Sebentar, Nanti Juga Enak

1008 Words
"Ampun Pak! saya mohon ampuni saya! saya sungguh tidak tahu ke mana nurani pergi. " Ayahnya Nurani bersimpuh di kedua kakinya lelaki berbadan kekar itu. Mereka adalah dept collector suruhannya kepala desa yang gagal menikah dengan Nurani Cahya. Bagaimana enggak kecewa karena kepala desa itu sudah membayangkan malam pertama yang akan ia lalui dengan indah bersama seorang gadis belia yang rasanya pasti akan sangat manis. Namun sayang, semua itu tidak bisa ia dapatkan karena nyatanya Nurani Cahya malah kabur di malam di mana besoknya mereka akan melakukan sebuah pernikahan. "Katakan di mana Nurani Cahya! DIMANA!" Lelaki yang berbadan gempal dan tinggi itu menarik rambutnya Ayahnya Nurani Cahya dengan kuat. sementara orang orang yang lain, memporak porandakan semua isi yang yang ada di dalam rumah bilik itu. Dari mulai televisi, perabotan, pakaian dan yang lainnya. Termasuk nasi yang baru saja ibunya Cahya masak, menjadi berantakan di depan rumah bilik sederhana itu. "Saya sungguh tidak tahu, Pak, saya--" "Pak, sakit ..." Ibunya Nurani ditarik rambutnya yang sudah berwarna abu itu. Rambut hitamnya memang sudah berwarna agak putih karena termakan usia. Maklum, hidup di kampung dengan kerja serabutan memang bisa membuat tubuh seseorang lebih cepat terlihat kusam dan tua. Ayahnya Nurani memohon ampun agar istrinya itu dilepaskan. Semua ini murni salahnya karena dia suka bermain judi. Istrinya sama sekali enggak salah. "Mohon lepaskan! saya akan berjanji untuk mencari Nurani dan mengembalikannya pada Pak Kepala Desa. Tolong jangan siksa istri saya." Ayahnya Nurani mencium kedua kakinya lelaki yang bertubuh tambun yang sedang menarik rambut sang istri. "Baiklah!" Mendorong istrinya hingga jatuh ke tanah, laki laki tambun itu mengibask kibaskan kedua tangannya, seolah rambut ibunya Nurani itu adalah sebuah debu yang sangat kotor. Kemudian laki laki tersebut menelpon sang atasan. "Baik, pak." setelah selesai menelpon ia pun kembali menutup ponselnya. "Dengar! Pak kepala desa melepaskan kalian, namun ... selama seminggu kalau tidak menemukan Nurani. Maka kalian akan habis." ujar laki laki itu seraya memperagakan seolah keduanya akan di gorok oleh atasan mereka. Sementara ini Nurani yang sedang dibicarakan oleh mereka, sedang memeluk dirinya di sebuah ujung gang dengan kedua kakinya yang memang terluka karena tertusuk paku payung. Darah mengalir di telapak kedua kakinya, dan ia menangis sendirian di sana. Nurani menunduk dengan tubuhnya yang gemetar ketakukan. Ketika ada sepasang sepatu seseorang yang mengkilat berwarna hitam menghampirinya. Kemudian seseorang itu berjongkok di depannya. Membuat Nurani mengangkat tatapannya dengan takut takut. "A-anda?" Nurani tahu kalau laki laki itu adalah bagian dari lelaki tadi. Lelaki bermata biru yang menurutnya agak menakutkan, meski memiliki wajah yang begitu tampan. Satria tersenyum dan memberikan tangannya. "Kita pulang, di sini tidak aman." ujarnya. "Kamu pasti suruhan laki laki yang tadi? kamu mau bawa aku ke dia kan?" Satria tersenyum lembut, sangat memaklumi perasaan gadis polos itu. "Tuan itu sebenarnya sangat baik. Tuan tidak akan pernah melukaimu. " "Ta-tapi..." "kedua kaki mu sedang terluka. Akan lebih baik, kalau kita pulang dan Tuan akan mengobati kedua kaki mu, di sana." Satria harus sabar dan memberikan senyuman ramah pada perempuan itu, agar dia merasa nyaman dengannya. Jangan sampai gadis itu ketakutan padanya, kemudian ia akan kabur. Jika itu terjadi, maka tentu saja kepalanya akan menjadi taruhan nya. Dan selama ini ia tidak pernah gagal menjalankan misi apapun yang diperintahkan oleh atasannya itu, termasuk misi untuk mendekatkan seorang perempuan yang diinginkannya. *** Sampai di sebuah gedung yang tadi Nurani tinggalkan. Ia berjalan dengan tertatih dan Satria membantunya. "Tuan saya itu sangat baik, nona akan di urus dan dibelikan banyak baju bagus." ujar Satria. Ketika keduanya masuk ke dalam lift. Nurani menoleh laki laki bertubuh tinggi berisi namun tidak gendut itu. Laki laki itu memakai jas berwarna coklat di mana dalemannya adalah sebuah kaos follo berwarna hitam. "Apakah saya enggak akan dijual?" Pertanyaan polos itu membuat Satria terkekeh. "Tuan tidak akan pernah melakukan itu." ujarnya dengan berdeham pelan. "Kenapa dia baik? apa dia menganggapku anaknya?" Kembali Satri terkekeh, apakah tuannya itu terlihat se tua itu, sampai gadis cantik ini mengatakan pantas menjadi Ayahnya. "Oh, bukan seperti itu, nona." ujar Satria. "Oh, jadi seperti apa? apa dia mau menjual saya?" Sepertinya gadis itu memang trauma, karena terus saja mengatakan akan menjualnya. "Tidak seperti itu, dan tuan tidak sejahat itu, sampai harus menjual nona. Intinya Tuan saya itu baik banget, dan nona akan tahu setelah bertemu dengan beliau nanti." *** "Kaki mu terluka..." Laki laki bermata biru itu menatapnya dalam sekali. Nurani menjauhkan kakinya ketika laki laki itu hendak meraihnya. Ia celingukan mencari ke sana ke mari di mana keberadaan Satria. Namun laki laki itu memang sudah tidak ada. "Tenang lah, sayang. Aku tidak akan melukai mu." Dengan pelan si lelaki bermata biru itu meraih kakinya Nurani lalu di letakan di atas pahanya. Membuat Nurani gemetar dan bingung tidak tahu harus ngapain. Jarak ini terlalu dekat, sehingga ia bisa menghirup wangi dari tubuh laki laki itu. Wangi khas seorang lelaki yang mapan secara finansial dan juga secara emosional. Wajah yang tampan ala ala bule yang menawan, tubuh yang berisi dengan d**a yang bidang bersembunyi di balik kemeja mahal berwarna putih itu. Bagian tangannya baju itu digulung sampai setengah lengan, sehingga memperlihatkan jam tangannya yang mahal dan mengkilat. Lalu kaki yang terbungkus bustong kulit warna hitam pekat itu, sungguh sempurna membuat pikiran Nurani merasa insecure. Ia jelas tidak sebanding dengan manusia di depannya ini. "Apa yang kamu lihat, huh?" Segera saja Nurani mengalihkan tatapannya ke arah lain. Jantungnya terasa hendak melorot dari tempatnya. Senyuman menawan itu jelas membuatnya mati kutu. "Ti-tidak. A-apakah sudah?" bagaimana tidak gugup, jika wajah tampan itu sungguh membuat pikirannya seolah mati. Sentuhan tangan lebar dan hangat itu, jelas membuatnya sampai berkeringat dingin. Menyadari bahwa gadis itu begitu kikuk hanya karena sentuhannya di kedua kakinya. Laki laki itu jadi ingin lebih membuatnya parah lebih dari ini. "masih belum, sayang." ujarnya dengan suara berbisik. Nurani mengerjap, dan menundukan kepalanya dalam dalam. "I-itu sakit ... itu ..." gadis itu meringis ketika si lelaki tampan itu mengoleskan obat di tempat yang lukanya. "Hanya sebentar sayang. Nanti juga akan terasa enak." Ujarnya lagi dengan suara yang rendah, namun suara itu malah membuat Nurani melebarkan kedua matanya. E-enak! apapula itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD