6. Ini bukan soal uang!!

2083 Words
Wanita bertubuh mungil itu gemetar dalam rengkuhan Ren. "Ren, aku tidak tahan lagi. Kakiku rasanya sudah sangat lemas!" aku wanita itu pada Ren, memohon dengan penuh harap. "Tanggung Arisa. Bertahan sedikit lagi!" Ren tidak menyerah. Ia mendorong Arisa agar tidak menyerah dengan mudah. Setiap ketir yang terlihat dari Arisa malah mengukir senyuman di wajah tampan Ren. Arisa tidak menyangkal, meski ia kesal dengan desakan Ren tapi ia tidak benar-benar membenci Ren. Malah tujuan awal Arisa yang hendak memburu target itu, berubah menjadi menikmati setiap waktu yang ia habiskan dengan Ren di sana. Entah mengapa Ren benar-benar memikat dirinya. Rencana Ren yang ingin menjebak Arisa tampaknya berjalan dengan begitu baik. Ia sukses membuat Arisa kehabisan kata-katanya saat Ren memperlihatkan wajah sedihnya. Kecewa jika ternyata wanita polos yang ia kenal adalah seorang wanita panggilan. "Arisa, sungguh aku tidak berencana tidur dengan wanita itu. Aku sudah mempersiapkan segalanya untuk kita lakukan bersama. Tapi, kamu tidak mau menghabiskan malam denganku!" Entah berapa kali Ren mengulangi perkataannya itu. Ia semakin membuat Arisa salah tingkah dan merasa bersalah. Sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Tak bisa Ren pungkiri, jika ia menyadari ketertarikan Arisa pada dirinya. Selain karena Arisa yang kerap tidak menolak sentuhan Ren. Tapi, pancaran mata yang Ren lihat dari Arisa juga memperjelas segalanya. Sehingga Ren yakin dengan semakin besarnya rasa bersalah yang Arisa rasakan. Kesempatan Ren untuk memenuhi hati Arisa pasti akan tercapai. Semua demi menemukan kembali sahabatnya Jimmy. Ren akan rela melakukan apapun demi pria yang paling banyak membantunya itu. "Tunggu aku Jimmy, aku akan menemukanmu. Aku akan mendengar seluruh penjelasanmu dan kita kembali pada kehidupan membosankan kita!" tekad Ren entah untuk yang keberapa kalinya. Penuh tekad membara, Ren pun semakin tenggelam dalam peran yang ia lakoni. Ia meraih tangan Arisa tanpa ragu, meneteskan air mata tanpa aba-aba dan menatap penuh ketulusan pada Arisa. "A-arisa.. Aku menginginkanmu. Jadilah milikku!" Akan tetapi, Arisa hanya menggigit ujung bibirnya. Ia sangat ingin mengatakan "iya" dan meraih dengan pasti uluran tangan tersebut. Hanya saja, terlalu banyak yang terjadi pada hidup Arisa sehingga Arisa sendiri enggan untuk melangkah maju, apa lagi meraih tangan seorang pria dan melangkah bersamanya. Semua terasa mustahil oleh Arisa. "Tidak, tidak bisa.. Aku tak bisa meraih tangan Ren. Apa lagi itu merupakan tangan dari seorang manusia biasa yang rasanya tidak ada gunanya selain menjadi santapan lezat. "Ren, aku bukan wanita yang baik!" "Seperti yang kamu lihat Ren. Aku wanita panggilan yang akan menghibur pria mana pun yang membayarku!" Pada akhirnya hanya dalih itu saja yang bisa Arisa sampaikan. Ia tidak mungkin mengaku sebagai sebagai seorang vampir. Belum tentu juga Ren akan percaya pada sosok yang kehadirannya saja bagaikan sebuah dongeng yang misterius. "Haaaahhhs.. lagian jika aku mengatakan yang sebenarnya, aku malah tidak yakin jika Ren akan benar-benar mempercayaiku atau tidak, yang ada dia malah menganggap aku sakit mental." Arisa sangat yakin dengan isi hatinya itu. Ia pun memutuskan untuk tidak akan menceritakan apa pun hal berkaitan tentang Vampir. Lantas apa yang Arisa katakan tidak menggoyahkan Ren. Ren lagi-lagi menjerat Arisa begitu saja dan kini Arisa rela melakukan banyak hal untuk Ren. "Arisa sungguh aku tak peduli masa lalu dari seorang wanita. Bagiku yang terpenting memang adalah perasaan yang aku rasakan." "Aku tak peduli jika orang akan mengatakan aku sebagai seorang yang egois atau tidak. Faktanya bagiku memang menginginkan kasih sayang. Aku mendambakan perasaan cinta." Benar, perkataan itulah yang membuat Arisa kembali terjerat. Ia kagum dengan keteguhan cinta yang Ren miliki. Membuat Arisa jadi semakin ingin terus bermain-main dengan Ren. "Benarkah kamu tidak masalah dengan wanita seperti aku?" Ren pun langsung meraih kedua pipi Arisa. Ia mendekatkan wajahnya dan terus menatap lekat ke arah Arisa dan sebuah ciuman ringan pun melayang pada bibir wanita itu. "Iya, aku merenima kamu apa adanya. Siapa pun kamu, seperti apapun latar belakangmu, apa saja yang kamu lakukan di masa lalu, dan aku sungguh hanya ingin bersama denganmu Arisa!" Arisa pun mengangguk tanda ia sepakat dengan ajakan kebersamaan dengan Ren. Keduanya cukup dewasa untuk menyadari apa yang di maksud tanpa harus banyak berkata. Kini panah sudah menancap tepat di tujuannya. Ren sudah berhasil membuka pintu yang sebelumnya tertutup dengan rapat dan Arisa benar-benar takluk pada sosok Ren yang mempesona. "Kalau begitu, malam ini kamu mau kan merayakan hari ulang tahunku?" Ren tersenyum lebar, ia pun meraih sesuatu dari laci lemarinya dan segera menunjukkan hal itu pada Arisa. "Kalau begitu kita harus bermain sampai pagi," teriak Ren dengan begitu keras. "Ma-main!!!" Arisa sudah membayangkan malam yang cukup panas membara bersama dengan Ren. Tapi, Ren tidak melakukan hal itu. Ia malah mengambil selembar papan Ludo dan mengajak Arisa bermain bersama dengannya. Apa yang Ren lakukan itu memang sangat tidak terduga oleh Arisa. Bahkan setelah pengakuannya yang sebagai wanita penghibur. Arisa sudah membayangkan apa yang akan Ren lakukan selanjutnya pada tubuhnya. Selayaknya apa yang biasa pria lain lakukan setelah mengetahui rahasia kecilnya itu. "Ren, kamu ini benar-benar ...." Arisa terkekeh kecil tanpa kata-kata lanjutan darinya dan Ren cukup mengerti maksud hal itu. "Hmmm.. pasti berat. Kamu pasti mendapatkan banyak perlakuan tidak adil. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan padamu. Tapi, aku tidak akan melakukan hal itu. Aku tidak akan melakukannya tanpa izin darimu. Kita masih punya banyak waktu dan kini kamu sudah menjadi milikku." Lagi-lagi apapun yang keluar dari mulut manis Ren selalu berhasil menjerat Arisa. Ia luluh dengan perkataan tersebut. Meski rasanya sedikit penasaran kenapa Ren bisa menerima dirinya yang seperti itu. Arisa mengurungkan niatnya untuk bertanya, ia tak ingin menambah perdebatan. Seperti yang Ren katakan, mereka masih memiliki banyak waktu untuk bisa lebih dekat satu dan lainnya. "Baiklah, kalau begitu kita main sampai pagi ...." Begitulah tekad dari Ren maupun Arisa. Mereka berniat menghabiskan malam bersama dengan beragam permainan yang telah Ren persiapkan. Meski tawa dan canda memenuhi apartemen tersebut, Ren masih terlihat sedih. Bisa di bilang sejak awal Arisa memasuki apartemen tersebut Ren memang sudah terlihat sedih. Tapi, Arisa tidak yakin apa yang membuat Ren sedih seperti itu. Apakah karena melihat dirinya yang datang saat ia memesan wanita penghibur, atau karena ada alasan lain. Masih di ingat oleh Arisa saat Ren bercerita tentang dirinya yang membenci hari kelahirannya atau kisah harus saat ia yang selalu menghabiskan waktu bersama dengan Jimmy di hari ulang tahunnya. Sehingga Arisa sama sekali tidak bisa membedakan apa yang membuat Ren terlihat murung. Namun, sama seperti Ren yang tidak menanyakan apapun perihal pekerjaannya. Arisa pun tak berani bertanya apapun mengenai kesedihan Ren. "Masih banyak waktu dan aku harap perlahan semua akan menemukan jalannya." Harapan itu terukir tulus dari Arisa. Permainan itu pun berlangsung cukup seru, tapi kesedihan yang terlihat jelas itu membuat Arisa ingin mengajak sesuatu yang lebih menantang lagi. "Bagaimana jika yang kalah akan di hukum!" Ren ragu dengan hal itu, dia tidak siap jika Arisa malah meminta sesuatu yang lain darinya. Namun, ia juga tak berani menolak. Kalau-kalau malah tindakan Ren memicu kecurigaan dari Arisa. Sehingga Ren pada akhirnya mau tidak mau menyetujui permintaan tersebut. "Tapi, tidak boleh hukuman yang berlebihan ya!" Kesepakatanpun di penuhi oleh keduanya. Mereka sepakat jika ada yang kalah harus mengingat rambut mereka dengan karet yang akan memperlihatkan sosok mereka dengan memalukan. Arisa tidak masalah dengan hal itu, tapi Ren terlihat sedikit kesal. Pasalnya karet berwarna warni milik Arisa itu sangat kontras dengan paras Ren yang begitu kekar. Tawa lagi-lagi memenuhi mereka, tenggelam dalam renyahnya suara tawa merdu dari keduanya. Kebahagiaan yang mengisi hati kedua orang tersebut. Hingga mereka tiba di permainan terakhir mereka dan Arisa tampaknya sudah kelelahan dan ingin menghentikan segalanya. Ia memohon pada Ren untuk berhenti bermain. Matanya cukup berat dan ia sudah sangat mengantuk. Ren cukup senang melihat ekspresi Arisa tersebut. Wajah mengantuk dan tak ingin kalahnya bercampur menjadi satu. Arisa kalah banyak, rambutnya juga acak-acakan. Tapi, Ren membuat Arisa bertekad untuk tidak menyerah hingga akhir. Arisa akhirnya menggelengkan kepalanya, ia sudah pasrah dengan apapun yang akan Ren lakukan padanya. Sehingga dengan gugup Arisa pun berkata, "Kalau begitu pelan-pelan ya.." Senyuman Ren semakin lebar begitu mendengar akan hal tersebut. Bak memenangkan hadiah utama dari sebuah lotre Ren pun merasa jika kini rencananya sudah benar-benar berhasil. "Ya, akan aku lakukan dengan perlahan!" Mereka bermain cukup lambat mengingat Arisa yang sudah cukup mengantuk untuk bisa lebih fokus pada permainan mereka. Lemparan dadu pun tak lagi terlihat dan Arisa tertidur begitu saja sambil bersandar. Ren menatap ke arah Arisa yang terpejam. Di dalam hatinya ia cukup tidak menyangka jika wanita yang ada di sisinya saat ini adalah wanita penghibur yang cukup mencurigakan. "Aku penasaran, kenapa kamu tidak pernah membahas tentang Jimmy. Padahal saat ini Jimmy tak kunjung pulang ke rumah." Ren hanya bisa bergumam di dalam hatinya. Meski rasa penasaran merasuki dirinya, Ren tidak berani bertanya tentang hal itu. Rasa percayanya pada Arisa masih rendah. Ren tidak yakin jika Arisa hanya membantu Jimmy yang mungkin terkena masalah atau sebaliknya, Jimmy lah yang terlibat masalah karena pengaruh dari Arisa. Apapun itu, Ren sama sekali tidak akan menyerah. Ia akan bertanya langsung pada Jimmy kelak dan hanya fokus pada rencananya yang perlahan untuk terus merasuk pada hati Arisa. "Yah, tidak sia-sia juga aku menguras seluruh tabungan hasil kerja kerasku." Sambil menatap ke sekeliling Ren cukup merasa sangat lega bisa membeli apartemen tersebut. Ren memang hidup menumpang pada Jimmy. Tapi bukan berarti ia tak punya apapun. Ren sebenarnya memiliki harta warisan dari orang tuanya. Tapi, tak ada satupun yang ia sentuh dari warisan tersebut. Faktanya hal itu saja menjadi rahasia pribadi Ren yang ia sembunyikan dari siapapun kecuali Jimmy. Untuk membeli apartemen itu saja, Ren mengeluarkan seluruh tabungannya. Hasil dari kerja kerasnya selama ini. Jimmy yang menyadari betapa kelamnya kehidupan Ren akhirnya mengajak Ren untuk tinggal bersama. Ren yang pendiam dan jarang bergaul itu bisa membuat Jimmy tidak tenang jika membiarkan Ren di rumah sendirian terus. "Kamu benar-benar akan jadi antisosial jika seperti itu terus!!" Begitulah awal mula Ren di seret masuk ke rumah Jimmy dan entah sejak kapan Ren mengganti istilah tersebut dan alasannya menjadi menumpang di rumah Jimmy. Jimmy sungguh berharga baginya, sehingga apapun yang mungkin tengah di hadapi oleh Jimmy sekarang tak akan membuat Ren goyah sama sekali. "Aku pasti akan menemukanmu!" tekad itu terus membara. Seiring dengan besarnya bara tekad tersebut. Waktu pun berlalu dengan cukup cepat. Tak terasa hari sudah pagi dan Arisa terbangun dengan keheranan di atas tempat tidur yang nyaman itu. "Pagi ..." sambut Ren yang sudah menatap lekat ke arah Arisa. "Pa-pagi ...." Gugup, Arisa yang mencoba mencerna apa yang sedang terjadi itu pun hanya bisa mengedipkan kedua matanya dengan cepat. Hingga ia selesai merenung tentang apa yang sebelumnya tengah terjadi. "Hi hi hi..." Tawa kecil pun keluar dari Ren saat melihat ekspresi menggemaskan Arisa tersebut. "Arisa sekarang kamu milikku, kan?" Ren kembali memastikan apa yang sebelumnya terjadi di antara mereka. Hal yang bagaikan hanya sebuah mimpi bagi Ren saat melihat Arisa yang terbaring di sampingnya. Arisa ikut tersenyum mendengar hal itu, ia membalas senyuman Ren dengan lembut dan menyentuh pipi Ren yang ada di sampingnya. "Iya, aku milikmu Ren!" "Benarkah?" tanya Ren dengan matanya yang bersinar terang penuh kebahagiaan. "Tentu. Aku mana mungkin bisa menolak pria setampan kamu." Jawaban tegas dari Arisa membuat Ren terlihat semakin bahagia. Kali ini ia benar-benar bahagia. Sebab dengan begitu ia sudah semakin cepat untuk bisa mencapai tujuannya. Ren ingin lebih dekat dengan Arisa dan bisa lebih leluasa mencari keterkaitan antara Airsa dengan Jimmy. Lalu, selayaknya apa yang seorang kekasih lakukan saat ia ingin menjaga sang kekasih. Ren pun melancarkan permintaannya. "Kalau begitu, apa kamu bersedia berhenti dari pekerjaan itu? Aku tak bisa membayangkan wanitaku di sentuh oleh pria lain." "..... ......" Arisa hening sejenak. Ia tak menjawab apapun yang Ren katakan. "Maaf, mungkin terlalu cepat. Tapi, aku hanya ingin kamu menjadi milikku seorang Arisa." Raut wajah Ren di pagi itu terlihat masam. Padahal baru saja keduanya menyambut pagi yang indah dengan kebahagiaan kecil mereka. Tapi, semua rusak begitu saja atas pertanyaan dari Ren. Dari sudut pandang Ren tentu itu semua adalah wajar, mana mungkin ada orang normal yang tahan jika tahu ternyata kekasihnya menjajakan tubuhnya untuk para pria. Hal wajar rasanya jika Ren melarang perbuatan tersebut, terlepas apapun alasan yang Arisa miliki. Ia sudah bertindak selayaknya seorang pria sejati. "Justru aneh kan, kalau aku membiarkan kamu tetap seperti itu? Jika kamu butuh uang, aku akan berjuang untukmu. Walau tampaknya kamu lebih kaya dariku. Tapi, ayo berjuang bersama!" "Akan aku lakukan apapun untukmu, Arisa!" Ren memperlihatkan gelagat paniknya, ia menarik lengan Arisa penuh harap agar permintaannya tidak di tolak. Sementara Arisa hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Bukan itu Ren. Ini bukan soal uang!!" Ren tampak kecewa, ia menunduk dalam dan menitikkan air mata di pipinya. "Jadi kenapa?" tanya Ren putus asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD