkejut. Aku tersenyum sembari mengangguk. Sebaliknya, Farah menggelengkan kepala dengan raut lucu. "Aku pikir jaman sekarang cowok yang gaya pacarannya kayak Syuja itu sudah punah!" Aku tak bisa untuk tidak tertawa mendengar perkataan Farah. "He's just one of a kind," kataku disela tawa yang tersisa. Farah mencibir dengan mata memicing. "Beruntung kamu, pacar pertamamu bukan cowok m***m seperti yang banyak beredar di luar sana," ucap Farah, "atau jangan-jangan-" "Jangan-jangan apa??" potongku reflex. "Jangan-jangan Syuja nggak normal!" "Hussh!! Ngaco!!" Farah tertawa cekikikan lalu menyeruput jus melonnya. "Habisnya, ada gitu cowok kayak dia!" "Ya adalah!!" belaku dengan nada tak terima. "Iya percaya, cowok unik kayak Syuja yang masuk dalam kategori langka emang masih ada, dan cewek di depanku adalah saksi hidup sekaligus yang ngalamin langsung!" kata Farah menganggukkan kepala. Dan lagi-lagi aku tersenyum. "Tapi Syuja nggak telepon?" "Hah?" "Harusnya sekarang si Upik udah ngomong ke dia kalau tadi kamu telepon Upik, iya kan?" "Hemmm." "Dan harusnya dia langsung telepon kamu, paling nggak nanya kenapa tadi telepon Upik, bukannya dia." "Syuja mikirnya simple Fa, kayak nggak tahu dia aja. Kalau aku telepon Luthfi berarti aku emang perlunya sama Luthfi bukan sama yang lain. Kalau aku perlunya sama dia, pasti aku langsung telepon dia." "Tapi Upik pasti cerita kan apa yang kalian obrolin? Masak iya dia masih nggak penasaran kenapa kamu telepon Upik, bukan dia." Aku tersenyum, tapi dalam hati sebenarnya membenarkan perkataan Farah juga. Bahkan sampai malam hari, ketika aku sudah pulang dan bersiap tidur, Syuja sama sekali tak menghubungi. Aku meraih ponsel, mengambil inisiatif menghubunginya lebih dulu. "Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumsalam. Di mana?" "Rumah." "Pulang jam berapa?" "Barusan." "Luthfi bilang kalian menang??" "Hmmm." "Kamu tahu aku telepon Luthfi tadi??" "Hmmm." "Kamu nggak tanya kenapa aku telepon dia?" "Kamu ada perlu sama dia." See ... that's how he is. "Aku ganggu ya??" "Enggak." "Terus kenapa kesannya males ngomong sama aku???" "Sudah makan?" Dia coba mengganti topik pembicaraan. "Ini jam sepuluh malam, jelas aku udah makan!" jawabku sedikit kesal. "Sama siapa?" "Sendiri, puas??" "Hmmm." Aku mendengkus sebal karena respon datarnya "Makan apa?" "Makan hati!!" "Pantesan." "UCHA!!!" seruku makin gemas. "Apa?" "KOK APA SIH???!?" "Kamu manggil kan?" "TAHU AH!!!" "Kenapa?" Nada suaranya tetap datar dan tenang, padahal aku sudah teriak-teriak geregetan. Pada akhirnya, aku memilih diam saking kesalnya. "Nggak mau ngomong?" Aku tetap diam. "Tadi habis tanding nongkrong dulu sama anak-anak," jelasnya, "besok pertandingan final." "Tandingnya jam 3 sore, tapi pagi mau latihan," tambahnya. Dia menjelaskan satu per satu apa yang sebenarnya ingin aku tanyakan tadi. "Mau tahu apa lagi?" "Nggak kangen aku??" "Hmmm." "Apaan 'hmmm'??" "Jangan tanya kalau udah tahu jawabannya." "Tapi aku nggak tahu jawabannya!" seruku yang kembali dibuat kesal. "Kalau mau aku artiin sendiri kata 'hmmm' itu, aku bisa artiin dengan 'nggak'." "Masuk akal." "See!! Ya udah deh!" Aku memutus percakapan kami dengan rahang mengatup erat saking geramnya. Kalau Farah tahu yang beginian, apa dia masih iri?? Ponselku bergetar, sebuah panggilan masuk. Kulihat di layar tertulis nama Syuja. Kubiarkan sampai panggilannya jadi panggilan tak terjawab. Selang beberapa detik, dia menelepon lagi. Tetap kubiarkan sampai masuk lagi jadi panggilan tak terjawab. Aku benar-benar kesal. Belum mau menyerah, Syuja menelepon lagi. Aku menatap layar ponsel selama beberapa detik sebelum akhirnya menggeser tombol hijau pada layar. "APA??" tanyaku galak. "Mau tidur?" "Perlu dijawab??" "Memang bisa?" "Bisa apaan?" tanyaku bingung. "Tidur sambil ngambek?" "Udah tahu aku ngambek kenapa masih gini?!?" "Gini gimana?" "Tetep aja cuek!! Malah cari gara-gara!" "Mau dirayu?" Aku diam sembari mengerucutkan bibir, sadar bahwa Syuja merayu apalagi dengan kata-kata romantis adalah hal yang mustahil. "Ai'." Aku diam. "Ai'." Aku masih tak merespon. "Sekali lagi dapat piring." "UCHA!!!" Kalau mau dilebih-lebihkan, kepalaku mungkin sudah berasap saking kesal dan gemasnya dengan sikap Syuja. "Jangan ngambek." "Siapa yang ngambek!" "Nih masih galak." Aku menghela nafas frustasi, karena menyangkal pun rasanya percuma. "Maaf ya?" ucapnya selang tiga detik. Sepasang mataku mengerjap, dengan senyum yang refleks tertahan.mIni yang aku suka dari Syuja, dia tak pernah gengsi minta maaf duluan. "Ai'." "Apa?" Nadaku mulai melunak kali ini. "Masih ngambek?" "Enggak." "Besok aku telepon lagi." "Kenapa buru-buru?" Keningku tanpa sadar mengernyit. "Udah malam, tadi bilang udah mau tidur kan?" "Ya udah lah." "Ngambek lagi?" "Enggak ... udah nggak ngambek!" "Aku capek." "Capek?" tanyaku dengan garis halus di kening makin dalam dan jelas terlihat. "Tadi habis basket nggak bisa istirahat." Seketika aku menghela nafas lega, karena tadinya kupikir dia capek gara-gara aku ngambek terus. "Ya udah istirahat." "Masih ngambek nggak?" "Enggak." "Beneran?" "Beneran Uchaa." Sengaja panggilan sayangku untuknya kuucap dengan nada manja, biar dia tak lagi berpikir aku masih marah. "Besok kutelepon lagi, ya?" "Jam berapa?" "Sebelum latihan." "Ya udah." "Met tidur." "Hmmm, kamu juga." Lalu sambungan terputus. Aku menatap layar ponsel selama beberapa saat. Sudah satu tahun lebih, tapi terkadang masih sulit bagiku memahami Syuja. Rasanya masih begitu banyak hal yang belum kuketahui tentang Syuja. Dia jarang bercerita tentang dirinya, ataupun keluarganya. Satu-satunya yang kuketahui hanya tentang kakaknya yang meninggal karena kecelakaan. Keluarganya yang lain, dia selalu menghindar kalau aku bertanya. Bahkan saat kami resmi pacaran, belum sekalipun dia mengajakku main ke rumah. Bukan berarti aku menuntut dikenalkan ke keluarganya, aku sadar hubungan kami belum sejauh itu, jadi rasanya kalaupun diajak kenalan dengan keluarganya aku pasti menolak, karena sepertinya terlalu cepat. Hanya saja kadang ada saat aku merasa ingin sedikit mengenal dia lebih jauh. Aku ingin tahu seperti apa dia dibesarkan, seperti apa hubungan keluarganya, seperti apa kedua orang tuanya sampai-sampai Syuja punya karakter seperti yang kukenal. Ponselku tiba-tiba bergetar, satu pesan masuk. SyujaNiswara : 10:13 PM Cepat tidur Jangan ajak kangenmu bergadang. Aku sontak tersenyum membaca pesannya. Dia memang susah ditebak. Termasuk sikap dinginnya yang bisa mendadak berubah jadi manis kapan saja. SyujaNiswara : 10:14 PM I do miss you More than yours ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD