Part 2. Suami Istri

1079 Words
“Du. Kamu yakin?” Meskipun Nada menginginkan pernikahan dan dialah yang menawarkan hubungan itu kepada Pandu lebih dulu, tapi setelah Pandu menyanggupinya, justru dirinyalah yang tampak ragu. “Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa mencintaimu? Bagaimana kalau pada akhirnya kamu terluka dan hubungan persahabatan kita justru putus?” Tidak bisa disembunyikan rasa takut yang ada di dalam hati Nada. Dia menatap lekat Pandu. Sahabatnya yang begitu baik dan selalu sabar menghadapinya. Jujur saja, jika dibandingkan dengan Vino, Pandu jelas lebih dari segalanya. Pandu lebih sukses dari Vino, lebih tampan dari Vino, dan tentu saja lebih baik dari Vino. Jika dia menyia-nyiakan Pandu, apakah dia akan bertemu dengan lelaki yang lebih baik dari Pandu? “Sekarang aku tanya, hubungan pernikahan seperti apa yang akan kita jalani?” Pandu memutus pikiran-pikiran seliweran di dalam kepala Nada. “Kita akan menjalani sampai akhir, atau kamu hanya akan berhenti ketika pada akhirnya mendapatkan orang lain yang bisa menggantikan Vino? Berikan aku kejelasan.” “Tidak bisakah kita hanya perlu menjalani?” Nada menatap Pandu dengan penuh kesungguhan. “Apa yang terjadi di masa depan, biarlah itu menjadi sebuah rahasia.” Tidak ada kepastian dalam hubungan mereka. Nada tidak berani mengambil langkah dengan berjanji kepada Pandu untuk berusaha mencintai lelaki itu. Tentu saja hal itu akan merugikan Pandu. Tapi Pandu adalah Pandu. Dia menerima ajakan gila dari Nada untuk menikah hanya semata untuk menutup luka yang baru gadis itu dapatkan dari si mantan kekasih. “Oke. Ayo kita menikah,” ulang Pandu dengan sungguh-sungguh. “Aku akan mengatakan kepada orang tuaku untuk segera melamar kamu.” Persetujuan itu membuat pernikahan akan benar-benar dilakukan. Orang tua Pandu sudah mengenal Nada dengan baik, pun dengan orang tua Nada yang sangat menyukai Pandu. Berharap hubungan Pandu dan Nada akan berlanjut pada sebuah keseriusan sampai pada pernikahan. Ketika Nada mengatakan jika dia akan menikah dengan Pandu, tentu saja orang tuanya bahagia luar biasa. Mereka bersyukur karena menganggap jika anaknya sudah menyadari cintanya kepada Pandu. *** “Apa kita akan pisah kamar?” Nada terdiam ketika mendengar pertanyaan dari Pandu. Mereka sudah ada di dalam rumah Pandu setelah resmi menjadi suami istri. Satu bulan setelah kejadian menyedihkan saat itu, pernikahan segera dilakukan. Kecuali Nada dan Pandu, tidak ada yang tahu jika mereka menikah bukan karena cinta tapi karena hal lain. “Kamar utama luas nggak?” tanya Nada. “Kalau memang cukup untuk berdua, kita satu kamar aja.” Pandu tidak mengambil pusing dengan pertanyaan istrinya dan segera mengajak Nada untuk ke kamar utama di lantai dua. Rumah itu tak begitu besar. Tapi tidak perlu diragukan lagi bagaimana bersihnya tempat itu. Pandu adalah penganut kebersihan yang kental. Penataan ruangannya pun sangat rapi. Dengan nuansa cat berwarna abu-abu, rumah itu terasa nyaman. Di ruang keluarga ada satu set sofa berwarna abu-abu tua yang terletak tepat di depan meja televisi. Ada satu tanaman kaktus di dalam pot yang diletakkan di sudut ruangan. Jendela kaca tertutup gorden berwarna abu menambah kesan elegan. Ruangan itu benar-benar didominasi warna abu-abu bersih. “Ini kamar kita.” Pandu mempersilakan Nada masuk dan kali ini warna putih mendominasi. “Kamu bisa menata baju-baju kamu di lemari bagian kiri.” Pandu menunjuk pada lemari panjang di sisi kiri ruangan. “Kalau lemari itu nggak muat, aku akan belikan lemari baru buat kamu.” “Nggak usah. Bajuku nggak sebanyak itu.” “Oke. Aku akan ke bawah dulu.” Nada hanya menatap kepergian Pandu sebelum pintu kamar tertutup rapat. Nada menyisir ruangan itu dengan tatapannya sebelum dia berjalan ke arah balkon dan berdiri di sana. Dia tak peduli dengan tata letak barang-barang di kamar tersebut. Menumpukan kedua tangannya pada pembatas balkon ada banyak pikiran yang muncul di dalam kepalanya. Mulai dari putus cintanya dengan lelaki yang dicintai sampai ide konyol yang ditawarkan kepada Pandu. Dan bodohnya, Pandu justru menerimanya tanpa berpikir panjang. Sekarang Nada berpikir, bagaimana kelanjutan hubungan konyol ini akan dilalui. Bagaimanapun Pandu adalah lelaki normal. Dia pasti akan meminta haknya sebagai seorang suami. Tapi dia bahkan bingung cara melayani lelaki yang bahkan tidak dia cintai. “Nad!” Nada berjengit kaget mendengar suara memanggilnya. Pandu sudah ada di dalam kamar dan tengah membuka lemari baju. Nada hanya memerhatikan lelaki itu tanpa mengatakan apa pun. “Mau makan di luar atau order aja?” Satu kaos ditarik dari tumpukan baju di dalam lemari. Tanpa permisi lelaki itu melepas kemeja putih yang dipakainya dan menggantinya dengan kaos polo hitam. Nada menarik napas panjang melihat pemandangan indah di depannya. Tubuh atletis Pandu terlihat cuma-cuma. Tidak ada lemak yang menggelambir di perut lelaki itu. Nada adalah perempuan normal. Tak bisa dipungkiri pemandangan seperti itu adalah satu hal yang disukai. “Kalau aku mau keluar, kamu mau?” Nada masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggir ranjang. Kini Pandu masuk ke dalam kamar mandi dan tak lama keluar lagi. Celana panjangnya sudah berganti celana pendek. “Boleh. Tapi aku mau tidur dulu. Ngantuk banget.” Pandu tidak basa-basi saat naik ke atas kasur, memeluk guling, lalu masuklah dia ke alam mimpi. Selama Nada mengenal Pandu selama ini, tidak sekalipun gadis itu melihat sahabatnya itu tampak kekanakan di matanya. Tapi sekarang, lelaki itu seolah adalah sesuatu yang lain. Bertindak seperti tidak ada kecanggungan yang dirasakan padahal Nada ada di kamarnya dan sekarang bukan lagi menjadi sahabat melainkan istrinya. Menggeleng pelan, Nada memilih memindahkan pakaiannya dari koper ke dalam lemari. Tidak banyak barang yang dibawa kecuali hanya dua koper berukuran sedang. Dia dia membutuhkan barangnya yang lain, dia hanya perlu mengambilnya di rumah. Toh jarak rumah orang tuanya dengan rumah Pandu tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu setengah jam perjalanan. “Mau makan apa?” Sudah pukul tujuh malam, mereka akhirnya keluar dari rumah dengan motor bebek kebanggaan Pandu. “Enaknya makan apa ya, Du?” “Kalau udah laper begini, apa aja ayok lah.” Pandu menyusuri warung tenda yang ada di pinggir jalan dengan sungguh-sungguh. Matanya dengan teliti membaca tulisan yang ada di spanduk. “Soto Lamongan, Du. Enak kayaknya yang kuah-kuah.” “Gas!” Nada tersenyum sebelum mengencangkan genggaman tangannya pada celana Pandu bagian depan. Sudah menjadi kebiasaan kalau dibonceng oleh lelaki itu. Meskipun sekarang keduanya sudah menikah, sebisa mungkin tidak ada kecanggungan yang terlibat. Begitulah Pandu bilang tadi. Lelaki itu ingin Nada tetap nyaman di sampingnya meskipun hubungan mereka sudah berganti nama. Mereka masuk ke dalam warung tenda soto Lamongan. Sayangnya, atmosfer yang terjadi di sekitar Nada menjadi beku ketika melihat orang yang duduk di salah satu kursi dan tengah menatapnya. “Nada!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD