Chapter 3

2514 Words
Dylan melangkah menyusuri area monsion dengan siulan di bibirnya. Rencana persembunyiannya terlihat lebih menyenangkan dengan adanya bocah cilik itu. Kedua sudut bibir Dylan terangkat membentuk segaris senyuman. Sayangnya gadis itu masih terlalu kecil untuk di ajak bermain-main di atas ranjang. "Heehhhh.. s**t!" umpatnya. Membayangkannya saja justru semakin membuat Dylan ingin melakukannya. "HYA! Kau pecundang tengik!" Dylan menatap pria yang baru saja mengatainya itu. Pria yang selalu menjadi rivalnya itu, kini terlihat tersenyum sengit kearahnya. Merasa tak takut dengan tatapan tajam pria itu, Dylan balas menatapnya pelik. Keduanya berjalan saling menghampiri dan berhenti di titik tengah. Melayangkan kebencian dari pandangan mereka. "Hey Brother. Ku kira kau sudah mati. Aku sudah akan mendatangi pemakamanmu setelah ini." sinis Dylan. "Oh ya, jika itu terjadi mungkin kita sudah akan bertemu di neraka. Tapi sayangnya... Pesta penyambutan yang ku adakan untuk mu seperinya gagal." Dahi Dylan berkerut mendengarnya. Ia cukup faham untuk mengerti maksud ucapan saudaranya itu. Dylan berkilat marah. Menarik kerah baju pria itu dan menghimpit tubuh besarnya di dinding. "Apa yang sedang kau rencanakan Clark," geramnya dengan penuh penekanan di setiap ucapannya. Clark melihat arloji di tangannya. Menyeringai menjawab tanpa takut-takut.  "Kurasa satu jam lagi, mansion murahanmu itu akan segera meledak." Dylan terpaku. "Sial!" rutuknya. Melepaskan cengkramannya. Berjalan menjauh. "Irham! Cepat pergi dan bawa gadis itu keluar dari mansion. SEKARANG!" titahnya tak terbantahkan. Irham selaku orang kepercayaan Dylan, secepat kilat melaksanakan tugas majikannya itu. Setelah memberikan perintah pada Irham. Dylan kembali ke arah Clark dan langsung melayangkan pukulannya. Clark yang terkejut dengan pukulan yang tak terelakkan itu jatuh tersungkur di lantai.  Dylan mengambil kuasa menindih tubuh Clark. Memukuli wajah Clark dengan membabi buta. Semua pukulan itu tak dapat Clark hindari. Akibatnya ia harus menerima lebam-lebam merah di wajah tampannya. "Clark!" pekik suara lembut yang kini tengah menatap nanar perkelahian itu. Dylan menatap sumber suara. Clark merubah situasi, ia memukul telak di rahang Dylan. Kini pria itu yang menerima pukulan bertubi-tubi dari Clark. Dylan tak tinggal diam, Membalas pukulan Clark tanpa ampun. Gadis yang sedari tadi memperhatikan tanpa berani menghalau perkelahian itu, hanya mampu memanggil nama Clark berkali-kali. Berharap tak terjadi cidera yang fatal pada pria itu. "Dylan." Suara itu mampu meredam amarah Dylan. Dylan langsung berbalik dan menyusul Brighita yang memanggilnya. Meninggalkan Clark yang kini di hampiri gadisnya. Merida membantu Clark berdiri. Air mata gadis itu terus mengalir tanpa henti. "Clark, are you okay?" tanyanya cemas. Clark terbatuk dan menatap kekasihnya itu penuh sayang. Janjinya untuk tidak berkelahi kini kandas. Clark mengusap rambut Merida. Menenangkan gadis itu dengan senyumannya. "I'm okay." Merida langsung berhambur kepelukan Clark. Menangis tersedu-sedu.  - - - - - - - - - -  "Aaakk..." rintih Dylan. Mengeryit saat Brighita menekan bekas luka di wajahnya. "Kau sungguh lemah sir. Apa di saat berkelahi tadi kau tidak merasa kesakitan? Hah!"  sungutnya kesal. Brighita merapatkan duduknya pada Dylan. Ia pikir saat Dylan menariknya, Dylan akan mengajak pergi dari mansion yang super megah itu. Tapi tanpa bisa di prediksi, Dylan membawa masuk Brighita ke subuah kamar di mansion itu. Yang di yakini Brighita kamar milik Dylan. Karena terdapat fto anak kecil yang begitu mirip Dylan terpajang di dinding. Saat melihat Dylan yang tengah berkelahi tadi, Brighita merasa cemas. Cemas akan keselamatan pria itu. Pria yang selama dua hari ini membantunya di New Zeland. Perlahan sentuhan tangan Brighita melembut. Dylan menatap Brighita saat merasakannya. "Sir, kenapa kau berkelahi?" tanyanya penuh kelembutan. Dylan tersenyum sebelum menjawab. "Dia musuhku, dan dia sedang memberikan ucapan selamat datang padaku. Untunglah Irham berhasil mengeluarkanmu tepat waktu." Brighita tercengang. Apa meruntuhkan sebuah bangunan dengan ancaman sebuah nyawa itu merupakan ucapan selamat datang? "Sir kenapa pria itu sangat jahat. Tapi kenapa sangat tampan..." Brighita meluruhkan tubuhnya. Sedikit menyesal dan kagum pada ketampanan pria tadi. "b*****h itu masih jauh di bawahku." bela Dylan pada dirinya. Tak terima dengan pernyataan Brighita barusan. "Maksudmu, kau lebih tampan sir?" Dengan percaya diri Dylan menjawab. "Tentu saja." "Cihhh.." decak Brighita. "Tapi sir, kenapa dia bisa berada disini?" "Dia? Ahh.. Clark itu saudaraku." Brighita spechless. Apa seperti itu namanya saudara? Saling membunuh satu sama lain? Keluarga yang begitu aneh. "Sir, kau bilang jika mr. Clark itu saudaramu, tapi kenapa dia juga menjadi musuhmu? Apa yang membuat kalian jadi bermusuhan?" "Kau itu banyak bertanya. Rasanya aku ingin sekali mencium bibir mu itu." Tangan Dylan yang sempat ingin memegang bibir Brighita di tepis cepat oleh gadis itu. "Sir! Aku bertanya serius padamu!" Suasana menjadi hening. Dylan tak berniat menjawab perkataan Brighita. Gadis itu hanya menghela nafas dan memalingkan muka. Merasa bahwa apa yang di tanyakan itu cukup terlampau jauh mengingat dirinya dengan Dylan belum terlalu dekat. Tarikan di bahu Brighita membuat tubunya berbalik ke arah Dylan. Dylan menatap dalam manik mata Brighita. Menghembuskan nafasnya teratur. Brighita menahan nafasnya saat merasakan deru nafas Dylan yang menyapu permukaan wajahnya. Sedikit demi sedikit Dylan mengikis jarak di antara mereka. Menelengkan kepalanya kesamping dengan pandangan terarah pada bibir Brighita. Brighita memejamkan mata saat merasa Dylan semakin dekat. Mengontrol detak jantungnya yang berpacu begitu cepat. Sudut bibir Dylan terangkat melihat reaksi Brighita. Dan ia pun dengan senang hati akan melakukan niatnya itu. Sedetik.. Dua detik... Tiga detik... Cuu.. "Sir, Mr. James memanggil anda sekarang juga." Hanya tinggal setipis kertas saja jarak antara keduanya. Dan itu harus terhenti dengan suara Irham. Dylan memaki dalam diam. Pandangannya berkabut marah. Jelas saja ia marah. Irham baru saja menggagalkan aktifitasnya. Brighita yang merasa malu akan keadaan, menyandarkan kepalanya pada bahu Dylan. Menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah seperti tomat. Irham sendiri menahan tawanya saat mendapati reaksi yang berbeda-beda dari kedua belah pihak. Dylan yang menggeram marah terhadapnya, hingga Brighita yang menahan malu.  - - - - - - - - - -  Dylan berdiri tegap di hadapan sang kakek. Saat ini posisinya berada di ujung tanduk. Dengan sadar diri, Dylan menunggu James untuk berbicara terlebih dahulu. "Jojo, apa yang kamu lakukan saat ini salah. Apa yang kamu dapatkan dengan menghindari hak yang seharusnya kamu dapatkan. Ayahmu membutuhkan mu untuk mengembangkan bisnisnya." James Jordan Bouttier. Pria lanjut usia itu menatap penuh harap pada salah satu penerusnya. Wajahnya yang sudah terdapat kerutan tak melunturkan ketegasan dan kewibawaannya. "Sebenarnya apa yang sedang kamu cari. Umur Grandpa sudah tidak panjang lagi. Melihatmu dan saudara-saudaramu tumbuh itu sudah suatu kebahagiaan untuk Grandpa. Dan Grandpa ingin melihatmu berada di puncak kejayaanmu." "Saudaramu Clark, dia akan melaksanakan pesta pertunangannya malam ini. Setidaknya kamu bisa contoh saudaramu Clark. Dia dulu lebih bastard darimu, tapi dia mampu membuktikan dirinya. Mau tidak mau tau kamu harus kembali dan mengambil alih perusahaan." ucap James tak terbantahkan. "Grandpa, mengertilah dengan diriku. Aku belum cukup puas dengan kebebasanku. Aku masih muda grandpa. Young man." Dylan angkat bicara. Menyuarakan isi otaknya. James berdiri dan menendang betis cucunya itu. Dylan meringis memegang kakinya yang terasa ngilu. "Cucu sialan! Umurmu sudah dua puluh tujuh tahun dan itu kau bilang muda! Di pesta pertunangan Clark, grandpa mau mengenalkanmu dengan beberapa anak dari mitra bisnis grandpa. Beberapa sudah grandpa kirimkan fotomu dan mereka tertarik padamu. Pilih salah satunya dan segera tetapkan tanggal pernikahan kalian." "WHAT?" pekik Dylan. Terkejut dengan ucapan James yang dengan begitu mudahnya mengucapkan kata pernikahan. "Grandpa tidak bisa melakukan itu. Aku masih cukup muda untuk menikah grandpa. Apa grandpa tidak berpikir jika akau menikah dan sikap childishku bisa saja mampu menghancurkan pernikahanku itu! Aku tidak mau menikah titik!" kekeuhnya. Dylan meninggalkan ruangan milik James dengan perasaan murka. Hidupnya di ciptakan tidak untuk di atur sedemikian rupa membentuk sebuah sekenario. Ia ingin hidup sesuai keinginannya. Hidupnya memang masih bergantung pada ayahnya. Tapi apa Dylan salah jika ia meminta haknya. Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Meskipun apa yang ia lakukan itu tak jelas arahnya. Timur ataupun barat, Dylan hanya melangkah sesuai angin membawanya. Katakanlah hidupnya tak tentu arah. Dylan tak peduli. Ini hidupnya. Kebahagiannya. Dan tak akan ada satu orangpun yang bisa mengaturnya.  _____________ "Irham. Dimana gadis kecilku?"  Dengan keangkuhannya Dylan berjalan melewati para maid yang menatap kagum padanya. Irham mengikuti langkah Dylan tepat disisinya. "Dia masih berada di kamar anda sir." Mendengar rencana sang kakek, Dylan merasa panas seketika. Amarahnya memuncak hingga keubun-ubun. Tidak seharusnya sang kakek mempromosikan dirinya kepada semua mitra bisnisnya. Itu justru merusak citranya, sebagai jomblo yang nenyedihkan. Padahal mudah saja bagi Dylan untuk membuat setiap wanita bertekuk lutut mengemis cintanya. Seketika itu pula Dylan memiliki rencana untuk membatalkan semuanya. Dylan membuka pintu kamarnya dengan cepat. Pandangan matanya jatuh pada gadis yang kini terlelap di atas kasur king size miliknya. Wajah terlelapnya membekukan Dylan seketika. Dengan perlahan Dylan merebahkan tubuhnya tepat disisi Brighita. Ia berbaring miring dengan sikunya sebagai tumpuan agar mampu melihat wajah Brighita. Jemarinya menyingkap anak rambut yang mengahalangi Dylan untuk melihat wajah damai Brighita. Beberapa menit telah berlalu. Setelah puas memandangi wajah Brighita, Dylan menunjukkan kembali wajah tegasnya. Berjalan keluar kamar, Dylan berhadapan tepat dengan Irham.  "Siapkan pakaian untuknya nanti malam." setelah perintahnya terucap. Dylan melanjutkan langkahnya. Sebelum itu, smirk evil terpancar dari wajah tampannya. Membayangkan wajah Brighita, Dylan bersumpah bahwa tidak akan ada jalan keluar bagi gadis itu. Seperti apa yang telah menjadi prinsipnya, jalan masuk terbuka dan jalan keluar akan selalu tertutup. Bukan karena Dylan mencintai gadis itu, melainkan itu hanya sebuah prinsip yang tidak mampu di ubah oleh siapapun.  Langit malam New Zealand terpancar cerah tanpa adanya awan hitam yang menyelimuti.  Dalam sebuah ruangan yang cukup besar, Brighita menatap pantulan dirinya di cermin. Sore tadi, seorang maid memberikan sebuah gaun untuk ia kenakan malam ini. Tanpa mengetahui apapun, Brighita hanya menurut saja. Sebuah dress tanpa lengan dengan panjang hingga lutut  berwarna putih, menyatu dengan tubuhnya yang sempurna. Tatan rambut yang di gerai secara bergelombang, di tambah make up sederhana dengan sentuhan warna lipstik yang senada dengan warna asal bibirnya. Gurat kesedihan mulai timbul di mimik wajah Brighita. Niatnya untuk menikmati hidup di negara orang lain kini sirna sudah. Ada sedikit rasa senang ia bisa bertemu Dylan. Namun sedikit pula ia merasa menyesal telah bertemu Dylan.  Entahlah, Brighita jadi pusing sendiri bila harus memikirkannya. Ketukan di pintu menyadarkan lamunan Brighita. Disana sudah berdiri Dylan yang selalu terlihat tampan dalam setiap kondisi apapun. Dan malam ini, Dylan sejuta kali tampak lebih tampan dengan setelan jass mahal. "Hey girl." Brighita tercekat mendengar suara penuh penekanan pria itu. Ternyata ia sudah lama memandangi wajah Dylan. Pesona Dylan memang tak dapat teralihkan. "Kenapa sir?" katanya. "Tidak ada. Sudah waktunya untuk kita keluar." Brighita menatap sekali lagi penampilannya di cermin. Setelah puas, ia berlalu terlebih dahulu melalui Dylan yang termenung. Dylan. Pria itu menghela nafasnya. Sedari tadi ia menahan hasratnya untuk memuji Brighita. Oh yang benar saja, seorang Dylan takkan pernah mau memuji para gadis. Tapi kali ini, Brighita begitu luar biasanya menawan.  Dylan dan Brighita berjalan beriringan menuruni tangga. Pesta pertunangan Clark nampak mewah dan elegant. Brighita menciut saat melihat para tamu undangan yang berasal dari kalangan atas. Pasalnya ini pertamakalinya ia berada di tempat seperti ini. Dylan menggandeng tangan Brighita dan mengajaknya kearah James yang tengah berbincang dengan para mitra bisnisnya. Kehadiran Dylan di sambut hangat oleh sang kakek. Namun pandangannya terus tertuju pada gadis di samping cucunya. Yakni Brighita. "Halo Mr. Jordan." sapa salah satu mitra bisnis James. Dylan membungkukkan sedikit badannya seraya tersenyum hormat. "Jojo, siapa gadis yang kau bawa?" James tak mampu menahan rasa penasarannya itu langsung beratanya pada intinya. Sebelum menjawabnya, Dylan sempat memberikan tatapan datar ke arah James sebelum tatapan itu berganti dengan tawa hangat di wajahnya. "Grandpa James, perkenalkan dia Brighita. Kekasihku." Brighita melotot tak percaya. Sejak kapan ia menjadi kekasih seorang om-om. Oh ayolah. Meskipun Dylan sangat tampan, tapi tetap saja, Dylan terlalu tua untuknya. Berbeda dengan reaksi terkejut yang di tunjukkan oleh Brighita. James justru senang mendengar kabar seperti itu dari sang cucu. "Bagus sekali. Kekasih mu sangat cantik. Apa dia keturunan indo-cina?" puji James. Brighita tersipu mendengar pujian dari pria yang masih terlihat berwibawa di saat umurnya tak bisa dikatakan muda lagi. "Ayah dan ibu saya asli orang Indonesia Grandpa." ingin rasanya Brighita menabok mulutnya sendiri. Ohh... Sekarang ia memang sudah memasuki skenario yang di buat oleh Dylan. "Oh iya, kapan kalian akan menikah?" Brighita tak mampu menahan keterkejutannya. Dylan justru menahan tawa saat melihat ekspresi Brighita yang nampak cute baginya. "Secepatnya Grandpa." balas Dylan sebelum akhirnya mengakhiri percakapan singkat itu. Brighita duduk di meja bar yang tersedia di sudut pesta. Tatapannya sekilas melihat dua insan yang menjadi pemilik acara itu. Mereka tampak serasi dengan sang pria yang terus melingkarkan tangannya di pinganggang sang wanita possesiv. Brighita tak lagi menghiraukan keberadaan Dylan yang telah menghilang entah kemana. Melihat minuman yang tersaji di hadapannya, Brighita merasakan kering di tenggorokannya. Karena minuman itu yang berwarna jernih serta ada beberapa buih dalam minuman itu, Brighita sama sekali tak merasa curiga. Dalam satu tegukan Brighita meminum minuman itu. Sesaat Brighita merasa tercekik dalam tenggorokannya, pahit serta manis tercampur dalam indra perasanya. Tapi lama-lama minuman itu membuat Brighita makin ingin merasakannya lagi. Tak segan-segan Brigta meminum segelas air itu lagi.  Pandangan Brighita mulai mengabur. Perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pusing. Rasanya Brighita ingin bernyanyi keras-keras. Oh tidak! Brighita ingin menari sekarang. Saat akan berdiri, tubunya oleng dan jatuh kepelukan Dylan yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. "Oho, sir!" pekik Brighita kegirangan. "Kau mabuk?" Brighita tersenyum menunjukkan deretan giginya. Lalu mengangguk dengan polosnya. "Kurasa yang kuminum itu sangat aneh." adu Brighita layaknya anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya. Dylan menghela nafas. "Berapa yang kau minum?" "Dua. Hanya dua. Hehehe.." "Kita harus kembali." menyadari keadaan Brighita yang tidak bersahabat dengan alkohol, Dylan lebih memilih kembali kemarnya dari pada melanjutkan pesta. "Oke kekasihku sayang. Hihihi... Rasanya menggelikan." racau Brighita. Dengan tertatih-tatih di pelukan Dylan Brighita bersenandung. Hingga ia terasa mual. "Hueeekkkk!" Brighita memuntahkan isi perutnya. Untunglah Dylan berinisiatif melewati sisi mansion, sehingga kini Brighita muntah di sisi luar mansion. Dylan ikut berjongkok disisi Brighita sambil menepuk punggung Brighita. Setelah merasa enakan, Brighita menunjukkan tatapannya yang terasa menggelap. Melihat itu, Dylan melepaskan jas miliknya dan memakaikannya pada pundak polos gadis itu.  Setelah sampai di kamar, Dylan menidurkan Brighita dengan perlahan. Selesai melepas high heals serta menyelimuti tubuh Brighita Dylan beranjak pergi. Namun sebuah genggaman menghentikan langkahnya. Disana Brighita terduduk menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. "Sir. Bukankah kita seorang kekasih? Lalu kenapa kau tidak tidur disisiku?" Dylan menaikkan sebelah alisnya bingung. Namun tanpa menunggu lama Dylan menuruti permintaan gadis itu. Toh jika paginya Brighita akan marah, Dylan memilik alibi bahwa itu bukan keinginannya. Dylan ikut masuk kedalam selimut berikut juga Brighita yang memeluknya saat tidur. Usapan serta kecupan yang di berikan Dylan pada puncuk kepala Brighita membuat gadis itu terasa nyaman. Selama semalaman mereka tidur dengan saling memeluk satu sama lain. Tok!Tok!Tok! Dylan menggeliat saat mendengar ketukan. Pandangannya jatuh pada Brighita yang masih menikmati tidurnya. Tak ingin gadisnya terganggu, Dylan manarik selimut agar lebih tinggi dan memberikan tepukan menenangkan pada bahu Brighita. Irham masuk saat dirasanya majikannya itu memperbolehkannya masuk. Adegan yang tak biasanya di saksikannya saat majikannya itu memperlakukan seorang gadis dengan begitu hangat membuat Irham terkejut. "Pagi sir. Mr. James beserta Mr. Clark dan juga tunangannya telah menunggu anda di ruang makan." "Katakan padanya aku tidak ikut makan bersama mereka." balas Dylan tanpa melihat kearah Irham. Irham keluar setelah mendapat jawaban dari majikannya itu. "Eunghh.." Brighita mengeratkan pelukannya. Dylanpun ikut melanjutkan tidur paginya bersama Brighita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD