Bab 3. A Boy's Longing

2048 Words
Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa. Agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan Sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin mejadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlukannya saat ini adalah berteman dengan anak seusianya, bukan dengan buku-buku tebal seperti yang berada di atas meja di depannya sekarang. Alexant menjatuhkan kepalanya di atas sebuah buku yang berada tepat di depannya. Buku itu setebal satu jengkal orang dewasa. Jangan pernah berusaha menebak apa isinya karena kau tidak akan menyukainya. Buku itu hanya berisi tentang etika dan adab kesopanan, serta hal-hal yang membosankan lainnya. Coba saja kau pikirkan, seorang anak berusia sepuluh tahun dijejali dengan etika dan adab serta berbagai macam peraturan yang seharusnya dikonsumsi oleh orang dewasa. Alasan mereka pun sangat klise, sebab dirinya adalah seorang putra mahkota yang kelak akan menjadi raja dan memimpin Namira. Mereka selalu mengatakan itu berulang-ulang setiap harinya, seolah berusaha mendoktrinnya agar ia mau menuruti semua yang mereka katakan. Terkadang ia iri melihat George atau anak seusianya yang lainnya. Mereka bisa ke mana pun dengan bebas. Apalagi anak-anak di luar sana. Sungguh, ia sangat ingin bisa seperti mereka. Bermain sepanjang hari tanpa harus mengikuti aturan. Membantu keluarga mereka bekerja di ladang atau kebun mereka tanpa dipusingkan dengan pelajaran etika dan tata negara, Sangat menyenangkan seandainya bisa menjadi mereka. Meskipun sehari saja, ia rela bertukar tempat dengan siapa pun anak di luar sana. "Pangeran Alexant, saya harap Anda mendengarkan apa yang saya jelaskan!" Alexant mengangkat kepala dengan malas. Suara mengguntur Madam Petrova yang lebih keras dari suara terompet perang semakin membuatnya tak bersemangat. Alexant menguap, bukan karena ia mengantuk, melainkan sebagai pengalih perhatian. Ia berharap Madam Petrova akan segera mengakhiri pelajaran mereka hari ini. Jika tidak, ia bisa mati karena bosan. "Astaga! Jangan katakan jika tadi Anda tertidur di kelas saya!" Mata hijau Madam Petrova membelalak, dan itu terlihat sangat lucu di mata Alexant. Hidungnya memerah di bagian cuping dan bergerak kembang kempis dengan cepat, wajahnya yang masih bisa dikatakan cantik juga memerah, sangat kentara dia sedang marah hanya saja tak berani melampiaskannya. Sebenarnya Madam Petrova adalah wanita yang cantik, seandainya dia tidak galak dan angkuh pastilah banyak pria bangsawan atau bahkan raja dan pangeran yang meminangnya. Sayangnya, dua sifat itu melekat erat padanya sehingga sampai sekarang wanita berambut cokelat terang itu masih sendiri. Bukan rahasia lagi, jika beredar gosip di luaran sana tentang klub para wanita dewasa yang belum menikah. Madam Petrova adalah salah satu anggotanya. Mereka menamakan klubnya The Old Ladies. Entah apa artinya, yang pasti nama itu sangat konyol. Meskipun klub itu beranggotakan para wanita yang sudah melewati batas usia menikah, tetapi tidakkah mereka merasa jika nama klub terlalu ekstrem? "Maafkan saya, Pangeran Alexant, tapi dengan segala hormat saya akan menghukum Anda!" Suara itu menggelegar, tapi tak membuat Alexant takut. Begitu juga dengan kata hukuman. Tidak ada seorang pun dari guru-gurunya yang berani memberikan hukuman berat kepadanya, mereka terlalu takut pada Raja Henry, ayahnya. Madam Petrova melangkah tegap ke arahnya. Jarak mereka sekitar lima meter. Dagu wanita itu terangkat ketika dia berjalan, mempertegas sikapnya yang angkuh. Matanya jatuh lurus terarah padanya. Sebenarnya Alexant menyukai warna mata Madam Petrova, warna mata itu sama dengan warna mata Selena, pengasuhnya. Sangat cantik. Hanya saja dikarenakan sikap galak Madam Petrova sehingga membuat matanya tak lagi terlihat cantik. "Pangeran Alexant, sebelumnya saya meminta maaf pada Anda karena saya akan memberikan hukuman pada Anda." Alexant memutar bola mata mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar seorang guru meminta maaf hanya karena ingin memberikan hukuman terhadap muridnya yang melanggar peraturan. Selama ini ia memang tidak pernah dihukum. Guru-gurunya tidak berminat memberikannya hukumannya. Madam Petrova adalah yang pertama, dan Alexant sudah tidak sabar menanti apa hukumannya. Dadanya berdebar, tubuhnya bergetar menantikan hukuman yang akan didapatnya dari guru pelajaran tata krama dan etiket. "Saya memberikan Anda tugas untuk mencatat di buku Anda tentang apa saja yang kita pelajari hari ini." Alexant menaikkan sebelah alisnya. Mencatat pelajaran hari ini? Oh, astaga, itu adalah sebuah petaka! Ia tidak benar-benar memperhatikan pelajaran tadi, dan bukan hanya hari ini saja. Sebenarnya sudah sejak dua minggu yang lalu ia terserang penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit malas. Apalagi hari ini, semua pikirannya tertuju pada Crystal. Ia sudah tak sabar menantikan pertemuan mereka yang entah kapan. Alexant mengerang kesal dalam hati. "Dan, saya ingin Anda mengumpulkannya pada saya minggu depan." Alexant membuang muka. Tak ingin melihat wajah Madam Petrova yang sangat menyebalkan di matanya. "Sebab Anda tadi terlihat menguap, jadi pelajaran hari ini cukup sampai di sini. Beristirahatlah, Yang Mulia. Saya permisi!" Setelah Madam Petrova pamit, Alexant masih berdiri di tempatnya. Bahkan setelah bermenit-menit kemudian. Semilir angin yang berembus masuk melalui beberapa buah jendela besar di ruangan ini, menerpanya. Menerbangkan rambut pirangnyaynag sebatas bahu. Beberapa kali tangan Alexant terangkat untuk memperbaikinya. Napasnya terembus dengan kasar, memikirkan harus menulis apa yang dipelajarinya hari ini bukanlah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Setiap pelajaran tidak ada yang menwmpati otaknya dengan baik selain pelajaran strategi perang dan kegiatan yang dilakukan di luar ruangan. Ia lebih mahir menunggang kuda serta memainkan senjata daripada cara menjabat tangan perempuan saat bertemu. Semua yang diajarkan di dalam ruangan sangat membosankan, apalagi pelajaran yang diajarkan oleh Madam Petrova. Kepala berambut pirang Alexant tertunduk, mata abu-abunya terpejam selama beberapa detik. Ketika mata itu terbuka, Alexant berbalik dan keluar dari perpustakaan pribadi raja. Istana memiliki lima buah perpustakaan yang tersebar di empat penjuru istana. Semua perpustakaan bebas dimasuki oleh siapa saja yang tinggal di istana, kecuali sebuah perpustakaan yang terletak di dalam istana. Perpustakaan itu adalah perpustakaan pribadi milik Raja Henry. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki perpustakaan itu, contohnya Madam Petrova. Bukan karena dirinya istimewa sehingga Madam Petrova bisa memasuki perpustakaan pribadi raja, pekerjaannya sebagai guru Alexant lah yang membuatnya bisa masuk ke sana. Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka. Bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tapi sikap mereka terlalu memberi hormat padanya. Mungkin itu memang seharusnya, tapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jenderal Bryne juga yang mengajarinya taktik berperang. Sesuatu yang tidak seharusnya dipelajari seorang bocah berusia sepuluh tahun sepertinya. "Yang Mulia, apakah pelajarannya sudah selesai?" Itu adalah suara Selena, pengasuhnya, yang bertanya. Ia memang kembali ke kamarnya. Sesuai yang diminta oleh Madam Petrova, ia ingin beristirahat. Ia sangat lelah hari ini, bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya, dan menurutnya itu yang paling penting. Dokter Vins Dennison, dokter istana, mengatakan jika baik dirinya maupun ayahnya tidak boleh merasa stress karen situ akan menganggu jalannya pemerintahan. Sangat lucu, bukan? Tidak mungkin anak seusianya mengalami stress. Mungkin saja, Alexant, karena sepertinya kau terserang penyakit itu. Alexant mendengkus kesal menyadari apa yang dikatakannya dalam hati merupakan sebuah kenyataan. Ia terkurung di dalam istana tanpa seorang teman pun dan dijejali dengan pelajaran yang sangat berat. Pelajaran itu seharusnya untuk orang dewasa, bukan bocah kecil sepertinya. Cara memperlakukan perempuan dengan baik bukanlah pelajaran yang cocok untuk anak kecil. Alexant tidak menjawab pertanyaan bernada khawatir Selena, ia tidak berminat. Tidak terlalu penting menurutnya. Seharusnya Selena sudah mengetahui, jika ia kembali ke kamar berarti semua kegiatannya siang ini sudah selesai. Memang seharusnya ia tidak langsung ke kamarnya, tetapi ia memerlukan waktu untuk beristirahat. Sedikit tidak mengapa, yang penting ia bisa berbaring dan melepaskan lelah. Alexant langsung menuju tempat tidurnya, dan berbaring di sana. Ia memejamkan mata. Sebenarnya ia tidak mengantuk dan tidak berniat untuk tidur, ia hanya tidak ingin diganggu. Sendirian adalah solusi yang tepat untuknya saat ini. Ia ingin memikirkan Crystal dan menyusun rencana apa yang akan dilakukan jika mereka bertemu nanti. Mungkin akan lama mereka tidak bisa bertemu, ia berharap Crystal tidak melupakannya, dan semoga tahun depan saat ulang tahun ayahnya, mereka akan bisa bertemu lagi. *** Tubuhnya bergetar hebat. Gadis kecil di depannya terlihat sangat cantik dengan rambut pirangnya yang dikuncir dua. Pipi mulusnya yang memerah mengundang sebuah cubitan. Gemas, ia langsung melayangkan tangannya untuk menggapai pipi chubby itu. Namun, sebelum ia berhasil mencubit pipi Crystal, sebuah tangan mengguncang tubuhnya dengan kuat. Ia membuka mata dan tergagap. Alexant sadar ia berada di kamarnya, tidak ada Crystal, ia hanya sendiri. Ah, tidak, ia tak dak sendiri. Ada George yang tadi mengguncang bahunya. Alexant mengusap wajah kasar sebelum menurunkan kaki dan melangkah ke kamar mandi. Ia bermimpi tentang Crystal –lagi. Ini sudah yang kesekian kali dalam dua minggu terakhir setelah perpisahan mereka. Ia sangat merindukan Crystal sampai-sampai selalu memimpikannya di dalam tidurnya, bahkan saat tidur siang sekalipun. Omong-omong tadi ia tidak sengaja tertidur. Padahal ia memejamkan mata hanya untuk mengusir Selena saja, tidak tahu jika ia akan tertidur. Alexant hanya mencuci muka. Ia yakin sekarang sudah sore, waktu yang paling dinantikannya dalam sehari. Ia akan berlatih pedang dan memanah sore hari ini. Jika George sudah berani membangunkan tidurnya dengan cara kasar seperti tadi berarti jenderal sudah berada di tempat latihan. Tempat latihan untuknya terbilang istimewa, letaknya di taman samping istana di bagian barat. Tidak seperti tempat latihan para prajurit istana yang terletak di belakang istana sebelah timur. Mungkin karena dirinya adalah pangeran makanya ia dibedakan. Bukan sesuatu yang menyenangkan karena ia hanya berlatih seorang diri. Beruntung George selalu menemaninya, jika tidak mungkin ia akan bosan juga. "Apakah jenderal sudah berada di tempat latihan?" tanya Alexant begitu ia berada kembali di depan George. George mengangguk. "Ayah sudah menunggu sejak lima menit yang lalu, Yang Mulia," jawabnya hormat. Ia membungkukkan sedikit badannya. "Kita pergi ke sana sekarang!" Alexant mengambil perlengkapan berlatihnya. "Aku tidak ingin jenderal menunggu lama." "Baik, Yang Mulia." George mengangguk patuh. Alexant berdecak. Ia mengehentikan langkah kakinya yang sudah hampir mencapai pintu, dan berbalik. Kamarnya memang terlalu luas hanya untuk dihuni oleh seorang anak berusia sepuluh tahun. Ukurannya lebih besar dari rumah penduduk yang pernah dilihatnya. Memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai ke depan pintu. Namun, untuk suara pasti akan terdengar. "Bisakah kau tidak bersikap menyebalkan seperti itu?" tanya Alexant kesal. "Sudah kukatakan jika kita hanya berdua, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu. Terlalu menjengkelkan bagiku, George. Kita ini sahabat, tidak sepantasnya kau terus bersikap formal saat tidak ada orang lain bersama kita." George menundukkan kepala. "Maafkan aku, Yang Mulia, maksudku Alexant," ujarnya gugup. "Aku masih belum terbiasa." Sekali lagi Alexant berdecak. Ia tahu itu hanya alasan George saja. George pernah mengatakan saat ia meminta hal yang sama, alasan yang sebenarnya. Jenderal Bryne yang menyuruhnya untuk memanggilnya dengan sebutan formal seperti itu. George anak yang selalu menuruti perkataan kedua orang tuanya, sekalipun dia tak pernah membangkang pada perintah mereka. Satu lagi alasan George, dan ini sangat dibencinya. Dia hanya mengikuti peraturan dan orang banyak. George mengatakan statusnya lebih rendah dibandingkan dirinya sehingga sudah sewajarnya dia bersikap hormat seperti itu. Sangat konyol, bukan? "Jangan pernah bersikap formal seperti itu lagi jika kita hanya berdua saja, aku tidak suka!" George mengangguk hormat. "Baik, maafkan aku!" pintanya menundukkan kepala. "Aku tidak akan mengulanginya lagi." Alexant berdehem kemudian mengangguk. "Sekarang sebaiknya kita segera menyusul jenderal. Aku tidak ingin membuatnya terlalu lama menunggu. Lagipula, aku sudah tak sabar ingin menghirup udara segar." Perkataan Alexant yang seperti seseorang yang sudah lama tidak keluar ruangan terdengar lucu di telinga George. Tanpa sadar ia tertawa. Jenis tawa yang menular karena Alexant juga ikut menyunggingkan senyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD