BAB 2

1356 Words
Wajah William terlihat pucat pasi dengan rahang yang mengencang. Matanya membulat mengingat-ingat kalau sebaris nama yang tercetak di kertas permohonan—mungkin saja salah. Tapi setelah puluhan detik yang terlewat nama itu tetap sama. Bahkan meski harus mengejanya sedemikian pelan juga mustahil untuk berubah. "Rahee, ya?" tanyanya menghentikan langkah kaki Ryan yang siap menuju pintu. Di balikkannya badan tegapnya lantas mendapati ekspresi janggal dari wajah bos-nya itu. Sialnya yaitu karena Adam begitu mengenal William. Bukan karena waktu yang memahami sisi lelaki dingin bermulut mercon itu. Bukan juga karena jangka usia yang terpaut atau mungkin karena ia bawahannya dan William atasannya. Dengan tegas Adam katakan itu salah. Kebersamaan keduanya—mendahului Ryan dan Chaz tentunya, dua bocah tengik itu berada di bawahnya; satu tahun lebih muda. Ya, dirinya dan William bersama sejak masih kanak-kanak. Rumah bersebelahan, sekolah yang sama, baju yang sama, tas dan sepatu yang sama—terkecuali untuk urusan seorang gadis. Adam mengangkat kaki untuk itu karena ia tahu seperti apa William. "Nama ini tak asing untukku. Rahee Palmer?" ulangnya sekali lagi. Adam meneguk ludahnya—pahit. Ayolah, ini hanya sesi tanya jawab dosen dengan mahasiswa, dukungnya menyemangati. "Ada berjuta nama yang sama Will." Akhirnya ia menemukan letak suaranya setelah menghilang beberapa menit. "Percaya padaku. Dia bukan orang yang sama. Lihat secara saksama. Biodata yang tertera menjelaskan di mana dia tinggal, dari mana asal-usulnya bahkan kampusnya." Adam mencoba menyugesti bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa nama itu hanya mirip tapi tak serupa. Jika kali ini ia gagal—entahlah. William memagut dagunya seolah-olah paham. Pikirannya melalang buana. Tekanan macam apa ini yang mengharuskannya berpikir demikian keras. Ini hanya sekedar nama. "Kau akan kembali ke studio. Lima menit lagi, dan asisten barumu bersama Seulgi." Adam melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti, merepotkan sekali, gerutunya. Sepeninggal Adam, masih lagi Sehun termenung. Pikirannya hampir goyah dengan nama itu. Serius, nama itu tak asing walaupun telah lama ia mencoba enyahkan. Keturunan itu ada bukan? **** Riuh, sesak. Itu kesan pertama yang Rahee lemparkan melihat bagaimana bisingnya studio yang berukuran—entahlah. Luas, hanya saja sesak. Model-model berpakaian minim memadati setiap sudut membuat deru napasnya memburu. Dadanya naik turun tak beraturan begitu semerbak parfum menyengat menyentuh hidungnya. Rahee ingin muntah saat itu juga. Namun otaknya mengirim sinyal untuk berpikir waras; akan sangat kacau jika hal itu terjadi. Ujung tenggorokannya menahan u*****n serapah untuk agensi tempatnya magang. Perusahaan kondang seperti ini, menangani model-model profesional, mencetak pakaian ternama dan bekerja sama dengan majalah dunia pesohor Amerika namun begitu pelit untuk menyediakan tempat yang lebih luas. Setidaknya beri space di beberapa sudut agar orang baru seperti dirinya bisa menempelkan b****g di saat menunggu. Bukan di ijinkan berdiri bak prajurit menunggu atasannya. Demi Neptunus, Rahee ingin segera menerjang kerumunan yang layak disebut—jalang mungkin. Pakaian mereka yang menjelaskan, Rahee hanya meneruskan. "Kau akan terbiasa dengan ini. Dua atau tiga hari ke depan semuanya akan membaik." Suara selembut beludru, mata abu-abu yang cerah, bibir tebal dilapisi lipstik nude membuat Rahee tersenyum. Mau tak mau senyum yang gadis itu luruskan tersalur begitu saja pada dirinya. Seperti aliran positif pada listrik, gadis ini terlihat anggun dan kalem. Hal yang sangat jarang Rahee lakukan selain menjadi diam dan bisu adalah tersenyum. "Bos akan datang sebentar lagi. Ya, dia sedikit—kau harus menyiapkan telinga untuk mendengar kata kasarnya." Nasehatnya. Rahee bergumam terima kasih dan menenggak soda kalengnya. Merasa senang untuk sebuah kesan perkenalan yang bersahabat. "Ladies, tak seharusnya aku—Ya Tuhan kenapa dia cantik sekali. Dan Allinson, kau begitu jahat tak membawanya padaku." Gadis bernama Allinson itu memutar matanya. "Aku tak suka menonton drama, Chaz. Berhentilah!" hardiknya keras. Mata abu-abunya menyipit tajam. "Dan Rahee, jangan tersinggung, tapi jangan dengarkan dia. Dia lelaki sinting di sini." "Oh sialan. Aku merasa tersinggung sekarang." Rahee kembali tersenyum—tipis meski wajah datarnya kentara terlihat. **** "Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini. Rumah? Seringai di wajahnya ia tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat lelaki tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas. "Bagaimana kuliahmu? Apa gadis itu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri. "Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi. Lelaki itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, lelaki itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun. Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak mendukung. Dua hal itu tak berjalan selaras. Tak berlalu beriringan karena faktanya, mereka berjalan di atas bumi yang sama, di pijakan dan tanah yang sama, namun tidak di sebuah atmosfer yang sama. Mereka terpisah. "Aku peduli," jawabnya kalem, "Kau tetap adik bagi kami Lucas, kau—" "Persetan!" tukasnya. Dadanya bergemuruh mendengar ucapan itu. Sekali lagi, sedetik lagi, jarum kemarahan yang mengobarkan api pada dirinya ingin segera Lucas luapkan. "Apa pedulimu tentang hidupku b******k?!" Lelaki itu bungkam. Tangannya meremas satu sama lain pertanda gugup yang meliputi. Ia terlampau memahami dan hanya diam ini jawabannya. "Kau dan dia, bisakah kalian percaya jika aku melihat semuanya. Aku dan dia melihat dengan mata kepala kami. Aku dan dia melihat bagaimana—" Lucas tercekat. Suaranya bergetar padahal mati-matian ia menahannya. Tapi kilas balik kejadian itu menumpaskan setiap sendi kehidupannya bahkan tulang-tulangnya. "Aku sedang berusaha Lucas. Kami diam bukan berarti tak peduli. Aku dan dia sama pedulinya. Pilihanmu Lucas, kembali atau berhenti." **** William membidik satu per satu pose model dengan satu jepretan. Sesekali memastikan jika hasil bidikannya yang tersambung ke komputer di sebelahnya juga memuaskan dan siap cetak. Untuk hal sepele seperti ini, tak seharusnya William turun tangan dan menanganinya sendiri. Perusahaannya memiliki hampir sepuluh fotografer handal yang di pekerjakannya tapi entah mengapa hobi sepele ini membuat William ketagihan. Bukan karena memandangi tubuh-tubuh molek dalam balutan dress minim atau apapun. Tapi rasa frustasi yang tiba-tiba menyerangnya mengharuskan ia mempunyai pengalihan. Dan inilah akhirnya, berdiri tegak di ruang serba putih dengan model di depannya. Berpose sesuai arahan Chaz dan Ryan lalu sesekali mendengar gerutuan keduanya. Sejenak William menarik napas. Menghirup udara dalam-dalam seolah-olah pasokan udara di paru-parunya menipis. Meski sorot matanya yang tajam tak teralih untuk memilih hasil jepretan yang sesuai tapi ekor matanya tak sedikit pun berhenti untuk melirik ke sudut ruangan di mana gadis yang menjadi asisten barunya berada. Di liriknya terus, aktivitas gadis itu juga tak berganti—sejak awal William memasuki ruangan ini. Beberapa pasang mata terlihat sungkan tiap kali William memasuki ruangan namun gadis itu berbeda. Dia terkesan acuh dan fokus pada pekerjaannya yang di arahkan Allinson. Dan di menit ini pun sama. Gadis itu hanya berdiri, memegang alas papan cokelat dengan lembaran kertas di atasnya, pulpen di jarinya dan tanda pengenal yang menggantung di lehernya: Rahee Palmer. "Oh sayang apa itu terlihat bagus? Apa itu layak untuk kau muat di majalah barumu. Lihatlah, sepatu ini menyiksaku hingga hasil jepretan kakiku seperti membengkak." William mendengus. Gadis sialan ini terus saja menempelinya. "Tidak biasanya Allinson memberiku sepatu seperti ini. Aku tahu ini memang terlihat cocok dengan gaun yang aku kenakan. Tapi bocah tengik itu terus saja memaksaku walaupun aku menolaknya." Gerutuan itu menghentikan jari-jari William yang sedang menggeser cursor. Melihat sekali lagi gadis bernama Rahee itu dan memandang gadis di sampingnya. "Siapa yang kau maksud bocah tengik?" tanyanya. Di sadari atau tidak, nada suaranya naik satu oktaf membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya dan melihat adegan kalau-kalau bos mereka akan mengamuk. "Mahasiswa magang itu. Siapa namanya?" Gadis itu menjawabnya santai. Tanpa beban, tanpa menggunakan otaknya atau memasang alarm. William meradang. Itu terlihat dari rahangnya yang mengerat dan raut wajahnya memanas lantaran api menjalari seluruh sisinya. Gadis di sampingnya belum menyadarinya. Bibirnya cemberut seakan-akan apa yang di sampaikannya hal biasa. "Dia asisten baruku dan apa yang dia lakukan sesuai perintah Allinson. Tugasmu hanya menuruti apa yang sudah mereka siapkan. Kecuali, jika kau ingin angkat kaki dari agensiku." Demi Dewa manapun, Ryan ingin pingsan saat ini juga. Bos sialannya kembali berucap hal itu yang artinya pekerjaan baru untuknya menyeleksi. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD