PPW 3 – Prolog (3)

1081 Words
Aku benar-benar terkejut, gadis Belanda itu sudah ada di hadapanku. Gerakannya benar-benar cepat persis seperti hantu. Namun, adakah hantu yang cantik seperti dirinya? Aku pasti sudah gila.   "Kenapa kau mengikutiku?" tanyaku dengan kesal.   "A-aku?" tanyanya.   Aku memutar bola mata lalu membetulkan kacamata yang aku gunakan. Dia terlihat lugu namun aku tentu tidak boleh percaya pada gadis berparas cantik seperti dirinya. Tidak. Aku tidak akan mau terjerat pada kecantikan iblis seorang wanita cantik.   "Menyebalkan." kataku.   Aku pun hendak berdiri, namun gadis aneh ini langsung ikut berdiri juga. Dia bahkan sampai menghalangi jalanku. Aku benar-benar kesal kepada dirinya. Apa dirinya akan menindasku?   Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tidak ada satu orang pun di dalam perpustakaan ini. Bahkan, Pak Ical sudah tidak ada di tempatnya. Sepertinya beliau sedang ke kamar mandi atau sedang pergi ntah kemana.   Aku merasa ini kesempatanku untuk menunjukkan kalau aku laki-laki sejati. Aku tidak akan mau ditindas lagi, terlebih saat ini dirinya hanya sendiri itu artinya aku bisa melawannya.   "Minggir!" seruku, meski agak serak karena ini kali pertama aku berani pada gadis berparas cantik seperti dirinya.   "Apa kau bisa melihatku?" tanya gadis itu.   Aku menaikkan satu alis, mencoba mencerna kata-katanya. Apa maksudnya berbicara seperti itu? Apa dia menganggap dirinya sebagai bidadari hingga dia menanyakan apakah aku dapat melihatnya atau tidak? Ck, benar-benar gadis aneh dan menyebalkan.   "Tentu saja. Apa kau tidak melihat mataku sudah ada empat?" kataku sambil menaik turunkan kaca mataku dengan mendramatisasi.   Gadis itu terkejut mendengar apa yang dikatakan olehku. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri mengenai apakah kalimat mataku sudah empat benar-benar berlebihan hingga dia hanya diam dan bergeming di tempat?   "Hei!" seruku sambil mengayunkan tanganku di depan wajahnya.   "Eh?" seketika dirinya terkejut. Lalu dari matanya aku langsung melihat matanya berbinar-binar.   Dasar gadis aneh.   Aku yang sudah kesal langsung berjalan meninggalkan gadis itu sendiri. Masa bodoh dengan dia yang melamun.   "Tunggu!" serunya dari belakangku.   Aku mengabaikan panggilannya, aku tidak mau terlibat urusan apapun dengan gadis cantik seperti dirinya. Semua gadis cantik adalah penipu dan penindas. Mereka hanya mengandalkan tampang. Mereka tidak mungkin tulus untuk berteman denganku..   Aku tidak mau. Aku tidak sudi diperalah oleh siapapun lagi. Cukup dua kembar iblis yang sangat ingin kubunuh bila pembunuhan sudah dilegalkan oleh dunia.   Gadis itu tiba-tiba sudah berada di hadapanku. Aku benar-benar heran kepada dirinya, mengapa dirinya bisa berjalan begitu cepatnya. Ah, mungkin dia adalah atlet olah raga. Aku tidak mau mengambil pusing tentang itu.   "Namaku Annaliese." kata gadis itu namun tidak mau menyodorkan tangannya.   Aku mendecak. Apakah semua anak perempuan di belanda selalu bernama Annnaliese. Namanya, bahkan membuatku teringat pada sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang karyanya sudah diakui oleh dunia.   "Namaku Minke." kataku dengan asal.   "Minke?" tanya Annaliese.   Aku tertawa dalam hati. Annaliese terlihat sangat kebingungan mengeja namaku. Sepertinya dia belum pernah membca ataupun menonton film berjudul Bumi Manusia.   "Kenapa?" tanyaku dengan galak.   Keberanianku ntah muncul dari mana, yang jelas, Annaliese seperti anak yang berbeda dengan teman-temannya, jadi sepertinya aman-aman saja bila aku membentak-bentar atau memarahinya, toh dirinya tidak akan mengadu kepada siapapun.   Anggap saja ini balasan karena dia terlahir sebagai gadis yang cantik. Apa aku terlalu kejam untuk melakukannya? Aku rasa tidak. Sebab, dibanding dengan semua penderitaan yang aku dapatkan, ini bukanlah seberapa.   "Kenapa kau terlihat tidak suka kepadaku?" tanyanya dengan wajah sedih.   Bibirnya pucat. Seperti mayat. Sepertinya dirinya tidak tahu cara merawat diri. Wajahnya memang sudah putih mungkin itu sebabnya dirinya merasa tidak memerlukan berias atau bersolek seperti remaja pada umumnya yang mulai 'ganjen' sebelum umurnya.   "Memangnya ada alasan untuk aku menyukai gadis sepertimu?" tanyaku sarkas.   Dalam hati aku berdoa agar Annaliese memang gadis baik dan tidak memiliki backing-an di belakangnya. Kalau sampai ada, habislah riwayatku. Aku tentu tidak mau mendapatkan perlakuan seperti babu lagi.   Namun, biarlah, selama Annaliese tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya memiliki geng yang sangat mematikan, aku tidak perlu mengkhawatirkannya.   "Tentu saja. Bukankah semua laki-laki menyukai semua perempuan cantik?" tanyanya dengan polosnya.   Dia memutar tubuhnya dan bergaya agar terlihat lebih cantik. Aku memang mengakui kecantikannya namun aku tidak mau mengakui akan hal tersebut. Bisa-bisa besar kepala dia bila aku menyebutnya cantik.   "Tidak. Tidak semua laki-laki menyukai perempuan cantik. Kamu harus catat itu baik-baik dalam memorimu." kataku.   "Benarkan?" tanya Annaliese.   "Tentu saja benar." kataku.   "Lalu manusia seperti apa yang kamu sukai di dunia ini?" tanya Annaliese.   Aku seketika terdiam. Aku memang belum prnah merasakan jatuh cinta. Namun, mendengar pertanyaan yang dilontarkan Annaliese kepada diriku membuat aku merasa kalau dia seperti tertari kepada diriku.   Aku tersneyum miring dan membetulkan kacamataku. Aku akan mematahkan hatinya saat ini juga. Katakanlah aku jahat namun itu bukan kesalahanku. Dia sendiri yang menyodorkan dirinya kepadaku, jadi jangan salahkan aku apabila aku melakukan tindakan yang membuat dirinya marah.   "Aku tidak suka manusia." kataku.   "Maksudmu?" tanya Annaliese lagi.   Aku mendekati Annaliese dan mendekatkan wajahku dengan wajahnya lalu aku mendekatkan mulutku pada telinganya seraya berbisik, "Aku tidak suka manusia, aku suka pada hantu." kataku lalu berlalu meninggalkannya.   Aku melirik sebentar, Annaliese terlihat terpaku di tempatnya.   Aku pun kini berjalan ke pojok perpustakaan dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Ros kepada diriku. Aku memang suka membaca namun aku tidak suka membaca buku yang tokohnya terlalu banyak dan susah dihafal. Aku hanya suka baca komik dan novel lokal saja.   ***   "Badrun, kau harus bisa mencontoh kakakmu, Nak. Kau harus berprestasi di sekolah. Lihat, kakakmu Julian hari ini membawa piala kejuaraan matematika." kata Mama.   Aku benar-benar tidak menyukai Mama yang terus membandingkan aku dengan kakakku.   Apa Mama tidak sadar kalau setiap anak di dunia ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing? Seharusnya beliau tentu tidak boleh membanding-bandingkan kami.   Terlabih, aku harus dibandingkan dengan Kak Julian. Bahkan, dari nama Julian ke Badrun saja sudah terlihat bahwa kami tidak bisa di bandingkan dalam segi papaun.   Itu baru nama. Belum wajah, tubuh, prestasi, dan lainnya.   "Mama terus membanding-bandingkan aku dengan Kak Julian." kataku.   Aku langsung berdiri. Aku tidak mau makan.   Dalam hidup aku sangat membenci momen-momen seperti ini. Aku tidak suka diceramahi, dibandingkan, atau dimarahi di meja makan. Karena hal tersebut selalu membuat nafsu makanku menghilang ntah kemana.   "Lho, Badrun!" panggil Mama.   "Ada apa, Ma?" tanya Papa. Aku yakin papa sedang bertanya kepada mma tentang apa yang terjadi.   Aku tidak memperdulikan suara yang ada di belakangku. Aku tidak peduli dengan suara Mama maupun Papa.   "Biasa, Pa. Badrun merajuk. Seperti perempuan saja dia." kata Kak Julian.   Aku mengepalkan tangan, rasanya aku ingin datang ke sana dan memukul Kak Julian, namun aku tidak berani melakukannya. Apa katanya? Aku seperti anak perempuan?   Aku benar-benar kesal kepada dirinya.   Dan untuk menyuarakan rasa protesku, aku langsung menutup pintu dengan kasar.   BRAKKK!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD