BAB 3

1104 Words
Rahee terengah-engah. Ia ingin bangun. Ia ingin berlari. Tapi mimpi-mimpi itu benar-benar memenjarakan kedua kakinya untuk bergerak. Erangan halus lolos begitu saja melalui celah bibirnya yang terbuka. Dahinya berkeringat dengan gerakan gelisah semakin memojokkan wajahnya di sandaran sofa. Mimpi buruk yang setiap malamnya ia dapat berhasil membuatnya terjaga. Hal pertama yang di dapatinya yaitu gelap. Pendar mata terangnya diantara temaram malam ruangan kamarnya adalah kilau bulan yang memancar menembus jendela. Telinganya berdengung. Rahee lelah. Sangat lelah sampai ia tak ingin menghadapi apapun lagi. Ia benci ini. Ia benci dengan mimpi-mimpi yang terus menghantuinya. Ia benci melihat kegelapan, atau pun berada di dalamnya. Ia benci berada diruangan yang sempit atau pun sesak. Dadanya akan sakit. Rintihan menyakitkan yang setiap malamnya Rahee alami tak ada satupun yang mengetahui. Tak ada juga yang mencoba untuk menolongnya. Ia harus bertahan, dan terbangun sendiri untuk membuatnya kembali tersadar. Itu bukanlah hal mudah. Itu bagian terberat dari hidupnya karena terkurung oleh kenangan masa lalunya. Ia butuh bernapas. 'Teman tidur' yang selama enam tahun terakhir tak pernah membiarkannya beristirahat dengan tenang terus saja mengganggunya. Rahee butuh sandaran. Sekedar pelukan hangat untuk menenangkannya. Namun sayangnya itu pun mustahil untuk ia dapatkan. "Mama." **** Sepenggal kisah kelam. Kilas balik masa lalu, semuanya tersimpan rapi di memori William. Tersusun apik dalam album kenangan berderu bersama detam jantungnya. Pagi ini, yang terlihat jelas oleh kedua mata beningnya adalah sinar matahari yang cukup terik menerpa wajah tampannya. Bangun dengan rambut acak-acakan dan badan tegap yang menghadap keluar pemandangan kota Carolina. Ingatan William berkelebat. Masih sama seperti kemarin, gadis itu. Gadis yang menjadi asistennya. Entah mengapa, William harus mengingatnya—lebih tepatnya mendekatinya. Hatinya berdesir, jantungnya tak beraturan kala menatap wajah datar itu. Gadis itu sama sekali tak tersentuh dan William ingin menyentuhnya. William ingin gadis itu ada dalam rengkuhannya. William ingin terus melihat wajah itu. Atau senyumnya. Atau lebih tepatnya pertanyaan begini: Apa arti pelariannya selama ini hingga jauh dari negeri ginseng? Kalau untuk melihat nama yang sama. Bukan karena takut. William tidak ingin semua pencapaiannya berakhir sia-sia. Dan sesapan kopi panas yang menyengat kerongkongannya William nikmati dalam lamunan yang melebur bersama langkahan kaki. Tak perlu menoleh dari mana asalnya. William cukup pintar untuk menebak. "Selalu kopi." Vokal itu tetap William abaikan. Kedua tangannya memegang koran pagi dengan suguhan berita-berita politik yang membosankan—memuakkan untuk William ketahui. Tapi pebisnis seperti dirinya wajib mengetahui untuk bisa melawan musuh yang datang dari arah mana pun. "Kafeinnya terlalu tinggi." Celotehannya masih berlanjut. Lalu seperti beberapa detik yang lalu; William tetap diam mengabaikan. Lelaki itu mengembuskan napasnya gusar. Merasa cukup untuk menyerah dan putus asa. Ia mengerti, relung hati William takkan tersentuh oleh apapun. Sekali pun tangisan berdarah, itu percuma. "Aku bertemu Austin. Dia memintaku tinggal," ujarnya seraya meneguk segelas air lemon. "Aku merasa tak nyaman jika itu menyangkut kita. Kau tahu Will, ini sulit. Untukku dan terutama untukmu. Kita bertiga saling menjauh dan pergi ke arah tujuan masing-masing." William terus bungkam. Satu tangannya mengangkat cangkir kopinya lalu menyesapnya sekali lagi. Memainkan lidahnya merasakan aliran hitam pekat itu menyebar ke dalam mulutnya. "Kuliahku baik. Dan pembimbingku juga selalu menekanku untuk belajar. Seminggu tiga kali. Aku rasa itu cukup karena dia juga harus magang di salah satu agensi untuk jurnal ilmiahnya. Dia baik kau tahu, tapi dingin sepertimu." Kalimat terakhirnya lelaki itu ucapkan terlalu lirih yang terdengar seperti bisikan. Namun begitu, hal itu menarik perhatian William hingga mengangkat kepalanya dan menatap lelaki muda di hadapannya dengan seksama. Lelaki ini tetap adiknya bukan? Tetap bagian dari keluarganya yang sayangnya pecah dalam kurun waktu enam tahun belakangan. Benar. Hanya jawaban itu yang terucap dari hati William. "Maka lanjutkan. Kau bisa memilih mana yang menurutmu baik dan harus kau tinggali. Tempatmu bukan di sini Luc." **** Usai dengan lukisannya, Rahee segera berjalan menuju ruang belajar yang telah di sepakatinya bersama 'Mahasiswa kesayangannya'. Satu tangannya menenteng lukisan yang akan ia lelang di acara amal pekan nanti. Sedang satunya lagi mengobrak-abrik isi tas selempangnya sebelum suara riuh dan sesak memadati tangga. Di ujung sana, Rahee melihatnya. Menghentikan langkahan kakinya lebih dulu dan menatap sinis si pembuat onar itu. Memuakkan? Benar. Tepat sekali. Rahee hampir akan membubarkan kerumunan itu sebelum satu sosok membuatnya membungkam mulutnya. Tatapan tajam sosok itu meremangkan bulu kuduknya. Meski dirinya juga gadis dingin dan pendiam—terlalu acuh pada sekitar namun mendapati sosok itu yang menatapnya justru melemaskan tungkainya. Sosok itu berdiri agak jauh dari kerumunan dan hanya memerhatikan perlakuan tak adil ini. Tontonan gratis yang setiap harinya Rahee dapati. "Percepat saja semuanya." Suara Lucas mendominan menyadarkan lamunan Rahee. Mengalihkan perhatiannya karena sebelumnya terlalu fokus pada sosok itu. Dan ketika matanya mengedarkan pandang di mana lelaki dingin itu berada—Rahee bersumpah matanya hanya teralih tak lebih dari sepuluh detik. Tapi sosok itu telah lenyap dari jangkauannya. Kepalanya tertoleh ke segala arah kalau-kalau tubuh jangkung itu terselip di antara kerumunan, dan nihil. Desakan-desakan itu terisi sepenuhnya oleh mahasiswa d***u yang menyukai pergulatan. "Jika kau lupa, akan aku perjelas—" "Kau bosan hidup atau ingin menghancurkan masa depanmu sendiri?!" Rahee menyela. Beberapa pasang mata mulai menghujam pada sosoknya yang berada di anak tangga paling atas. "Bubar semuanya!" perintahnya tegas, "Kau bisa melepaskan dia jika ingin selamat Luc. Krav Maga-ku bisa mematahkan tulung rusukmu sekali sentak." Lucas mendengus. Mengabaikan suara Rahee dan lebih memilih menajamkan matanya penuh selidik. "Kau beruntung. Gadis menyebalkan itu menyelamatkanmu." "Aku mendengarnya dengan jelas ngomong-ngomong." Kerumunan itu membubarkan diri meninggalkan suara desahan protes karena gagal melihat aksi tinju yang akan Lucas layangkan. Terkadang, Rahee terheran soal cara berpikir mereka yang kebanyakan konyol. Mereka sehat tanpa suatu kekurangan. Seharusnya mereka hanya perlu menjalankan hidupnya secara normal tanpa bersusah payah mencampuri urusan orang lain. Orang tua mereka yang sebagian besar adalah pengusaha, memanjakannya dengan berbagai fasilitas mewah dan mereka yang hanya bisa menghambur-hamburkan itu semua—tak Rahee pungkiri jika sisi dinginnya iri. Mereka begitu di sayangi, diinginkan dan dielu-elukan. Sedang dirinya? Rahee meringis sakit mengingat perjuangan hidupnya. Ia terlampau dingin untuk memikirkan semuanya. Ia terlalu sakit menjadi yang tertolak di dunia ini. "Kau mendapat tekanan lagi dari rektor?" Suara Lucas menggema menyeretnya untuk kembali menapaki bumi. Kepalanya menatap lurus-lurus ke depan. "Tidak. Ini memang jadwal bimbinganmu dan aku tekankan sekali lagi, aku tak ingin makan gaji buta beserta beasiswa yang susah payah aku kantongi." Lucas terkekeh. Matanya menyipit mana kala pipi tirus itu tertarik ke atas. "Kampus ini mendapat kucuran paling tinggi dari donatur Austin. Jadi—" "Mulai mengakui?" Rahee mencibir, "Kau bertolak belakang." Wajah Lucas mengeras. Sedetik kemudian berubah pias mendengar cibiran Calla. Gadis ini kenapa selalu menjebaknya dalam satu suasana yang meremas dadanya. "Aku mempertahankan milikku," dehemnya. Mendadak pita suaranya parau. "Dan Rahee, bisakah kau menjadi kekasihku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD