PPW 2 – Prolog (2)

1029 Words
"Sekarang silakan kumpulkan tugas kalian yang minggu lalu telah saya berikan!" seru Bu Ros.   Bu Ros adalah guru bahasa Indonesia paling killer yang pernah kami jumpai di sekolah hanya saja, meski killer, aku sangat menghormati beliau. Beliau tidak membeda-bedakan semua murid yang ada di dalam kelas. Bahkan, beberapa kali beliau memintaku untuk membuat cerpen yang nantinya akan dikomentari dan dipuji olehnya.   Aku dengan semangat empat lima langsung berbalik dan mengambil buku tulis bahasa Indonesiaku. Aku sudah mengejakan tugas bahasa Indonesia dari Bu Ros. Bagiku, tugas yang beliau berikan tidaklah sulit, kita hanya diminta untuk membuat cerita saduran dari cerita Malin Kundang yang sudah ada dan umum dengan cerita Malin Kundang versi kami sendiri.   Seketika kelas gaduh, banyak dari kawan-kawanku yang belum mengerjakan tugas tersebut. Dalam hati aku tersenyum licik.   Tamatlah riwayatmu wahai para b*****h.   "Silakan kumpulkan di atas meja, ibu akan kembali dalam 10 menit." kata Bu Ros yang langsung keluar.   Aku kecewa, benar-benar kecewa melihat Bu Ros yang pergi meninggalkan ruangan ini. Seketika perasanku yang tadinya sangat senang kini berubah menjadi sangat cemas.   Aku mencoba menghilangkan pikiran buruk itu dengan terus berpositif thinking.   Baru saja aku mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas, seseorang sudah mengambil buku tersebut dari tanganku. Aku hanya bisa menghela nafas. Ini bukan kali pertama kalinya buku tugas milikku diambil oleh teman-temanku.   "Kau pasti sudah kan, Gendut?" kata Devan. Kembaran Davina.   Aku benar-benar merasa s**l karena harus bertemu dengan dua saudara kembar yang hobinya menindas kaum yang lemah. Rasanya aku ingin melawan namun aku rasa tidak ada gunanya melawan karena aku pun pasti akan kalah.   Jadi, aku memutuskan untuk diam. Aku benar-benar merutuki kelaki-lakianku yang tidak bisa kugunakan disaat genting seperti ini.   Padahal, aku sudah sering menonton film-film tentang action, Di mana, di setiap film yang aku tonton, pemeran utama yang ditindas akan langsung mengamuk dan melemparkan tinjunya kepada orang yang menindasnya.   Aku ingin sekali melakukan itu, namun lagi-lagi pukulanku hanya sampai batas di pikiranku saja. Aku tidak bisa benar-benar bisa melakukannya.   Di saat-saat seperti ini, keinginannku menjadi kuat sangatlah meningkat, namun lagi-lagi aku sadar tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini.   "Kembalikan." kataku.   "Ck, kembalikan." kata Devan sambil meniru gaya bicaraku dengan nada yang sangat mencemooh.   Ah, s**l, rasanya aku ingin menyobek mulutnya saat ini juga.   Bu Ros pun kembali, dan sekarang tanpa aku ceritakan apa yang terjadipun rasanya semua orang tahu kelanjutannya. Ya, aku mendapatkan hukuman untuk pergi ke perpustakaan dan merangkum novel berjudul Rama dan Sinta yang ada di perpustakaan.   Aku memang sering mendengar nama Rama dan Sinta yang sepertinya kisahnya sudah diketahui semua orang. Argh, hanya dengan mendengar nama kedua tokohnya saja aku mual. Cerita zaman dahulu tentukan menggunakan nama yang aneh-aneh, aku tidak pandai menghafal, aku juga gabta kaji-kaji berkaca mata yang bodoh.   Aku sangatlah fakir dalam segala ilmu.   Aku tidak suka semua pelajaran, aku hanya suka menulis, lain tidak.   "Badrun kau tidak mengerjakan tugas?" tanya Bu Ros terkejut.   Rasanya aku ingin mengadu kepada Bu Ros bahwa buku catatanku dirampas oleh iblis Devan. Namun, aku tidak berani, yang ada nanti sepulang sekolah Devan membawa teman-temannya dan mengeroyokku di depan g**g yang biasa kulewati setiap sepulang sekolah.   "Maafkan saya, Bu." kataku. Mencari jalur aman.   Rasanya aku lebih baik mendapatkan hukuman dari guru daripada mendapatkan hukuman dari Devan.   "Mengapa kau tidak mengerjakannya?" tanya Bu Ros.   Sekarang aku bingung harus menjawab apa.   "L-lupa, Bu." kataku sambil membetulkan kacamataku yang mulai berembun.   Bu Ros menggelengkan kepala seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Baguslah bila Bu Ros berpikir demikian.   "Sekarang kau keluar dan pergi ke perpustakaan, cari buku Rama dan Sinta, dan kau rangkum cerita yang ada di dalamnya, dan serahkan kepada saya setelah pelajaran saya usai!" kata Bu Ros.   "Baik, Bu." kataku.   Aku pun berdiri dan langsung melangkahkan kaki untuk pergi.   BUG!   Tiba-tiba aku terjatuh. Seseorang menjegal kakiku dengan kakinya.Aku sontak mengepalkan tangan dan hendak marah kepada orang yang dengan sengaja membuatku jatuh.   "Kau!" seruku yang tidak tahan lagi dengan perlakuan yang aku terima.   "Maaf." kata seorang gadis cantik yang bernama Janeeta.   Sudah kukatakan bukan? Perempuan cantik itu semuanya kejam. Mereka hanya tampak cantik di luarnya saja. Aku benar-benar kesal namun aku harus menahan amarahku lagi.   "Ya ampun, Badrun marah ya? Maaf ya aku tidak sengaja." kata Janeeta dengan aktingnya yang terlalu payah.   Bu Ros datang menghampiriku.   "Kamu tidak apa-apa, Badrun?" tanya Bu Ros.   "Saya tidak apa-apa, Bu." kataku.   Bu Ros mengangguk, lalu menyuruhku pergi. Akupun pergi dengan perasaan hati yang sangat muak pada semua teman kelasku.   Akupun datang ke perpustakaanku. Seorang petugas perpustakaan menatapku seakan aku adalah zombi. Aku tidak memperdulikan tatapannya, aku langsung mengisi buku pengunjung perpustakaan.   "Mengapa di waktu belajar kau malah datang kemari?" tanya pengunjung perpustakaan yang memang sudah mengenalku.   "Aku dihukum." kataku dengan sangat kesal. Bagaimana tidak kesal, penjaga perpustakaan tentu lah tahu kalau aku sedang di hukum.   "Hahaha saya kira kau hanya akan menumpang tidur saja di sini." kata penjaga perpus.   Aku mendengus, enak saja. Siapa pula yang mau numpang tidur di saat-saat seperti ini. Apa dia tidak tahu kalau aku sedang mendapatkan hukuman membuat rangkuman buku Rama dan Sinta? Aku hanya bisa menyembunyikan dengusanku lalu berjalan mencari buku s****n itu.   Aku mengambil buku itu dengan wajah lesu aku berniat untuk duduk di meja paling pojok dengan kesal.   Saat Aku hendak duduk di meja favoritku, ternyata sudah ada perempuan cantik menggunakan seragam kami sedang duduk menatapku.   “s**l, mengapa aku harus bertemu dengannya.” kataku.   Aku pun berbalik dan langsung mencari tempat duduk yang lain. Sudah kukatakan bukan? Aku tidak suka wanita canti. Dan gadis tadi terlihat sangat cantik, dengan kuliatnya putih pucat, rambutnya ikal, dan wajahnya mirip seperti anak keturunan Belanda.   Aku berani bertaruh kalau wanita tadi adalah anak orang kaya, dan sebagaimana orang kaya yang berparas canti, aku pun tahu kalau dirinya sebelas duabelas dengan Davina. s**l, dengan menyebut nama iblis itu saja bulu kudukku jadi merinding.   Aku menghempaskan tubuhku ke salah satu tempat duduk di pojok yang lain. Lalu membuka halaman tenagh buku yang kupegang lalu berniat melancarkan saran petugas perpustaan tadi. Pertanyaannya akan apakah aku mau tidur di perpus bisa kuanggap sebagai saran bukan?   Aku merasakan ada angina yang berhembus hingga membuat bulu kudukku berdiri. Aku yang penasaran langsung menurunkan buku yang semula sudah menutupi wajahku.   “Astaga!” seruku terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD