SATU (Zanna's POV)

3267 Words
“Tadaa!!!” Seruku dengan penuh senyuman sambil menyodorkan kotak bekal yang berisi nasi goreng untuk Rey. Walaupun Rey masih menatapku dengan tatapan datar, aku tetap berusaha seceria mungkin. Lalu aku melanjutkan ucapanku. “Hayo coba tebak ini apa.” Ucap ku lagi yang terdengar sok asik sekali. Ya ampun aku bicara seperti itu seperti bicara pada anak kecil saja. Oke, mungkin masih bisa deh kalau aku bicara dengan orang yang bisa diajak bercanda. Tapi ini Rey dan Rey masih tidak merespon. Rey dengan santainya malah menunjukan tampang tidak pedulinya hanya mengangkat kedua alisnya seakan-akan menandakan bahwa dia sama sekali tidak peduli dengan apapun yang aku bawa. Rey bahkan tidak repot-repot menyembunyikan ekspresi tidak sukanya. Dia terang-terangan memberitahuku bahwa dia tidak suka dengan apapun yang sedang aku lakukan saat ini. Ya ampun aku ingin sekali menertawakan diri sendiri karena apa-apaan sih aku? Untuk apa aku bertanya dan menyuruh Rey menebak apa yang aku bawa? Pfftt... Jangankan untuk menebak, merespon dengan ekspresi senang saja Rey tidak mau. Apalagi menebak. Sepertinya Rey memang berusaha membuatku jera. Tapi entah kenapa aku mempunyai mental yang sangat tebal dan apapun yang Rey lakukan tidak membuatku menyerah sama sekali. Hal yang selalu aku tau sepertinya stok bicara Rey sangat sedikit jadi dia agak malas untuk berbicara dan alih-alih berbicara, dia hanya menaikkan alisnya atau sekedar diam sambil menungguku menjelaskan karena tanpa dia tanya pun, dia tau aku akan menjelaskan maksud dan tujuanku memanggilnya tadi. Tidak mungkin dong aku memanggilnya hanya untuk memanggil saja tanpa ada niat apa pun? Tentu saja ada. “Ini nasi goreng kesukaan Rey. hihi.” Ucapku kegirangan seolah-olah hal itu dapat membuat Rey juga ikut girang. Rey tidak merespon apa pun selain pergerakan alisnya tadi, ia kini hanya menatap kotak bekal sodoran dariku dan aku secara bergantian. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Aku merasa benar-benar tidak diinginkan! Jahat sekali. Huhu… Tapi jangan panggil aku Zanna bila meskipun Rey hanya menatap aku tanpa ekspresi seolah-olah keberadaanku ini benar-benar hal yang paling tidak diinginkan, aku tetap berdiri tegak di barisan pertama. Aku menyebutnya ini sebagai perjuangan. Mungkin lain bila kita mendengar persepsi Rey, mungkin bila kita dengar dari persepsi Rey, apa yang aku lakukan bukanlah suatu perjuangan. Melainkan sebuah tindakan egois dan keras kepala karena selalu mengganggunya tanpa mau mengerti tanda-tanda bahwa Rey tidak suka keberadaanku. Sedih sekali ih mendengarnya. Terkadang aku ingin sekali mempuk-puk diriku sendiri agar lebih kuat menjalani semua ini. “Zanna nyempetin bikin ini karena tau Rey suka nasi goreng.” Ucapku lagi saat tidak kunjung mendapatkan respon dari Rey. Kalau dipikir-pikir aku sudah keluar beberapa belas kata dan Rey masih juga hanya mengeluarkan tiga kata. Dan itu pun hanya berupa “apa lagi, sih?” sebagai bentuk lain dari kalimat “Hadeh, Zanna. Lo lagi lo lagi. Bisa nggak sih nggak usah gangguin gue?” Yap kira-kira begitu. Hmm… Sudah sangat biasa karena kan stok bicara Rey memang sedikit sekali. Apalagi bila lawan bicaranya adalah aku. Bagi Rey kalau bisa dia tidak mengeluarkan satu kata sekali pun. Dari suaraku berbicara tadi, terdengar seperti gadis periang yang tidak kenal takut padahal di depannya ada harimau yang siap menerkam nya kapan saja tanpa kenal waktu dan tanpa kenal siapa yang akan dia terkam. Aku seperti gadis polos pemberani yang tidak takut akan harimau itu dan malah mau mengajaknya menjadi teman. Entah itu adalah suatu tindakan yang polos atau bodoh. Mungkin lebih mengarah ke bodoh. Bedanya hanya tipis, kan? Tidak terlalu banyak bedanya. Setelah hanya berdiam, Rey akhirnya merespon ucapanku dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Aku yang melihat itu hanya menonton Rey. Aku tidak mengerti dengan arti gelengan kepala itu. Apakah artinya dia sebenarnya tidak suka nasi goreng? Atau dia tidak mau menerima nasi goreng? Atau apa? Aku tidak mengerti. Setidaknya harusnya dia memberikan penjelasan. Baru saja aku ingin menanyakan hal itu, tapi detik berikutnya Rey malah melangkah pergi meninggalkanku yang masih dengan posisi semula; menyodorkan kotak bekal untuknya. Dan kemungkinan terburuk pun sekarang terjadi; Rey pergi tanpa mengatakan apapun. “Hei!” Seruku. Aku tidak terima bila dia hanya pergi. Tapi sebenarnya lebih tidak terima dia tidak menerima nasi goreng buatanku karena aku membuatnya penuh dengan perjuangan. “Ini aku di tinggal gini aja, nih?” Ucapku lagi lebih kepada diriku sendiri karena sepertinya Rey tidak mendengarku dengan jarak yang sudah beberapa langkah di depan dariku itu. Ggrrr… “Rey!” Seruku lagi. Kini aku berusaha mencapai Rey yang masih beberapa langkah di depanku. Kaki Rey yang panjang tentu membuatku kesusahan untuk menyusulnya. Jadi aku harus melangkahkan kakiku dengan ekstra lebar. Dasar cowok dingin! Bilang apa kek gitu, jangan langsung ninggalin aja. Nggak sopan. “Halo?” Ucapku lagi berharap orang yang dari tadi aku panggil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. “Zanna bikin ini khusus Rey, tau!” Seruku lagi. “Kok Rey main jalan aja, sih? Nggak sopan ih!” Aku terus mengoceh, aku merasa kesal sekali dengan cowok yang satu ini. Tapi bila aku bilang bahwa dia tidak tau terima kasih, itu sangat tidak mungkin karena memangnya dia menyuruhku untuk memasak ini untuknya? Ya tidak lah. Ini sih salah sendiri kenapa berinisiatif begitu tinggi pada sesuatu yang sebenarnya memiliki kemungkinan ditolaknya tinggi? Aku hanya ingin berusaha melakukan yang terbaik bagi orang yang aku suka. Tidak salah kan? “Rey!” Seruku lagi, kini aku sudah mulai bisa menyusulnya walaupun masih berada di belakangnya. Sekali suapan aja nggak apa-apa deh. Zanna tetep seneng kok. Zanna janji kalo Rey makan ini Zanna nggak bakal--” Ucapanku lagi-lagi terpotong karena tiba-tiba langkah Rey terhenti, membuat langkahku juga terhenti secara mendadak di belakangnya dan akibatnya aku menabrak punggung Rey tanpa sempat mengeremnya terlebih dahulu. “Aw, sakit…” Bisikku ketika merasakan sakit di hidungku akibat menabrak punggung Rey tadi. Aku pun memundurkan langkahku dan menyentuh hidungku yang terbentur tulang punggung Rey. Sementara itu, Rey membalikkan badannya dan berdiri menghadapku. Matanya menyipit, ia menatapku dengan penuh rasa sebal. Mungkin bila Rey disuruh menyebutkan orang yang paling menyebalkan yang pernah ia temui, ia akan menjawab itu adalah aku. Iya, aku memang sangat percaya diri. Tapi sepertinya percaya diriku. “Eh,” Panggilnya padaku dan seketika aku langsung menoleh. Walaupun sebenarnya aku tidak mau menoleh karena dia memanggilku dengan sebutan 'eh'. Maksudku.. Eh? Namaku Zanna tau! Aku itu punya nama dan tidak sopan sekali bila dia hanya memanggilku dengan sebutan 'eh'. Ayah dan ibuku memberikanku nama itu tidak sembarang loh. Arti namaku juga bagus. Arti namaku itu Karunia Tuhan atau hadiah dari Tuhan. Dari web yang aku baca juga Zanna itu juga bisa menebak perasaan orang dengan mudah. Tidak di buat-buat dan unik. Romantis, sensual. Percaya diri, berani dan keras kepala keras kepala. Dan sumpah. Semuanya itu benar kecuali 'bisa menebak perasaan orang dengan mudah' karena aku sepertinya payah akan hal itu. Aku tidak bisa menebak. Aku akui sangat payah sekali untuk menebak perasaan orang lain. Lagi pula aku bukanlah peramal. Jadi aku tidak tau sama sekali perasaan orang lain. Ingin sekali aku menjawabnya dengan jawaban itu. Tapi aku tidak mengatakan apa pun dan hanya terdiam menunggunya melanjutkan ucapannya. “Gue nggak peduli dengan apa yang lo lakuin buat gue. Gue nggak peduli dengan usaha-usaha lo selama ini. Apa gue terlihat peduli? Nggak sedikit pun.” Ucap Rey dingin. Wah... Hatiku rasanya seperti di sobek-sobek mendengar ucapannya. Rey terdiam sebentar, lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kenapa sih lo nggak ngerti-ngerti?” Tanyanya kepadaku. Aku, yang memang sudah terlanjur menyukai Rey, tidak terlalu menghiraukan ucapannya tadi walaupun aku akui itu menyakitkan. “Iya ngerti.” Ucapku seakan-akan aku mengerti dengan apa yang Rey coba sampaikan. "Tapi Rey udah makan belum." Lanjutku lagi mem buat cowok di hadapanku ini geram. “Lo beneran ngerti nggak, sih?” Tanyanya lagi dengan geram. Aku mengedikkan bahuku. Aku juga tidak tau. Aku mengerti, tapi aku tidak mau berhenti. Itu masalahnya. “Rey, Zanna ngerti banget.” Ucapku, kini aku menganggukkan kepalaku berusaha meyakinkan Rey bahwa aku ini memang mengerti kok kalau Rey tidak peduli dengan segala usahaku. Tapi aku kan tidak mau berhenti!” Tapi Rey juga ngerti nggak kalo Zanna tetep mau berusaha dan nggak mau mundur?” Lanjutku lagi. Rey terdiam. Aku bisa melihat dari matanya bahwa ia kehabisan kata-kata. Payah sekali. Baru juga mengeluarkan sedikit kata, sudah kehabisan kata-kata saja. “Rey, ini makanan kesukaan Rey.” Ucapku lagi dengan otak batu ku yang tetap ingin membahas kotak bekal yang ku berikan pada Rey. Ya enak saja kalau Rey tidak menerimanya. Aku sih mengerti dengan maksud Rey. Tapi aku mau dia sekali saja mencicipinya. “Mau makanan kesukaan gue atau nggak, itu nggak penting. Itu bukan concern utama nya.” Ucap Rey dingin. “Kok nggak penting?” Tanyaku balik. Merasa bingung karena dia bilang bahwa makanan kesukaannya itu sudah tidak penting lagi. Apa itu karena aku? “Sumpah gue buang-buang waktu doang di sini sama lo.” Ucap Rey lalu ia hendak melangkahkan kakinya lagi meninggalkanku. Tapi aku mencegatnya dengan menghalanginya. “Zanna cuma mau Rey makan. Zanna nggak liat Rey ke kantin tadi siang. Padahal kak Dika, kak Gege dan kak Anton ke kantin. Rey ke mana? Rey nggak makan, kan? Yaudah ini buat Rey makan.” Ucapku bersikeras meminta Rey menerima kotak bekal ku. “Lagi pula kan Rey emang suka nasi goreng. Jadi nggak ada alasan buat nolak.” Lanjutku terdengar seperti orang yang sedikit memaksa. “Iya, gue emang suka nasi goreng. Tapi bukan nasi goreng buatan lo.” Jawab Rey. Ih parah banget ni orang kalo ngomong kayak nggak punya penyaring. Kalo ngomogn sesukanya tanpa berpikir perasaan orang lain. “Nggak boleh ngomong gitu!” Seruku mengomelinya karena enak saja dia bilang begitu! Emangnya dia udah pernah cobain nasi goreng buatanku? Kan belum. Kata ayahku nasi goreng buatanku enak banget. Jadi dia harus coba dan nggak boleh bilang kalo dia nggak suka nasi goreng buatanku. “Kenapa nggak boleh?” Tanya Rey bingung. “Ayah Zanna bilang nasi goreng buatan Zanna itu enak. Rey nggak boleh ngomong sembarangan!” Seruku. Mata Rey menyipit saat mendengar ucapanku, lalu ia terkekeh mendengar ucapanku. Kekehan nya terdengar bukan karena ia melihat atau mendengar sesuatu yang lucu. Kekehannya terdengar lebih seperti tidak mengerti lagi harus berbuat apa. Seperti kekehan yang mengandung sarkasme. “Gue bener-bener nggak ngerti.” Kata Rey. “Kenapa harus gue, sih? Kenapa gue yang kena sial sampe harus terus berurusan sama cewek kayak lo? Kenapa harus gue yang selalu lo ganggu? Lo sadar nggak, sih, sebenarnya kelakuan lo ini sangat mengganggu?” Tanya Rey lagi. Aku? Ya sebenar nya sadar. Tapi... bagaimana sih menjelaskannya. Ya aku sadar Rey ini terganggu. Tapi aku tidak mau berhenti karena masih mau terus berjuang. Aku mendongak, aku memperhatikan iris mata Rey yang hitam kecoklatan itu. Ini pertama kalinya aku benar-benar memperhatikan mata Rey dengan jarak sedekat ini. Karena selama ini aku tidak pernah lama-lama menatap mata Rey. Takut. Tapi rasanya sakit sekali saat melihat mata Rey memancarkan rasa benci pada diriku. "Zanna minta maaf. Zanna nggak bermaksud mengganggu Rey. Zanna sadar betul apa yang Zanna lakuin ini sangat mengganggu. Tapi Zanna masih mau berusaha buat bisa deket sama Rey.” Ucapku. “Nggak usah sok imut manggil nama. Gue–lo aja. Jijik gue dengernya.” Potong Rey. Ih dia bilang jijik. Ya Tuhan aku merasa seperti kotoran saja dia bilang jijik. Hiks. “Zanna—maksudnya gue.” Ucapku mengoreksi ucapanku sendiri. “G-gue cuma mau terus ada di dekat lo doang, Rey.” Lanjutku. “Begitu?” Kata Rey. “Tapi lo sadar nggak sih, Zanna, kalo yang lo lakuin itu bener-bener bikin gue muak?” Lanjutnya lagi. “Loh, Rey sadar nggak kalau Zanna suka banget sama Rey?” Tanyaku. Tapi sesaat setelah mengatakan itu, aku mengutuk diriku sendiri karena entah kenapa apapun yang ada di pikiranku saat ini malah membuatku terlihat sangat bodoh. Kenapa sih malah menanyakan hal bodoh seperti itu? Suasana hening karena di koridor ini sudah tidak ada satu pun siswa lagi, pecah begitu saja ketika Rey tertawa. Rey tertawa begitu keras, seolah-olah dia baru saja mendengarkan lelucon terlucu di dunia. Aku sadar pertanyaanku bodoh sekali. Tapi rasanya sekarang aku malu sekali. Saking malunya mataku terasa panas dan kini berkaca-kaca. Aku berusaha menahannya tapi suara tawa Rey membuatku makin malu. “Stop!” Seruku. “Nggak boleh ketawa!” Lanjutku lagi. Tawa Rey terhenti lalu ia mengacak-acakkan rambutnya frustasi. “Lo bisa ya ngelarang-larang gue. Nggak boleh ngomong sembarangan lah, nggak boleh ketawa lah. Astaga lo gila ya?” Tanya Rey. Aku gila? Mungkin. Tapi kali ini aku tidak mau memikirkan itu. Aku sedang berusaha menahan tangisku karena aku takut tangis ini tiba-tiba pecah dan akhir nya makin membuat malu diriku sendiri. "Kenapa gue nggak boleh ketawa hah? Gue sedang menertawakan hal terkocak di dunia. Yaitu elo. Lo tau nggak lo itu manusia gila aneh yang nggak tau deh otaknya terbuat dari apa. Gila banget.” Ucap Rey sangat kasar. Tidak percaya dengan apa yang baru saja Rey ucapkan. Aku pun mendongakkan kepalaku, menatap Rey dengan tidak percaya. “Kalo Zanna gila, Zanna nggak bisa sekolah!” Seruku. “Lagian apa nya sih yang lucu? Zanna tuh beneran suka sama Rey. Itu lucu, ya?” Pertanyaan retorik keluar dari mulut ku beriringan dengan tangis ku yang pecah. Aku bisa melihat Rey kebingungan karena aku malah menangis. Beneran deh. Kalo aku bisa hilang, aku malu hilang aja sekarang juga. Tapi sudah terlanjur basah. Aku sudah terlanjur menjadi sosok yang memalukan. Jadi kenapa harus tanggung-tanggung? “Kalo Zanna bisa milih pun, Zanna lebih baik suka sama cowok yang suka juga sama Zanna. Tapi nggak semudah itu. Liat aja Zanna sekarang, malah di depan Rey dan ngejar-ngejar Rey walaupun udah tau Rey nggak suka sama Zanna. Semuanya itu terjadi begitu aja. Zanna juga nggak tau apa yang bikin Zanna suka sama Rey. Rey orang yang kasar sama Zanna. Tapi apa pun yang melekat di diri Rey, Zanna suka.” Jelasku panjang lebar di tengah-tengah tangisanku. Aku tidak peduli lagi deh dengan rasa malu. Dari awal aku juga sudah malu-maluin, kan? Terjadi keheningan beberapa detik, tapi kemudian Rey membuka mulutnya untuk bersuara. “Udah deh, lo pulang aja sana.” Kata Rey. “Lo masih kecil. Lo masih belum ngerti apapun tentang hal-hal kayak gitu.” Lanjutnya lagi membuat tangisanku makin meledak. Tapi dari tadi walaupun aku menangis, dia tidak menenangkanku sama sekali. Dia malah mengatakan sesuatu yang membuat tangisanku makin pecah. Dan sekarang aku merasa marah. “Oh, terus Rey tau hal-hal seperti yang Zanna rasain?” Tanyaku. “Rey bahkan nggak pernah membiarkan orang lain dekat dengan Rey! Rey itu terlalu takut kalo orang-orang terlalu dekat dengan Rey, mereka bisa gampang nyakitin Rey!” Seruku. Lihat , memangnya dia doang yang bisa mengatakan hal-hal menyakitkan? “Apa Rey lupa kalo Rey nggak bisa menghindari itu?” Aku kembali melanjutkan ucapanku." Rey nggak bisa lari dari hal-hal yang bisa nyakitin Rey! Karena pada akhirnya cinta memang akan menyakitkan, tapi itu satu-satu nya hal yang akan membuat kita merasa hidup. Kita nggak bisa mengerti apa itu kebahagiaan tanpa merasakan kepedihan terlebih dahulu, Rey.” Lanjutku. Aku terengah-engah karena saking emosinya. Kini kedua alis Rey menyatu membentuk sebuah protes. Untuk beberapa detik, Rey tidak mengatakan sesuatu dan hanya menatap mataku dengan tatapan marah dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Mungkin dia kaget aku bisa seberani itu mengatakan hal-hal seperti tadi. Awalnya aku hanya ingin memberikan kotak bekal, loh, ini jadi panjang. Aku masih menerka-nerka apa yang Rey sedang pikirkan. Tapi seberapa kuat aku mencoba untuk mengerti, aku tidak pernah bisa menemukan jawaban yang pasti. Sampai saat ini aku hanya masih menunggu Rey mengatakan sesuatu. Tapi bukannya membalas ucapanku, Rey malah terdiam dan menunduk, menatap ubin di bawah kakinya. Apa kata-kataku sangat keterlaluan? "Lo salah besar." Kata Rey pelan sambil kepalanya kembali tegak dan menatap Zanna dengan tatapan yang dingin, seperti biasanya. "Lo sama sekali nggak ada benernya." Ucap Rey lagi. Kali ini dia menatapku dengan tatapan tajam seolah kebencian memenuhi rongga hatinya. Aku terdiam. Perasaan marah yang tadinya aku rasakan kini padam dan menciut. Aku tidak bisa berkutik ketika melihat Rey lebih marah dariku. Rasanya aku ingin sekali menatap ke arah lain selain Rey. Tapi tidak bisa. Rasanya mataku terkunci pada matanya yang menyorotkan gelombang kebencian dan kini membuatku takut. "Pernah nggak sih lo mikir kalo lo itu sangat sok tau?" Tanya Rey. Aku mengedipkan mataku beberapa kali karena aku tidak tahu apakah itu bentuk pertanyaan atau pernyataan menyaru yang sebenarnya dia hanya mengataiku bahwa aku ini sok tahu. Rasanya membalas ucapan Rey pun akan membuat suasana makin runyam. "Lo itu nggak tau apapun tentang gue. Berhenti sok tau! Gimana lo bisa nilai gue kayak gitu sedang kan lo aja nggak tau apa-apa tentang gue? Lo tuh cuma tau siapa nama gue, di mana gue sekolah, apa hobi gue, siapa temen-temen gue, dan apa makanan kesukaan gue tanpa tau alasan di balik itu semua!" Bentak Rey. Aku terdiam... takjub. Entah harus bangga atau bagaimana. Tapi ini kali pertamanya Rey memecah kan rekor mengatakan kata terbanyak padaku. Yah walaupun rekor ini di pecah kan di saat yang tidak bagus seperti ini. Kini aku menunduk, menatap sepatuku yang sebenarnya tidak menarik sama sekali. Aku seperti anjing peliharaan yang menciut karena diomeli oleh majikannya. Di tengah-tengah hening, aku malah menatap noda di ujung sepatuku. Tapi tentu saja aku tidak peduli dengan noda itu, ini hanya pengalihan saja dari rasa takutku diomeli oleh Rey. Apa yang tadi Rey bilang? Alasan di balik hal-hal yang dia sukai? Ya mana aku tau! Memangnya aku bisa mendapatkan informasi itu dari mana? Walaupun Zanna memiliki banyak kuping, tapi Zanna yakin seratus persen bahwa kebanyakkan siswi yang menyukai Rey hanya tau percis apa yang Zanna tau. Mereka juga tidak akan tau alasan di balik itu semua. "Lo nggak pernah tau tentang hal terdalam seseorang." Ucap Rey lagi. Oh, dia belum selesai? Aku kembali memasang kupingku dengan seksama, menunggu Rey melanjutkan ceramahnya lagi. Tapi tidak terdengar apapun. Jadi aku mendongak untuk memastikan. Aku kembali ciut saat mendapati Rey sedang menatap tajam ke arahku. Kenapa sih dia menatapku seperti itu? Aku kan bukan kriminal. Aku juga bukan pembunuh. Tapi memang sih, apa yang aku lakukan itu sangat menyebalkan. Hmmm sekarang aku malah berdebat dengan pikiranku sendiri. “To the point aja, deh.” Ucap Rey lagi. “Gue nggak suka lo kejar-kejar, gue risih. Kalo lo emang beneran suka sama gue, tolong jangan ganggu gue.” Lanjut Rey. Wah gampang sekali ya berbicara seperti itu tanpa menimbang-nimbang bagaimana perasaan orang lain saat mendengarnya? Walaupun begini-begini aku juga punya perasaan loh, Rey. Ingin sekali aku bilang seperti itu tapi aku tidak berani dan aku malah fokus pada nasi goreng yang tidak tau bagaimana nasibnya ini. Aku sudah meluangkan waktu untuk memasaknya dan aku berharap sekali dia mencoba nya apalagi memakannya. “Hah? Terus gimana nasi gorengnya gimana?” Tanyaku lagi. Rey terlihat tidak senang dengan pertanyaanku. Dia merasa sangat terganggu dan dia pun akhirnya bertanya balik. “Sepenting itu?” Tanya Rey lagi. Iya, memang sepenting itu. Kalau tidak penting kenapa juga aku harus rela-rela seperti ini? Bahkan melakukan hal yang memalukan yaitu menangis... Setelah itu, aku menyeka air mataku dan mengangguk dengan sangat yakin. Sekali lagi aku tegaskan, iya ini sangat penting bagiku. Kalau tidak penting kenapa aku di sini? Dia tidak berpikir segitunya, ya? Mungkin yang dia pikirkan adalah aku ini memang hanya iseng saja dan pengorbanan yang aku lakukan ini tidak terlalu dihargai oleh Rey. “Rey belum makan. Ini buat Rey. Tempatnya nggak usah dibalikin lagi.” Ucapku. Rey terlihat berpikir sebentar lalu menghembuskan nafasnya berat. “Oke, ini gue terima.” Ucapnya sembari meraih kotak bekalku. Mataku berbinar. Pada akhirnya dia menerima kotak bekalku. Setelah perdebatan yang panjang dan sampai aku harus malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD