Chapter 2

1807 Words
Silau matahari masuk menerangi melalui celah jendela kaca. Menggeliatkan seorang gadis yang terbaring di atas ranjang. Kedua matanya mengerjab, menyesuaikan rangsangan cahaya untuk di trimanya. Anggota tubuhnya terasa lelah. Entah apa yang dilakukannya semalam. Di rasanya sebuah dekapan hangat yang melilit di pinggangnya. Brighita menoleh pemilik tangan itu, dan langsung terenyak syok. "What the..." umpat Brighita pencilatan mendudukkan dirinya. Dylan yang merasa adanya pergerakan ikut membuka matanya. Mengucek matanya dan menyugar rambutnya ke belakang. Pemandangan itu membuat Brighita tercengan. Damn! Kenapa pria itu sangat tampan! Brighita menggelengkan kepalanya. Membuyarkan kekagumannya terhadap Dylan. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya penuh emosi. Dylan menguap. "Tentu saja tidur." "Aku tau itu tuan! Maksudku apa yang kau lakukan dengan seranjang bersamaku?" "Emm... Biar kupikirkan, semalam kau pingsan, lalu aku membawamu ke mension. Dan setelah itu aku turut serta tertidur di sampingmu." Plakkk!! Satu tamparan keras mendarat di wajah tampan Dylan. "Apa yang kau lakukan?" geram Dylan tertahan. Ia sedikit kesal terhadap sikap Brighita yang menamparnya dan bukannya berucap terimakasih karena telah menolong gadis itu. "Apa kita melakukan itu?" tanya Brighita bergidik ngeri. Tubuhnya merapat pada kepala ranjang dan mendekap selimut hingga batas lehernya. "Apa?" gurat bingung timbul di wajah Dylan. Ia sedikit bingung akan maksud gadis itu. Apa? Dirinya melakukan apa? Dia hanya tidur di samping.... Aahh.. Sekarang Dylan tau maksud gadis itu. "Oh iya maafkan aku. Aku tak bisa menahan diriku semalam." ucap Dylan dengan tampang menyesalnya. "KYAAAAAAA!" teriak Brighita dengan tampang paniknya. Melompat turun dariatas ranjang. Brighita mencoba menenangkan degup jantungnya. Matanya terpejam, sambil kakinya mencoba untuk melangkah sedikit demi sedikit. Menurut artikel yang pernah ia baca, jika seseorang yang baru pertamakali melakukan itu pasti akan merasa sakit di selangkangannya. Brighita memejamkan matanya, mencoba merasakan sakit itu. Namun nihil, pergerakannya tidak ada yang aneh. Ia juga tidak merasakan sakit apapun. Brighita menoleh menatap Dylan yang berada di atas ranjang. Menatapnya dengan nyalang. Pria itu menaik turunkan kedua alisnya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Boleh Brighita memuji pria menyebalkan itu? Tampang Dylan terlihat menggoda dengan menyangga rahangnya. Terlebih dengan tatapan mata pria itu yang.... Arghhhh.... Brighiga bisa gila. Brighita mengacak rambutnya asal sebelum beranjak menuju kamar mandi. Setelah menyelesaikan mandinya. Brighita segera turun menuju dapur. Dalam perjalannya, Brighita memperhatikan setiap sudut interior mension itu. Tatanannya sangat berkelas dan menonjolkan sisi elegant. Brighita terperangah kagum. Mension yang ia tempati saat ini sangah besar dan indah dengan pemandangan dari pepohonan besar yang berdiri kokoh di area samping mension. Brighita memicing melihat Dylan yang tengah berkutat di dapur dengan perabotan dapur. "Sedang apa sir?" tanya Brighita memecah fokus Dylan. "Oh kau sudah selesai. Duduklah, aku sedang membuatkan sarapan untuk kita." printah Dylan pada Brighita agar duduk di meja bar. Brighita menurut, mendudukkan dirinya di meja bar yang terhubung dengan dapur.  Gadis itu terus memperhatikan Dylan yang dengan gesit mempermainkan peralatan dapur. Beberapa menit Brighita menunggu, Dylan datang meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Brighita. Gadis itu menamati nasi goreng yang ada dihadapannya sebelum beralih menatap Dylan. "Wouww sir. Kau sungguh hebat." ucap Brighita takjub. Mengacungkan kedua jempol miliknya. Dylan terkikik memperhatikan Brighita yang tengah lahap memakan masakannya. Dylan meraih secangkir kopi miliknya, dan menyeruputnya. Baru saja Dylan akan menikmati kopi miliknya. Namun mendengar Brighita yang mual memuntahkan makanannya, membuatnya khawatir. "Ada apa?" "Masakanmu sangat buruk." komentar Brighita dengan wajah masamnya. "Hahahaha... Jadi karena itu? Aku memang tidak bisa memasak." tawa Dylan membuat Brighita melongo. Jika pria itu tidak bisa memasak, lalu kenapa dia mencoba membuat sarapan? Brighita bangkit dari duduknya. "Kamu mau apa?" tanya Dylan yang melihat Brighita mulai memeriksa bahan makanan di kulkas. "Masak. Aku sangat lapar sir, dan masakan mu itu tidak bisa di sebut makanan. Rasanya sungguh tidak enak. Aku yakin kau juga lapar kan?" "Hemm. Tapi, masalahnya... Disini sudah tidak ada bahan yang bisa kita masak. Mungkin hanya tinggal tiga butir telur, osis, dan.... Emm.. Aku tidak tau apa namanya.. Pokoknya yaa itulahh.." Brighita memperhatikan bahan-bahan yang tersisa. Ia mulai mengambil satu persatu apa yang diperlukannya. Dan mulai berkutat dengan sepatula dan penggorengan. Dylan hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan Brighita. Menyandarkan punggungnya pada sisi dinding dapur. Sesekali bibirnya terangkat saat melihat wajah serius Brighita. Gadis itu benar-benar menggemaskan. Setelah beberapa menit, hidangan telur gulung yang di buat oleh Brighita telah tersaji di meja makan. Brighita duduk berdampingan dengan Dylan. Gadis itu mulai menyendokkan sepotong telur gulung ke dalam mulutnya. Dylan mulai memakan masakan yang di buatkan oleh Brighita. Rasanya sangat lembut dan nik mat begitu menyentuh indra perasanya. "Hmm.. Masakanmu sungguh nikmat." puji Dylan. "Hmm" gumam Brighita. "Apa kau pandai memasak?" Brighita menghela nafasnya. "Sir, bisakah kau berhenti bertanya? Aku mencoba untuk menikmati makananku sir." "Oke baiklah." pasrah Dylan. Menyadari keengganan Brighita yang tidak ingin di ganggu. Setelahnya hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu. Keduanya sama-sama terdiam. Hingga Brighita yang seakan sadar akan sesuatu memulai pembicaraan. "Sir. Boleh aku pinjam ponselmu? Aku harus menghubungi seseorang." pinta Brighita. Dylan mengangguk tanpa harus berpikir dua kali. Brighita langsung menyambar ponsel milik Dylan. Setelah panggilannya tersambung, Brighita langsung menempelkan ponsel itu ke telinga. "Ma?" sapa Brighita terlebih dulu. Satu kata itu mampu menarik perhatian Dylan yang kini fokus memandang kearahnya. "Iya ma, ini Tata. Tata baik-baik aja kok disini." "......" "Emm.... Mungkin besok Tata akan kembali lagi ke Indonesia. Setelah barang-barang milikku di kembalikan oleh orang aneh yang menyebalkan." Brighita melirik sinis kearah Dylan yang dibalas seringaian olehnya. "....." "Pelarian Tata sudah di ketahui oleh Darin ma. Tata gak bisa berlama-lama disini. Tata gak mau samapi Daddy membawa Tata pulang kerumah itu lagi." "......" "Em.. Tata sayang mama." Tata mengakhiri panggilannya dan mengembalikan ponsel Dylan. "Terimakasih." Brighita akan beranjak sebelum panggilan Dylan menginstrupsi. "Jadi orang manggil kamu dengan sebutan Tata?" "Tidak semua. Hanya orang tua ku saja yang memanggilku dengan sebutan itu." terang Tata. Oh God. Tata merindukan saat-saat dimana keluarganya belum terpecah belah. Dimana Daddy dan mamanya selalu disisinya. Dylan yang mampu menangkap gurat kesedihan di wajah Tata, mulai mendekati gadis itu. Merangkul bahu Tata yang sedikit terkesiap akibat sentuhannya. Dylan menuntun Tata menuju tangga. Mendudukkan Tata di undakan anak tangga beserta dirinya. "Jadi apa yang membuat gadis kecil sepertimu datang ke negara ini seorang diri? Bercritalah padaku, aku sangat mampu menyelesaikan berbagai masalah." Dylan menatap Tata dengan dalam. Mencoba menyalurkan keseriusannya dalam membatu gadis itu. "Sir, aku tidak ingin menyinggung perasaanmu, tapi kita baru saja bertemu sir. Dan aku tidak tau apakah kau orang yang baik atau tidak." tutur Tata. Dylan meraih tangan Tata dan menggenggamnya erat. "Kamu bisa percaya padaku." mengecup kedua pungunggung tangan itu. Tata yang baru pertama kali mendapat perlakuan manis dari seorang pria merasa leleh akibat perlakuan manis Dylan. "Aku akan di jodohkan oleh Daddy ku. Tapi orang yang akan menikah dengan ku itu... Dia justru berselingkuh di belakangku. Dia bahkan berselingkuh dengan saudara tiriku." "Daddy dan Mama, mereka bercerai lima tahun yang lalu. Setelah perceraian itu, aku dan mama memulai hidup baru tanpa limpahan harta. Kami hidup serba sederhana. Namun aku bersyukur, karena kejadian yang menyedihkan itu mampu membuatku mengerti tentang susahnya untuk bertahan hidup." "Lalu?" sela Dylan yang mulai tak sabar mendengar kelanjutan kisah Tata. "Yaa.. Dan dua tahun lalu, Daddy mengambilku dari mama, selama hidup bersama Daddy aku tak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ayah. Dia terlalu sibuk pada ibu dan saudara tiriku. Hingga perusahaan Daddy mengalami krisis keungan, yang mengharuskan aku menjadi tumbal untuk menyelamatkan perusahaan itu. Dan disinilah aku sekarang." Tata menghela nafasnya, memejamkan matanya. Meratapi setiap masalah yang ia hadapi. Hingga Tata merasakan genggaman erat di tangannya. Tata lantas melihat pemilik tangan itu. Dylan menatap mata Tata dalam. Memberikan dukungan pada gadis itu dengan tatapannya. Pria itu tak perlu memberikan ucapan yang membangun. Hanya cukup dengan perbuatan yang ia tunjukkan saja pada gadis itu. °°°°°°°°° Tata berjalan mengelilingi seluruh mansion. Dylan pamit untuk pergi setelah beberapa menit yang lalu dan meninggalkannya sendirian. Senyuman Tata mengembang saat memikirkan perilaku Dylan yang manis terhadapnya. Tata sendiri tidak tau apa yang dirasakannya saat ini. Hatinya selalu berdesir saat berdekatan dengan Dylan. Entahlahh... Tata tak ingin segera menyimpulkan perasaannya itu. Setelah beberapa jam berlalu dan merasakan lelah di kakinya, Tata memutuskan untuk menidurkan tubuh lelahnya di sofa ruang tamu. Gadis itu terlelap dengan wajah damainya. "Nona, nona Brighita." Tata mengerjap. Mengumpulkan kesadarannya. Di tatapnya pria yang kini berdiri di hadapannya dengan tegapnya. Tata memicing memperhatikan pria asing itu. "Anda siapa?" tanya Tata. "Saya Irham. Nona harus keluar dari mansion ini sekarang juga." Tata melongo mendengarnya. "Kenapa? Apa saya baru saja di usir?" "Tidak ada banyak waktu lagi nona. Kita harus keluar dari sini secepatnya." titah Irham tak terbantahkan. Meski kebingungan menyelimuti pikiran Tata, dia tetap mengikuti Irham yang berjalan sangat cepat. Sehingga Tata sedikit berlari untuk menyamai langkah pria itu. Di luar mansion telah tersedia mobil yang sudah menunggu kedatangan mereka. "Kita akan pergi kemana?" Tak ada jawaban dari pertanyaan yang keluar dari mulut Tata. Irham terus berjalan dengan lempengnya hingga mereka memasuki mobil. Tata yang duduk di kursi belakang. Hanya memandang tak suka pada Irham. Kenapa mimik muka pria itu selalu serius? DUAAAAAARRRRRR!!!! Semua penghuni mobil nampak terkejut mendengar kerasnya bunyi ledakan. Ralat... Sepertinya hanya Tata yang terkejut. Buktinya Irham dan juga sang pengemudi nampak santai saja. Tata menengok kebelakang. Tak ayal mata gadis itu membola melihat mansion yang baru beberapa menit ia tinggalkan langsung meledek menjadi puing-puing bersamaan dengan kobaran api yang menyala. Apa yang baru saja terjadi padanya? Tubuhnya langsung lemas seketika. Syukurlah ia patuh pada apa yang di perintahkan Irham. Jika ia bersikeras untuk tetap tinggal mungkin dirinya akan jadi butiran debu. "Syukurlah nona selamat." suara Irham mengintrupsi. "Heeehhh..." nafas Tata memburu bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu begitu cepat. "Kenapa bisa meledak?" "Tuan Jordan dan tuan Clark tengah bertempur saat ini nona." jawab Irham masih dengan muka lempengnya. "Apa tempur? Kenapa? Apa dia seorang kapiten?" "Bukan nona. Lebih tepatnya mereka tengah perang saudara." jelasnya. Tak ingin ambil pusing, Tata hanya mengangguk saja. "Oh iya, kak Irham jangan panggil aku nona dong! Aku masih sembilan belas tahun tauuu! Panggil aku Tata aja, atau gak Ghita, atau... Bri.. Tapi nama aku Brighita." Tata nyengir menunjukkan deretan gigi putihnya. Irham yang sudah menengok ke arah belakang hanya geleng kepala melihat tingkah ABG Tata. ---------- Brighita menatap takjub mansion yang ada di depan matanya saat ini. Mension megah dan berukuran besar serta elegant. Di area halaman depan mansion terdapat juga kolam dengan ukuran sedang. Sepanjang perjalanan, mata Tata di sajikan dengan interior mension yang lebih membuatnya menganga. Terbesit pikiran Tata bahwa kekayaan Daddynya tak sebanding dengan ini semua. "Sir?" seru Tata saat melihat Dylan yang kini tengah bergelut dengan seorang pria. Seruan Tata itu, kini menghentikan aktifitas sengit antara keduanya. Tata terkejut melihat kondisi Dylan yang sudah babak belur. Wajah tampan pria itu kini terlukis lebam-lebam kemerahan. Dengan pandangan dinginnya yang terus tertuju pada Tata, Dylan menarik lengan Tata dan membawa gadis itu menjauh. Tata hanya bisa pasrah kala melihat kemarahan di wajah Dylan. Pria ini sungguh menakutkan saat marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD