Chapter 4

2542 Words
Brighita menatap lautan di hadapannya. Hamparan angin menerpa rambut wajahnya. Ia tak habis pikir dengan apa yang telah dilakukannya. Pagi tadi Brighita merasa syok saat mendapati dirinya tertidur dengan Dylan. Bahkan dengan santainya Brighita memeluk erat tubuh Dylan. Huffttt....  Saat ini Brighita berada di sebuah yatch milik Grandpa James. Entah kemana Dylan akan membawanya pergi. Brighita terlonjak saat dirasanya sebuah tangan melingkari pinggangnya. Bahkan Brighita mencium aroma parfum pria yang selalu memabukkannya. Tentunya bukan hanya dirinya, setiap wanita pasti akan terhanyut saat menciumnya. Bahkan teman-teman prianya tak ada yang lebih wangi dari ini. Aroma berbeda yang memberikan kesan tersendiri. Dylan menyandarkan dagunya pada pundak Brighita. Menghirup dalam-dalam aroma gadis itu. "Apa yang kamu lakukan pretty girl?" "Menurutmu apa sir? Aku hanya sedang meratapi nasibku yang kau kurung." "Apa menurutmu kau merasa seperti sedang terkurung?" Brighita terdiam sesaat. "Tidak juga. Aku hanya merasa ini tidak sesuai exspekstasiku." Dylan memutar tubuh Brighita untuk menghadapnya. Jarinya terulur menyingkirkan anak rambut Brighita. "Semua hal memang tak bisa seindah bayangan kita Tata. My Pretty Girl." Pandangan Brighita terpaku pada mata Dylan yang terasa mengayomi dirinya. Bahkan ia tak sadar Dylan telah memanggilnya menggunakan nama kecilnya. "Hmm.. Apa yang kamu rasakan?" Tanya Dylan. "Sir. Aku ingin memelukmu." lirihnya. Seulas senyuman terpatri di wajah Dylan. Detik berikutnya Dylan membawa Brighita kedalam rengkuhannya. Memeluk tubuh Brighita dengan erat. Seakan waktu tak bisa merebut gadisnya. Dylan melonggarkan pelukannya setelah satu menit berlalu. Mereka saling menatap menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Hingga bibir tebal Dylan menempel pada bibir cerry pink Brighita. Brighita menikmati saat Dylan menempelkan bibirnya. Jantungnya terasa berdetak tak karuan. Serasa di terbangkannya keangkasa raya. Sungguh ia benar-bebar terbuai hanya dengan sebuah kecupan Dylan. Merasa Brighita tak menolak, Dylan semakin berani untuk melanjutkan aksinya. Di tariknya tengkuk Brighita untuk memperdalam ciumannya. Dari kecupan menjadi sebuah lumatan. Dylan merasakan kakunya Brighita saat membalasa ciumannya. Mungkin ini pertama kali baginya. Biasanya, Dylan merasa jenuh saat mencium pemula. Tapi lain halnya dengan Brighita. Dylan merasa kecanduan dengan bibir Brighita yang terasa manis untuknya. Semanis madu. Brighita terengah saat Dylan melepaskan ciumannya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya serta menetralkan detak jantungnya. Dylan memang seorang Good Kisser. Brighita pikir, adegan panas telah berakhir. Namun tanpa di duga, Dylan menarik tubuh Brighita untuk menempel dengannya. Dengan cepat dan rakus melumat bibir Brighita kembali. Sungguh Dylan tidak bisa menghentikan kegilaan ini. Brighita benar-benar menakutkan saat dirasakan. Seolah nalurinya berkata, Brighita bertindak mengalungkan kedua tangannya keleher Dylan. Menikmati alur yang di buat oleh Dylan.  Tangan kanan Dylan tergerak membuka pintu kamar yang ada di yatch. Mereka terus berciuman tanpa ada niat untuk menghentikannya. Brighita terbawa nafsu sehingga tak menyadari Dylan telah membawanya ke dalam sebuah kamar. Tak perlu hitungan detik, keduanya telah terbaring di atas ranjang dengan Dylan menindih tubuh mungil Brighita. Keduanya terus berciuman, melumat dan merasakan bibir dari masing-masing. Ciuman Dylan terhenti saat akan turun keleher Brighita. Mereka disadarkan saat ketukan pintu terdengar dari arah luar. "s**t!" kesalnya. Dylan bangkit berjalan kearah pintu. Siapa orang yang telah mengganggu kesenangannya. Brighita menghela nafasnya kasar. Dadanya naik turun saat sadar apa yang telah dilakukannya. "Tata. Kamu gila! Kamu gila! Hahhhh..." Tata mengusap wajahnya kasar. Kedua tangannya masih setia menutup wajahnya. Rasa malu menyeruak dalam dirinya. Setelah satu jam menempuh perjalanan laut. Akhirnya mereka sampai pada sebuah pulau. Di pulau tersebut, sebuah mansion megah berdiri kokoh di antara hutan belantara. Terdapat juga tanah lapang yang sangat luas. Brighita tak mamapu untuk berkedip saat melihat interior mansion. Benar-benar layak di sebut sebagai istana. Sejak kejadian tadi, Dylan dan Brighita sama sekali tak berbicara apapun. Keduanya seolah tutup mulut, berkompromi untuk tidak membahas masalah tadi. Dylan terhenti saat mendapati gadis yang sangat di kenalnya duduk di mini bar sembari meminum segelas soda. "Lana!" gadis itu menoleh. Memeberikan senyuman hangatnya pada Dylan. Dylan menghampiri Lana dan memeluk gadis itu erat. Seolah mereka baru di pertemukan setelah beberapa tahun tidak bertemu. Hati Brighita sedikit tertusuk jarum saat melihat seorang wanita di mansion ini. Entah kenapa ia merasa sedih melihatnya. Brighita mencoba mengenyahkan perasaan cemburu yang saat ini bersarang di dirinya. "Sejak kapan kau ada disini?" tanya Dylan. Setelah melepaskan pelukannya. "Aku memang berada disini. Kalian tega menelantarkanku sendirian. Apa kau tau sudah berapa banyak negara yang aku kunjungi! Kau juga tidak menghadiri wisudaku setahun lalu! Aku benci padamu!" kesal Lana menceritakan hidupnya beberapa tahun ke belakang. Dylan tertawa. Bahkan tawanya membuat Brighita tercengang tawa yang begitu alami yang pernah dilihat dari seorang Dylan. Seolah gadis itulah yang menjadi pusat bahagianya Dylan. "Jo. Dia siapa?" tunjuk Lana pada Brighita. Saat baru menyadari keberadaan gadis itu. "Dia.." "Aku pacarnya." ucapan Dylan terpotong dengan suara lantang Brighita. Lana mengeryit menyaksikan penampilan Brighita daria atas sampai bawah. "Jo, dia benar pacarmu? Apa kau gila! Kau mengencani seorang bocah!" Rahang Brighita seolah terjatuh mendengarnya. Dia bukanlah seorang bocah. Ia hanya baru lulus sma saja. Seolah tak ingin terintimidasi dengan tatapan Lana, Brighita balas menatap tajam Lana. "Aku sudah pernah berciuman, dan juga aku telah berpacaran sebanyak 7 kali, di tambah tiga diantaranya hanya teman kencan saja." "Oh hanya itu? Aku sudah berkencan beberapa kali, oho bahkan aku tak ingat berapa jumlahnya." Lana menyibakkan rambutnya kebelangkang. Brighita tersulut emosi. Belum sempat ia membalas, Dylan menengahi perdebatan mereka. "Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Lana perkenalkan dia Brighita, dan Tata, dia adalah Dylana, adikku." Brighita memejamkan matanya, ia meresa syok mendengarnya. Apa ia baru saja cemburu dengan adik Dylan sendiri? "Berapa umurmu?" tanya Lana. "Aku 19tahun." jawab Brighita membalas tatapan Lana tanpa takut. "Meski kau kekasih dari kakakku Jo, aku tidak akan memanggilmu kakak ipar. Aku tetap lebih tua darimu, jadi kau harus panggil aku kak Lana. Mengerti?" "Dia tidak akan pernah memanggilmu kakak. Percayalah. Dia sama sepertimu, tidak akan mau memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan kakak." balas Dylan memberitahukan. Dylan berjalan meninggalkan Lana menuju ke lantai tiga. Brighita mengikuti Dylan dari belakang. Sedikit terkejut saat mengetahui mansion ini mememiliki sebuah lift. Benar-benar layak di sebut istana. Mereka sampai di sebuah kamar yang di d******i dengan warna abu-abu. Bingung kemana ia harus pergi, akhirnya Brighita memilih mengintili Dylan. Berdiri kaku di depan pintu, dan terus memperhatikan Dylan yang melepaskan jam tangan mahalnya. Brighita merasa terabaikan. "Apa kau tidak ingin masuk." Brighita tak langsung menjawab. "Sir. Apa kita akan menginap disini?" tanya Brighita. "Heem." Dylan menoleh sejenak menanggapi. "Kita berdua? Di kamar ini? Satu ranjang?" Mata Brighita terbuka lebar mengatakannya. "Tentu saja. Kita sudah pernah melakukannya kan?" goda Dylan. Ia tertarik melihat raut muka merah Brighita. "Melakukan apa maksudmu? Kita tidak pernah melakukan itu!" sangkal Brighita kesal. Tanpa ia sadari, akibat kekesalannya itu, Brighita berjalan masuk dan merebahkan dirinya di atas kasur secara kasar. Dylan mendekati Brighita. Berdiri tepat di hadapan gadis itu. Mencondongkan sedikit wajahnya kedepan. "Apa kau mau mencobanya!" Dylan tersenyum miring mendapati wajah tegang Brighita. "Jangan pernah berpikiran untuk melakukan itu denganku. In your dream sir!" tekan Brighita tak ingin di anggap dirinya lemah. "Oh ya? Kau sudah pernah berciuman, berpacaran sebanyak 7 kali, serta tiga diantaranya hanya teman kencan. Tapi apa kau masih perawan?" seringaian evil muncul di wajah tampan Dylan. Tubuh Brighita menegang. Tapi Brighita mencoba untuk bersikap santai menghadapinya. "Apa itu penting bagimu? Jika aku masih perawan apa kau akan mengambil keprawananku sekarang? Dan jika tidak, apa kau akan membuangku layaknya pelacurmu?" balas Brighita menatap tepat mata Dylan. "Apa yang akan kulakukan terhadapmu setelahnya itu terserah padaku. Apa kau mengerti?" jemari Dylan menyentuh permukaan kulit wajah Brighita. Mengelusnya dengan pelan. Brighita tak mampu merasakan maksud dari sentuhan itu. Baginya, itu sebuah ancaman untuknya. Tapi kenapa Dylan mengancamnya. _________ Lana menatap tajam Irham yang duduk di hadapannya. Pria itu tetap fokus pada ponsel miliknya tanpa memerdulikan kehadiran Lana di depannya. Apa ponsel itu lebih menarik dari pada Lana gadis cantik yang telah di abaikannya. "Irham? Kau sudah tau bahwa aku benci di abaikan?" sungutnya. Seketika itu pula, pandangan Irham bertemu dengan mata hitam milik Lana. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Reaksi yang selalu di berikan saat matanya selalu bertemu pandang dengan Lana. "Maaf nona." kata Irham lalau kembali fokus pada ponselnya. "Lagi? Aku tidak butuh permintaan maaf mu! Sudah beberapa tahun kita tidak bertemu, dan apa yang kau lakukan sekarang? Kau mengabaikanku! Jika tau akan seperti ini, lebih baik aku tidak usah kembali sampai kapanpun!" cairan bening keluar dari manik mata Lana tanpa ia sadari. Alasan kenapa ia berada disini saat ini adalah untuk menemui cinta pertamanya. Irham. Tapi pria itu justru tak peduli. Lana berdiri dari duduknya. Menatap kecewa Irham yang masih setia menatap ponselnya. Sebuah tarikan di tangannya membuat Lana menabrak d**a bidang yang selalu memberikan kenyamanan terhadapnya. Matanya terpejam dan air mata terus mengalir tanpa dapat ia tahan. Irham memeluk Lana begitu erat. Rasa rindunya telah lama ia pendam. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan Lana, Irham ragu ingin langsung membawa gadis itu kedalam pelukannya. Namun setelah mendengar nada lirih gadis itu barusan, perasaan dalam diri Irham meledak seketika. Mengalahkan rasa canggungnya. "Maaf kan aku.." Irham mengelus surai panjang Lana. "Aku mencintaimu." isak Lana dalam pelukan Irham. Masih tak ada jawaban. Persis seperti tahun terakhir mereka bertemu. Irham sama sekali tak pernah membalas perasaannya. "Aku turut miris melihat hubungan kalian." tutur Dylan melewati kedua pasang manusia yang tengah berpelukan. Tenggorokannya terasa kering, ia berencana untuk mengambil minuman tapi justru malah di suguhkan sebuah drama picisan. Irham melonggarkan pelukannya dan menatap Dylan datar. Sedangkan Lana menatap berang Dylan yang telah mengganggunya. "Oo. Kau tak boleh menatapku dengan tatapan datarmu itu. Aku ini boss sekaligus calon kakak iparmu." prostes Dylan pada Irham. Irham berdecak. Sudah menjadi rahasia umum bila Irham adalah sahabat baik Dylan. Bagi mereka yang tidak mengetahui Dylan, Irham hanyalah orang kepercayaan Dylan. "Ada yang ingin aku tanyakan. Bagaimana dengan kondisi bisnis perhotelan yang kau bangun?" "Cukup baik. Ingat setelah aku berhasil membangun kerajaan bisnisku sendiri, semua sikap memerintahmu akan aku balas." ancam Irham. Dylan tertawa. "Hahaha. Dan ingat, saat itu terjadi aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian!" ucap Dylan balik mengancam. "Jojo!" bentak Lana tak terima. "Hahaha.. Aku hanya bercanda adikku. Apa kau tidak berencana untuk membangun bisnis kuliner? Kau harus berani mengembangkan bisnismu kenegara tetangga. Aku yakin dengan itu ayahku akan sedikit memberikan restunya terhadap hubungan kalian. Aku akan menyuruh Clark untuk menjadi investormu." "Tidak usah, kau sudah banyak membantuku Jo. Aku yakin tuan Virgoven tidak akan setuju bila mengetahui hal ini." Mendengar kata Irham barusan, Lana merasa sedih mengetahui beban yang dipikul oleh Irham seorang diri. Ini semua karena jarak memisahkan mereka berdua. Seharusnya Lana terus berada di sisi Irham saat kondisi Irham sedang terpuruk. "Siapa bilang aku membantumu. Akau hanya sedang membantu adikku yang manja itu. Aku tidak suka mendengarnya saat merengek dengan menyebut nyebut namamu. Irham... Irham..." kata Dylan mengikuti nada suara cengeng Lana. "Dylan Jordan! Kau sangat menyebalakan." geram Lana. Beberapa obrolan terus berlanjut. Baik itu sebuah topik yang serius maupun obrolan ringan serta candaan yang keluar, suasana selalu tampak hidup dengan kehadiran Lana. 'DOORRRRRR!!!!'  "AKHHHHHH!!"  Suara tembakan yang di barengi suara triakan membuat semua mata menatap kearah lantai atas. Dimana terdapat Brighita di dalamnya. "Tata! s**t!" umpat Dylan dan segera berlari ke tempat Brighita berada. Diikuti Irham dan Lana di belakangnya. Disana, Brighita meringkuk di pojok ruangan dengan kedua tangan menutupi kedua telinganya. Seorang pria asing telah berhasil memasuki kamarnya melalui kaca jendela yang telah menjadi bahan tembakan. Pria itu menodongkan kedua tangannya yang memegang pistol. Satunya ia todongkan kearah Brighita. Dan satunya lagi ia todongkan kearah Dylan. "Aku akan membunuhmu sekarang juga." katanya pada Dylan. Seolah tak merasa takut dengan ancamannya, Dylan justru bergerak maju kearah pria itu. Saat pria itu akan menarik pelatuknya, Dylan terlebih dahulu melumpuhkan orang itu. Mengambil kedua pistol yang ada di tangannya. "Siapa yang menyuruh pembunuh bayaran tengik sepertimu untuk membunuhku!" Ucap Dylan tajam serta mengarahkan pistol kekepala pembunuh itu. "Delano Siregar."  DOORRR!  Dylan menembak kepala pembunuh itu setelah mengetahui siapa yang telah berani mengusiknya. Lana menutup kedua matanya, tak berani menatap sang kakak yang telah membunuh seorang manusia. Mengerti dengan situasi Lana, Irham mengajak Lana untuk meninggalkan tempat itu. Brighita menatap kosong Dylan. Dahi serta rahang pria itu sedikit terkena cipratan darah. Melihat Dylan menghampirinya, Brighita sama sekali tak bergeming dari duduknya. Ia baru saja melihat pembunuhan dihadapannya. Dan itu cukup membuat diri Brighita terguncang. "Apa dia sempat menyentuhmu." Dylan menyentuh lengan Brighita yang terasa dingin dan bergetar saat di sentuhnya. "Kenapa kau membunuhnya sir." ucap Brighita. Suaranya terdengar begetar syarat akan ketakutan. "Jawabannya hanya satu, membunuh atau di bunuh. Dan aku memilih membunuh." Dylan berucap datar tanpa ekspresi. "Apa kau harus membunuhnya." lirihnya. "Itu bukan urusanmu. Cepat bangun dan janga bersikap dramatis." ucapan tajam Dylan membuat Brighita terluka. Tanpa sadar ia menitikkan air mata. "Dramatis? Aku hanya remaja berumur 19 tahun, remaja yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di jenjang sma. Melihat kucing terbunuh saja aku tak mampu! Dan sekarang aku menyaksikan dihadapanku seorang manusia terbunuh!" teriak Brighita. Dylan berdiri menyunggingkan senyumnya.  "Kenapa aku baru sadar. Kau hanyalah seorang bocah yang tak berguna. Yang mencoba kabur saat akan di jodohkan dengan seorang pria brengsek." setelah mengucapkan itu, Dylan pergi meninggalkan Brighita yang telah menangis tergugu. Perkataan Dylan berhasil menohok hatinya. Apa yang dikatakan Dylan sangat kejam baginya. "Hiks.. Ma.. Brighita ingin pulang. Brighita rindu mama... Hiks..." isaknya. Bagaimanapun Brighita hanyalah seorang gadis remaja yang memang masih butuh perlindungan seorang ibu. Brighita masih terisak dalam tangisnya. Hingga waktu berjalan setengah jam lamanya. Ketukan di pintu membuat Brighita menoleh. Lana menatap iba Brighita. "Hey bocah. Ayo, disini tidak aman untukmu. Sebaiknya saat ini kau tidur di kamarku saja." ajak Lana. Brighita hanya menurut saat tubuhnya yang terasa lemas di tuntun oleh Lana. Sesampainya di kamar, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Brighita. Ia hanya duduk dengan kepala yang ia sandarkan pada kepala ranjang. Serta kedua kakinya ia tekuk. Tatapannya kosong menatap keluar jendela. Lana hanya sekilas memperhatikan keadaan Brighita. Wajah gadis itu nampak pucat pasi. Lana mendesah kasar. Ini semua ulah kakaknya. Namun Lana bisa apa? Ia memang tak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiran kakaknya itu. Waktu berlalu begitu cepat. Hingga siang telah bergilir menjadi malam. Brighita masih setia dengan keterdiamannya. Ia ingin pulang. Ia rindu dengan mama dan daddy nya. Meski Brighita kecewa dengan Daddy nya, ia tetap merindukannya. Bagaimanapun tidak ada yang namanya mantan ayah ataupun mantan anak. Brighita ingin menjauhi Dylan. Setelah kejadian itu, Brighita merasa takut akan sisi lain dari Dylan. "Makanlah." ucap suara yang telah begitu di kenalnya saat beberapa hari yang telah ia lalui di New Zealand itu membuat Brighita melirik kearah Dylan. Dylan membawakan nampan berisi makanan serta minuman mineral itu mendudukkan dirinya di hadapan Brighita. "Makanlah. Jangan membuat dirimu sakit akibat masalah sepele seperti itu." kata Dylan. Mendengarnya, membuat Brighita yakin untuk pergi secepatnya. "Aku ingin pulang." Melihat tatapan Dylan yang berubah menjadi tajam, membuat Brighita menciut seketika. Tapi ia tetap akan pulang, ia akan mencoba untuk melawan rasa takutnya untuk menghadapi Dylan. "Aku tidak akan membiarkanmu untuk pergi dari negara ini. Bahkan dari kamar ini sekalipun." ucap Dylan tajam. "Maksudnya aku di kurung? Aku bukanlah budakmu sir! Aku ingin pulang! Ku mohon kembalikan semua barangku. Aku tidak akan meminta uangmu untuk pulang ke negaraku." Brighita berucap lemah. Semua tenaganya seolah terkuras habis. Ia belum makan saat siang tadi. "Sampai kapanpun, jangan harap kau bisa keluar dari tempat ini." tekan Dylan. Lalu pergi dengan perasaan marah. Semuanya terasa berat bagi Brighita hingga pandangannya mulai mengabur. Dan kesadarannya perlahan mulai hilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD