7. Tampaknya Ren marah padaku?

1127 Words
Tak ada yang paling bisa meluluhkan hati wanita dari pada sebuah ketulusan. Namun, yang namanya ketulusan dan tipu muslihat itu juga tidak akan berbeda jauh. Meski semua orang memiliki insting untuk menyadari sebuah ketulusan. Faktanya masih banyak saja orang-orang yang terkhianati di dunia ini. Jika urusan bertahan hidup, tentu Ren jauh lebih memiliki pengalaman dalam menyenangkan hati orang lain. Ren mengakui kemampuannya itu, selama ia bertahan sendirian Ren selalu bisa meraih tangan seseorang untuk melindunginya. Meski terkadang ia melakukan hal itu demi bisa bertahan hidup. Tapi, Ren juga sebenarnya memiliki beberapa orang yang tulus ia sayangi. Salah satunya adalah Jimmy sang sahabat yang saat ini menghilang. "Akan aku lakukan apapun, bahkan jika harus melemparkan tubuhku pada wanita itu!" Hal itu lah yang membuat Ren tak segan menitikkan air matanya. Ia tak ragu untuk terlihat menyedihkan dan begitu sangat menyayangi Arisa. Tetapi, Arisa juga tidak goyah. Berbeda jauh dengan apa yang Ren bayangkan. Arisa juga memiliki alasan tersendiri yang pasti dia tidak akan mau menyerah atas pekerjaannya itu. "Jadi kenapa?" tanya Ren putus asa. "Jadi sebenarnya kenapa kamu tidak mau berhenti dari pekerjaan itu Arisa?" Kali ini Ren memperlihatkan antusiasnya. Ia meraih erat tangan Arisa dan mengguncangkannya dengan Ren yang terus saja berteriak, bertanya tentang alasan Arisa. "Ran, pokoknya aku tak bisa meninggalkan dunia malam." Ketegasan terdengar dari Arisa. Ia mendeklarasikan jika ia tak akan pernah mau untuk berhenti sesuai dengan permintaan Ren. Ren seketika terlihat memutar otaknya saat Arisa menolak tegas permintaan itu. Gelagat panik yang Ren perlihatkan semakin menjadi-jadi. Kini, Ren tak hanya menarik tangan Arisa. Ia sudah mulai merangkul kedua pundak Arisa dan menyeringai di hadapan Arisa dengan sedikit menyeramkan. "Jika bukan karena uang, jangan-jangan yang kamu incar hanya berhubungan dengan pria?" "A-arisa, apa kamu hanya ingin melakukan itu saja?" "Kamu suka tubuhmu di sentuh?" Ucapan demi ucapan yang keluar dari Ren semakin tidak terkontrol. Ia mengungkapkan isi kepalanya tanpa berpikir. Cemas dan penuh linangan air mata di pipi. Ren sama sekali tak peduli jika ia terlihat menyedihkan. Ia tak peduli jika ia terlihat buruk di hadapan Arisa yang jelas Ren terus mengatakan jika ia tidak akan rela melihat wanita yang ia cintai di sentuh oleh laki-laki lain. Hingga akhirnya kalimat itu pun muncul dari Ren. Ucapan yang penuh dengan rasa putus asa di setiap kata yang Ren lontarkan. "Jika kamu mencari kepuasan. Aku akan memuaskanmu." "Arisa, aku bisa memuaskanmu. Aku memang tidak pernah melakukannya dengan wanita mana pun. Tapi, aku berjanji akan memuaskanmu. Aku akan berjuag untukmu. Jadi ... jadi -----" Putus asa Ren menjeda ucapannya. Ia menarik napas dengan dalam dan kasar. Kembali menatap Arisa dengan penuh harpaan. "Jadi, jangan biarkan pria lain menyentuhmu!" Arisa terlihat goyah, ia menggigit ujung bibirnya sedikit keras. Ia mengeryitkan keingnya sambil menatap Ren dengan sedih. "Ah, dia goyah!" benak Ren kala melihat ekspresi Arisa tersebut. "Sedikit lagi, aku harus membuat Arisa terus mengingat ucapanku. Aku harus membuat Arisa tak akan bisa melupakan permintaanku ini." Di dalam hati, Ren benar-benar sudah riang akan goyahnya hati Arisa. Ingin terus memansi suasana. Ren pun melancarkan jurus terakhirnya dalam jeratan hati tersebut. "Arisa, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Aku hampir gila jika seperti ini." Ren tertunduk dalam saat mengatakan hal itu, air mata kala itu sudah nyaris tak lagi menetes. Ia kering bersama keputus asaan yang terus terlihat meluap dari Ren. "Aku mohon, Arisa cukup aku saja. Cukup jadikan aku saja sebagai milikmu. Aku akan berjuang segalanya untuk kebahagiaan kamu, tapi aku tidak akan sanggup jika harus berbagi dirimu dengan orang lain." "Sudah cukup Ren. Aku pulang dulu." Akan tetapi, jangankan mendapat sambutan dari ucapan penuh kesedihan dari Ren. Arisa malah mendorong tubuh Ren hingga tertidur di kasurnya kembali dan Arisa seketika itu langsung berpamitan meninggalkan Ren yang masih terbaring di atas kasurnya akibat dorongan dari Arisa tadi. Pintu terbanting keras dan Arisa hanya menatap ke arah pintu tersebut. Ia tak berharap akan di kejar oleh Ren. Arisa sadar betapa putus asanya Ren saat ini. Sebuah reaksi yang sangat wajar meski hubungan mereka baru saja terjalin. "Kini aku malah tidak yakin hubungan apa yang kita jalin?" "Apa yang semalam batal dan akhirnya Ren akan menyerah?" Arisa bergumam dalam hatinya, ia sedikit menyesal langsung pergi meninggalkan Ren di sana. Tapi, jika ia bertahan di apartemen Ren sekali pun, Arisa tidak akan bisa mengelak dari apa yang Ren inginkan. Rasanya tidak mungkin untuk Arisa berhenti menjadi wanita penghibur. Dunia malam memang sudah menjadi tempatnya, memikat seseorang sudah mendarah daging baginya. Arisa harus berburu, ia harus menjalankan kodratnya sebagai seorang vampir dan itu sangat tidak bisa untuk dihindari. Arisa tentu tak bisa menjelaskkan hal itu, pasalnya identitas dirinya sebagai seorang vampir adalah rahasia. "HHuuuuft.. padahal sangat menyenangkan bermain dengan Ren. Sangat di sayangkan!" Sesal itu masih menyelimuti Arisa. Tapi, ia sudah melepas Ren. Ia tak akan memaksa Ren untuk berasa di sisinya. Sehingga keadaan canggung saat di kafe juga ikut terjadi hingga beberapa hari. Jujur, hal itu membuat Arisa merasa tidak nyaman. Ini baru pertama kali Arisa merasakan perasaan asing tersebut. Ia tidak menyangka jika mengabaikan Ren ternyata bisa membuat hati Arisa resah. "Baru ini aku resah dengan apa yang seseorang lakukan!" Arisa sendiri mengakui perasaan tersebut. Rasa asing yang membuat Ren tak bisa lepas dari ingatan dan benak Arisa. Menatap lurus kedepan arah mata Arisa hanya tertuju pada Ren yang masih sibuk bekerja. Beberapa orang mulai meyadari gelagat aneh tersebut. "Kalian bertengkar?" tanya Tina salah satu rekan kerja mereka yang langsung di sambut oleh gelengan kepala dari Arisa. "Fft... Kelihatan loh, kalian saling diam. Padahal tadinya Ren selalu ngekorin kamu kan?" Tina melanjutkan kembali perkataannya. Arisa hanya bisa terdiam dan tertunduk dengan dalam lalu menganguk kecil. "Tampaknya Ren marah padaku?" kata Arisa putus asa. Tina menggelengkan kepalanya, "Sudah coba bicara dengannya lagi? Aku rasa Ren tidak semarah itu padamu!" "Bagaimana kamu bisa tahu itu? Yakin dia tidak semarah itu?" Giliran Arisa yang mencecar Tina. Seketika, Tina pun tertawa kecil di buatnya. Sejujurnya Tina menyaksikan segalanya. Segala hal yang mungkin Arisa atau Ren tidak sadari. "Dari tadi tuh, dia lihatin kamu terus Arisa, lalu saat ia merasa akan ketahuan. Ren langsung mengalihkan pandangannya dengan canggung. Intinya sama seperti apa yang kamu lakukan Arisaku sayang!" Tina menyentuh hidung Arisa dengan jari telunjuknya. Ia masih terkekeh kecil menyaksikan drama cinta dari salah satu rekan kerjanya. "Padahal kalian sangat cocok. Jangan lama-lama bertengkarnya." Nasihat terakhir pun Tina layangkan seiring dengan Ren yang tertangkap basah tengah menatap ke arah dirinya. "Kita harus bicara!" "Kita harus bicara!" Serempak Ren dan Arisa mengatakan hal yang sama. "Hmmm.. Kita pulang bareng saja!" Akhirnya Ren memutuskan untuk membuka suara pertama kali. Sebagai seorang pria sejati, ia tak mungkin membiarkan Arisa yang mengajaknya. Ia masih tetap ingin mempertahankan martabat Arisa sebagai seorang wanita. Meski tak tahu apa yang ada di dalam pikiran masing-masing tapi Ren dan Arisa bisa menebak arah pembicaraan mereka masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD