22. Apa kamu akan membunuhku?

1130 Words
"Ha - Ha - Ha!!!" "Aku menemukan sesuatu yang menarik!" Suara tawa menggelegar memenuhi ruangan tersebut. Pandangan mata itu tertuju pada satu hal. Sebuah lemari yang tiba-tiba di aliri oleh air yang berbau pesing. Makhluk itu melangkahkan kakinya. Mendekat ke arah lemari dengan kekeh tawanya yang tak bisa ia hentikan. Seolah menikmati setiap kali ia mendekat ke arah lemari itu. Mempermaikan sesuatu yang sudah pasti akan menjadi sasaran empuk berikutnya. Tak terbayangkan rasa ketakutan seperti apa yang saat itu Ren rasakan. Air yang mengalir di antara kedua kakinya menjadi jawaban atas ketakutan besar yang saat itu ia rasakan. Menyaksikan kematian orangtuanya yang begitu sadis. "Tok Tok Tok.. ada orang?" Makhluk itu tidak mengetuk pintu lemari. Ia hanya menyuarakan mulutnya seolah menyerupai suara ketukan pintu untuk menakuti Ren yang bersembunyi di dalam lemari. Ren semakin gemetar, ia melihat seringat makhluk itu yang kian mendekat. Aroma darah yang memang sudah tercium itu semakin lama semakin terasa menusuk seiring dengan mendekatnya makhluk itu ke sisi Ren. "Manisku.. kamu tidak merindukan ibu dan ayahmu?" "Lihat.. mereka menunggumu." Suara itu menusuk gendang telinga Ren. Pandangan matanya yang semakin buram hanya terfokus pada tubuh ayah dan ibu yang sudah terkapar, bersimbah darah dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. "Ha-Ha-Ha.. ini sangat menyenangkan." Tampaknya makhluk itu senang menggoda Ren yang ketakutan. Ia sebenarnya bisa saja langsung membuka lemari itu dan menghabisi Ren. Namun, bukan itu yang ia lakukan. Ia justru terus menakuti Ren, mempermainkan hati anak kecil yang tak berdosa. Seorang anak yang bahkan tidak ia mengerti apa kesalahannya, apa yang orangtuanya lakukan hingga pantas di habisi dengan sadis seperti itu. Ren sama sekali tidak paham apa yang terjadi tapi ia memiliki satu tekad yang sama, yaitu Ren ingin bisa bertahan hidup seperti apa yang orangtuanya harapkan. Meski dengan tubuh yang sudah mulai hancur dan tak terkendali sekali pun. "Ja-jangan mendekat!" Ren panik di dalam hatinya. Tubuhnya memang gemetar, kaki Ren sudah basah dan bau pesing, tapi tekad Ren untuk tetap hidup dan bertahan tidak luntur. Sekuat tenaga Ren menutup mulutnya. Merekkatkan giginya agar tidak mengeluarkan suara. Matanya yang terus mewaspadai sosok di balik lubang kecil itu sebisa mungkin untuk tidak berkedip walau semakin lama pandangan mata Ren semakin kian memburam. Tentu semua itu kembali menjadi sesuatu yang sia-sia. Makhluk itu telah puas menggoda Ren tepat di saat ia sudah berdiri di depan lemari. Makhluk dengan taring yang tajam itu membungkukkan badannya dan tersenyum sadis seolah ia mampu melihat sosok Ren dari balik pintu lemari yang tertutup rapat itu. "Baaaaa....." Teriaknya lantang seraya membuka kasar pintu lemari tersebut. Kini gigi taring itu terlihat dengan sangat jelas. Runcing dan berwarna putih, dagu yang masih berlumuran darah, serta aroma darah yang juga menyelimuti tubuhnya. Makhluk itu benar-benar mengerikan. Namun, Ren yang rasanya ingin berteriak atau kabur itu nyatanya tak bisa berbuat apapun. Kakinya terasa kaki dan tak bisa bergerak. Tenggorokannya seketika terasa kering dengan bola mata yang terus membulat tak berkedip. Ren ketakutan dan sangking takutnya ia terus menatap ke arah makhluk itu. "Manisnya.. aku sampai lupa jika ada kamu. Aku nyaris saja melupakan jika manusia itu punya seorang anak." Begitu mendengar pengakuan itu. Hati Ren benar-benar remuk, rasanya ia terlalu ceroboh hingga membuat dirinya ketahuan. Ia membenci reaksi tubuhnya yang gemetar hingga terkencing-kencing saat melihat penyiksaan yang di alami oleh orang tuanya. Ren sadar jika perbuatannya itu lah yang telah membocorkan tempat persembunyiannya. "Tidak.." "Tidak.." "Apa yang telah aku lakukan?" "Aku membuat perjuangan ayah dan ibu menjadi sia-sia!" Di dalam hati Ren, ia sudah berteriak dan menyesali segalanya. Namun, sebenarnya ia sama sekali tak mampu bersuara. Bibirnya masih kelu dan sesak yang ia rasakan semakin menekannya. "Ayah.. Ibu.. maafkan aku!" Ren terus memohon maaf pada ayah dan ibunya. Ren sudah yakin jika itu akan menjadi akhir dari hidupnya saat ini. Kali ini adalah gilirannya, ia mungkin akan bernasib sama dengan ayah dan ibunya. Ia akan mati di hari yang sama bersama orang tercintanya. Oleh sebab itu, perasaan Ren yang sebelumnya sudah campur aduk itu kini mendambakan sebuah harapan. Ia ingin mencium pipi kedua orang tuanya untuk terakhir kalinya. Harapan kecilnya itu menjadi perpisahan dan juga ungkapan maaf dari Ren yang tidak bisa selamat. Ren pun berharap jika makhluk bertaring tajam itu akan mengabulkan harapan sederhana Ren. Berharap sedikit saja, makhluk itu akan memberikan Ren kesempatan sebelum benar-benar membunuh Ren. Apa lagi, Ren yang masih anak-anak itu tentu tak akan bisa melawan banyak. Perlawanan yang juga sudah bisa di tebak siapa pemenangnya. Sehingga Ren pun memberanikan dirinya untuk menyatakan segala isi hati serta pikirannya itu. "A-apa kamu akan membunuhku?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Ren dengan gugup. Menanti jawaban yang akan dilontarkan oleh makhluk bertaring itu. Namun, makhluk itu malah tertawa dengan lebar. Ia menarik tubuh Ren keluar dari lemari. Mendorong kasar Ren hingga tersungkur di lantai yang sudah penuh dengan genangan darah dari kedua orang tuanya. Tangan Ren menyentuh darah, begitu pula dengan kaki dan lututnya. Ren bersimpuh dengan darah orang tuanya yang memenuhi setengah tubuh mungil Ren. "Aaah... Haaaah... uuuch..." Ren menatap kedua telapak tangannya dengan gemetar. Darah kedua orang tuanya melekat dengan erat. Ren ketakutan, ia mencoba membersihkan terlapak tangannya namun semakin di usap darah di tangan itu seolah semakin melekat. Panik, Ren mengelap ke bajunya. Hal itu malah membuat Ren semakin berlumuran darah. Sangking paniknya, Ren yang tanpa sadar memegang kedua pipinya itu pun kini sudah membuat wajahnya penuh dengan darah. "Aaaaaaak..." Teriakan histeris itu bukan karena Ren yang takut akan darah. Melainkan karena perasaan Ren yang campur aduk akibat dari darah orangtuanya. "Huuuft.. ffft.. ft.." Makhluk itu tertawa kecil saat melihat reaksi Ren tersebut. Ia seolah terhibur dengan kepanikan yang ditunjukkan oleh Ren. Air mata yang menetes dan bercampur dengan darah yang saat ini penuh melumuri wajah polos Ren. Pemandangan yang membuat makhluk itu terlihat begitu puas. Lalu, Ren yang nyaris melupakan nyawanya yang sudah di ujung taduk itu kini hanya bisa gemetar bersama lumuran darah dari orangtuanya. "Hmmm... tadi kamu tanya padaku. Apakah aku akan membunuhmu atau tidak?" Makhluk itu kembali bertanya pada Ren. Tapi, Ren yang sekarang tentu tak lagi bisa menyatakan permohonan kecilnya itu. Jangankan untuk memohon. Membuka mulutnya lagi pun Ren sudah tak sanggup lagi. "Bukankah jawabannya sudah pastii? Tapi, aku tidak suka darah anak kecil. Cuma tidak ada salahnya untuk mencoba darah segar yang rasanya masih sangat manis!" Setelah mengatakan hal itu sudah bisa di tebak apa yang terjadi selanjutnya. Ren pun menjadi saasaran empuk seperti apa yang makhluk itu katakan. Ia menggigit leher mungil Ren. Menghisap darah Ren dengan sangat kasar bak orang yang kehausan. Ren tak berdaya, tubuh mungilnya tak bisa melawan dan harapan kecilnya untuk bisa mencium orang tuanya itu sirna begitu saja. Mustahil ia lakukan dan pada akhirnya lagi-lagi harus menyerahkan nyawanya begitu saja. "Sakit ..." "Menyakitkan ..." Tubuh Ren terasa panas dengan segala teriakan yang hanya bisa keluar dari dalam kepalanya saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD