Chapt 1. Only One Choice

3277 Words
..**..             Dia merupakan gadis berusia 19 tahun yang hidup dalam sebuah keluarga yang bahagia. Walau berasal dari keluarga sederhana. Namun hidupnya saat itu, serba berkecukupan.             Gadis remaja yang mengikuti jejak ibunya sebagai penjual katering makanan untuk acara pesta besar. Sembari melanjutkan pendidikan kuliahnya, dia juga membantu sang Ibu saat itu.             Dan kini hidupnya sudah berubah drastis. Dimana dia dan keluarganya mengalami kecelakaan mobil saat mereka tengah mengunjungi New York, USA.             Sudah 1 bulan. Dan sejak saat itu, hidupnya berubah menjadi dunia yang penuh dengan kejutan dan sejuta kekecewaan yang mendalam. Bahkan dia hampir tidak bisa melewatinya.             Dan bagaikan disambar petir, saat Dokter mengatakan bahwa kedua orang tuanya tidak bisa diselamatkan. Dia terdiam saat itu. Bahkan dia tidak sanggup mengeluarkan satu kalimat dari bibir indahnya.             Nyeri, bahkan hatinya terasa seperti diiris oleh sebilah pisau tajam. Dia hanya bisa memandangi jenazah kedua orang tuanya saat itu.             Dan saat dia hendak membawa pulang jenazah kedua orang tuanya, pihak Rumah Sakit melarangnya. Karena biaya Rumah Sakit belu terlunasi, dan dia tidak bisa membawa pulang jenazah kedua orang tuanya.             Saat dia memohon dan memelas kepada pihak Rumah Sakit, mengatakan yang sejujurnya bahwa dia sudah tidak memiliki uang lagi. Dan dia juga tidak memiliki simpanan apapun lagi untuk membawa pulang jenazah kedua orang tuanya ke Indonesia.             Dan disaat itu juga, seorang pria menolongnya. Dia merasa bahwa Tuhan tengah memberi pertolongannya melalui pria baik hati itu. ---**--- Presbyterian New York Hospital of Columbia and Cornell, New York, USA., Koridor VVIP., Sore hari.,             Dia terus memohon kepada seorang Dokter yang didampingi oleh 2 orang perawat cantik. Air mata sudah membasahi wajahnya. Bahkan tubuhnya tidak terasa lelah, walau sudah seharian dia tidak mengistirahatkan tubuhnya. “Dokter, tolong saya. Saya mohon, saya berjanji akan melunasinya jika saya sudah menjual rumah kami yang ada di Indonesia. Saya mohon, Dokter. Izinkan saya membawa pulang jenazah kedua orang tua saya, Dokter. Saya mohon.” Pintanya memohon, menjangkau tangan kiri sang Dokter.             Tiba-tiba Dokter dan dua perawat itu menghentikan langkah kaki mereka. Dokter itu, dia beralih menatap gadis itu. Dia sedikit berkedip mata, dan membuka suaranya. “Begini, Nona. Kami tidak bisa mengabulkan keinginanmu. Kecuali kau bisa melunasi semua sisa pembayaran Rumah Sakit. Karena itu sudah menjadi peraturannya. Maaf saya tidak bisa membantu banyak.” Ucapnya hendak melanjutkan langkah kakinya.             Gadis itu berlutut di hadapan mereka bertiga. Dia menggepal kedua tangannya, dan menangkupkannya di keningnya. “Dokter, saya mohon. Saya mohon, tolong saya. Saya bersumpah akan melunasi semua biaya yang tersisa. Atau salah satu dari kalian bisa ikut saya kembali ke Indonesia.” Ucapnya memohon, meyakinkan sang Dokter. Dia masih memejamkan kedua matanya sembari menundukkan kepalanya ke bawah.             Dua perawat itu saling melirik satu sama lain. Mereka beralih melihat Dokter tampan itu.             Sejujurnya mereka juga tidak tega. Apalagi melihat air mata gadis cantik itu membuat wajahnya menjadi sangat sembab.             Dokter itu menghela panjang nafasnya. Dia sedikit berpikir, apakah dia harus bernegosiasi dengan atasannya untuk hal ini.             Tapi jika dia mengingat satu hal, pasien disini semuanya sama rata. Tidak ada pilih kasih. Dan jika sudah berkunjung dan menjalani perawatan atau pengobatan di Rumah Sakit ini, sudah pasti dia adalah orang berada. Kehabisan uang karena pengobatan itu pasti hal yang sangat mustahil.             Dan dia kembali ragu dengan gadis yang berwajah sangat meyakinkan itu, yang tengah mereka hadapi. Dia kembali membuka suaranya. “Baiklah. Saya akan membantumu. Beri aku waktu untuk berbicara dengan atasanku.” Ucapnya melepas pandangan dari wajah gadis yang tidak berdaya itu.             Spontan, gadis itu mendongakkan kepalanya. Dia langsung mengerjapkan kedua matanya. Hatinya sedikit lapang. Harapan tipis seakan membuat suasana hatinya kembali terang.             Dia segera beranjak dari posisi berlututnya. Dan kembali membuka suaranya. “Dokter, terima kasih. Terima kasih banyak. Saya berjanji akan segera melunasinya, Dokter. Saya berjanji.” Ucapnya hendak menjangkau kembali tangan kiri sang Dokter. Namun sang Dokter terlihat menghindari sentuhan tangan darinya.             Dua perawat itu hanya diam saja. Mereka bahkan tidak terlalu peduli dengan gadis yang mereka anggap tengah berpura-pura memohon.             Dokter itu berdehem pelan seraya mengatakan iya. Dia dan dua perawatnya hendak melanjutkan langkah kaki mereka kembali. Namun suara bariton seseorang membuat mereka berhenti melangkah. “Saya akan melunasi semua biaya yang tersisa.” Ucapnya dengan nada penuh wibawa. Dia berjalan mendekati mereka yang ada disana.             Seketika gadis itu menoleh ke sumber suara. Dan dia sedikit terhenti dari isakan tangisnya. Kedua netra sendunya menatap sosok tegap berpakaian serba hitam.             Dia sedikit bergidik ngeri. Namun pria itu seakan memberinya harapan besar atas ucapannya yang terlontar barusan.             Pria itu, dia melirik gadis yang sejak tadi menguraikan air mata dari kedua matanya hingga wajahnya terlihat sembab saat ini. Sebab dirinya memperhatikan mereka sejak beberapa menit yang lalu.             Dokter dan kedua perawatnya, mereka berhenti. Dan melihat pria berwajah tampan, namun terlihat sudah tidak muda lagi.             Pria berpakaian snelli itu, dia membuka suaranya. “Maaf, Anda siapa ? Apa Anda keluarga gadis ini, Tuan ?” Tanya Dokter itu dengan suara ramahnya, dan melirik sekilas gadis itu.             Pria itu membuka kacamata hitam miliknya. Dia sedikit tertawa pelan. Melipat kacamata miliknya, dan menyimpannya di balik mantel hitamnya. Dia membuka suaranya. “Ya. Saya Paman dari gadis ini. Kami sudah lama tidak berjumpa. Dan saya kesini, tentu saja mencari keberadaannya.” Jawabnya tersenyum manis. Dia mendekati gadis yang mulai menundukkan pandangannya ke bawah. Dia tahu, gadis itu mulai terlihat takut terhadapnya.             Dia merangkul pinggangnya. “Paman mencarimu sejak beberapa hari yang lalu. Ternyata kau berada di Rumah Sakit ini, Sayang.” Ucapnya mengulas senyuman manis di wajah tampan sedikit berkerut. Namun suara lantangnya mengisyaratkan bahasa dingin tak tertebak.             Gadis itu hanya diam sembari mengangguk ragu. Dia sedikit melirikkan dua netranya ke atas. Membalas tatapan pria yang memiliki postur tubuh jauh lebih tinggi darinya.             Dua perawat itu saling melirik satu sama lain. Mereka bingung dan sedikit menaruh curiga dengan sikap mereka yang seperti tidak bersaudara.             Namun Dokter itu, dia lebih bermain logika dan mengutamakan hal yang penting saat ini. Dia kembali membuka suaranya. “Anda adalah Paman dari gadis ini ?” Tanya Dokter itu memastikan sekali lagi. Karena dia juga sedikit tidak percaya dengan orang asing ini.             Tapi dia berpikir keras, tidak mungkin ada seseorang yang mau membantu tanpa pamrih kecuali saudaranya sendiri. Dan dia pikir, pria ini benar mengenali gadis yang sejak sehari yang lalu memohon bantuannya untuk mengeluarkan jenazah kedua orang tuanya dari Rumah Sakit ini.             Pria itu, dia menganggukkan kepalanya. “Benar, Dokter. Saya Pamannya. Tapi mungkin dia tidak mengenali saya. Karena keluarga kami sempat mengalami masalah yang membuat saya jauh dari keluarga saya selama beberapa tahun.” Ucapnya lagi berkilah, meyakinkan Dokter yang ada di hadapannya saat ini. Deg! ‘Dia berbohong ?’ Bathin gadis itu seraya tidak percaya. Keningnya berkerut. Dia semakin diam membeku.  Dia yakin kalau pria yang tengah bersamanya ini, bukanlah pria sembarangan.             Mendengar kalimat pria itu, sang Dokter menganggukkan kepalanya. Dia kembali membuka suaranya. “Baiklah. Jadi Anda akan melunasi sisa biayanya, Tuan ? Sebab sudah satu hari jenazah belum dibawa pulang.” Ucap Dokter itu pada pria itu.             Pria itu tersenyum kembali sembari menganggukkan kepalanya. Dia juga kembali berbicara. “Tentu saja saya akan melunasi biaya yang tersisa. Karena itu sudah tanggung jawab saya sebagai seorang Adik.” Ucapnya melirik gadis yang masih dia rangkul. Tercetak senyuman menghanyutkan di wajahnya, membuat gadis itu tersenyum kecut.             Setelah menyelesaikan pembicaraan mereka disana. Dokter dan dua perawat tadi menyuruh pria dan gadis itu untuk ikut bersama dengan mereka.             Tanpa mau banyak basi-basi, pria itu langsung melakukan hal sesuai dengan ucapannya beberapa menit yang lalu. Dia juga langsung membayar biaya yang tersisa. Dia membiarkan gadis itu menciumi wajah kedua orang tuanya sebelum dikebumikan di Green-Wood Cemetery, New York, USA.             Setelah diperbolehkan membawa pulang jenazah kedua orang tuanya, dia merasa bahagia sekali. Sebab masalahnya sudah selesai. Yah, dia pikir begitu.             Awalnya dia merasa keberatan jika jenazah kedua orang tuanya dikebumikan di New York. Sebab dia ingin membawanya pulang ke Indonesia. Namun karena dia mempercayai pria yang dia tahu adalah Pamannya sendiri, akhirnya dia menyetujuinya. ..**..             Mereka satu mobil. Selama di perjalanan, tidak ada sedikit pun pembicaraan yang terjadi diantara mereka.             Bahkan gadis itu merasa gelisah di sepanjang perjalanan. Ingin sekali dia mengatakan sesuatu, terutama menanyakan apakah benar jika pria yang menolongnya saat ini adalah benar Pamannya.             Sebab yang dia ketahui selama ini, almarhum sang Ayah tidak memiliki keluarga lagi selain bibinya yang selama ini sudah menetap di Indonesia bersama dengan 1 sepupunya. Tapi dia tidak tahu banyak mengenai keluarga almarhum sang Ayah. Dan dia berharap, pria baik ini adalah benar Pamannya.             Dan mobil mereka melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah perumahan mewah yang terletak di kawasan utama Kota New York. Tentu saja arah perjalanan mereka membuat gadis itu semakin mengernyitkan keningnya.             Dia juga sedikit paham dengan Kota New York, tentu dia tahu bahwa arah mobil mereka bukan ke arah Green-Wood Cemetery. Ingin sekali dia membuka suaranya, namun sedikit segan sebab pria yang duduk di sebelahnya sangat acuh terhadapnya. Bahkan pria itu terlihat sangat cuek sekali. Dan bermain dengan ponselnya sejak tadi.             Karena dia begitu lelah. Entahlah, mungkin hormon kesedihannya sudah terlepas dari tubuhnya, sebab masalahnya sudah selesai, pikirnya. Dan dia merasa tidak kuat lagi membuka kedua matanya saat ini.             Tidur adalah jalan satu-satunya yang dia butuhkan saat ini. Tidak masalah baginya jika jenazah kedua orang tuanya akan dikebumikan besok hari. Yang paling penting, dia ikut menyaksikannya, pikirnya lagi.             Dan akhirnya dia merelakskan punggungnya bersandar disana, dengan tetap menjaga jarak dengan pria yang ada disampingnya saat ini. Helaian nafas panjang mengawali waktu tidurnya. Dia berharap, setelah sampai di tempat tujuan. Dia bisa kembali melihat wajah kedua orang tuanya untuk yang terakhir kalinya. … 10 menit kemudian.,             Mobil mewah berlogo BMW itu masih terus melaju dengan kecepatan sedang. Dan tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 6 sore.             Pria itu, dia tahu bahwa gadis di sampingnya sangat kelelahan. Dia sengaja membiarkannya berkecamuk dengan segala isi kepalanya. Karena baginya, itu semua tidaklah penting.             Dia menoleh ke kanan, melihat wajah damai gadis yang sangat terlihat segar itu. Senyuman tipis di sudut bibir kirinya mulai tercetak disana.             Kerjapan kedua matanya mengisyaratkan sesuatu yang dia inginkan dari gadis cantik itu. Bahkan melihat warna kulit dan rambutnya saja sudah membuat tubuhnya panas.             Dia menghela panjang nafasnya. Dan membuang wajahnya ke arah kiri. Dia memijit keningnya, dan segera memainkan ponsel miliknya. Dia tidak mau gegabah untuk melakukan apa yang tengah diperintahkan oleh otaknya saat ini. *** Xiyeta Blue-Sky Housing, New York, USA., Halaman depan rumah., Malam hari.,             Mobil hitam berlogo BMW itu berhenti di depan sebuah rumah megah bernuansa emas. Seakan mengerti, tubuh gadis berambut emas itu merespon untuk terbangun tiba-tiba.             Dia membuka pejaman kedua matanya, dan melihat ke kiri. Pria itu sudah tidak ada disampingnya. Ceklek…             Bunyi pintu mobil di arah kanannya, dia segera menoleh ke arah nya. “Mari, Nona. Tuan sudah masuk ke dalam.” Ucap pria yang berpakaian supir itu.             Gadis itu tersenyum dan menganggukkan pelan kepalanya. Dia segera turun dari mobil mewah itu. Kedua matanya masih meniti rumah mewah yang ada di hadapannya. Sangatlah besar sekali. ‘Dimana aku saat ini ? Apa ini rumahnya ?’ Bathin gadis itu dengan perasaan campur aduknya.             Sungguh dia tidak paham dengan keadaan ini. Sebab yang dia tahu, bahwa pria itu adalah Pamannya. Dan nanti dia akan menanyakan hal itu lebih jelas lagi, pikirnya. … Ruang tamu.,             Dia duduk manis di sofa mewah, dan tentu saja masih bernuansa emas. Kedua matanya masih melihat ke seluruh penjuru ruangan yang benar-benar terlihat mewah.             Bahkan dia pikir, rumah miliknya yang ada di Indonesia sudah cukup besar dan mewah. Tapi ternyata, rumah yang tengah dia kunjungi saat ini jauh lebih besar dan mewah. ‘Besar sekali rumah ini ?’ ‘Tapi, apa benar dia adalah Pamanku ?’ ‘Ayah tidak ada cerita apapun padaku. Dan…’             Dia mengernyitkan keningnya, sesaat dia mengingat sesuatu. ‘Dimana peti kedua orang tuaku ?’ Bathinnya mulai gelisah.             Tiba-tiba saja dia beranjak dari duduknya. Dia hendak berniat jalan menuju halaman luar untuk bertanya pada penjaga di luar rumah. Namun kedua telinganya menangkap hentakan sepatu yang berjalan ke arahnya. Dapp! Dapp! Dapp! Dapp! Dapp! Dapp!             Dia menoleh ke sumber suara.             Pria itu tersenyum manis padanya. Dia membuka suaranya. “Maaf kau sudah menunggu lama, Cantik.” Ucapnya berjalan mendekati gadis itu.             Dia mulai bergidik ngeri. Suara dan kalimatnya membuatnya merasa terancam. Dia mulai merasa tidak aman sekarang.             Kakinya bergerak mundur ke belakang. Pandangannya semakin tertunduk ke bawah.             Pria itu semakin tersenyum manis. Dia menghentikan langkah kakinya tepat di depan koridor rumah berlampukan kerlap-kerlip bening. “Ayo ikut denganku. Aku akan tunjukkan kamarmu.” Ucapnya lagi masih melirik gadis yang terlihat takut itu.             Seketika dia mendongakkan kepalanya lagi. Dia melihat pria itu berhenti disana.             Dan suara seorang pria yang sedikit melambai, menghentikkan fokus pandangannya dari pria itu. “Nona, mari ikut dengan saya.” Ucap pria itu dengan tubuh sedikit berlenggok.             Dia mengernyitkan keningnya, dan mengikuti langkah kaki pria yang terlihat bernaluri wanita itu.             Dan mereka berjalan menuju sebuah kamar yang terletak tepat di depan ruangan kolam renang besar dan mewah. Terdapat 1 pintu besar disana. … Kamar.,             Dia memandang takjub sebuah ruangan yang sudah diklaim menjadi kamarnya itu. Ranjang besar berwarna merah terang. Juga berbagai hiasan kamar yang pasti berharga mahal.             Dan suara bariton pria itu lagi-lagi membuatnya merasa tidak aman. “Selain kamarmu. Ini juga menjadi tempat kau mempersiapkan diri sebelum kau memulai pekerjaanmu.” Ucapnya dengan suara dingin.             Gadis itu mengernyitkan keningnya. “Pekerjaan ?” Gumamnya mengikuti kalimat pria itu.             Pria melambai itu bersikap cuek dan terus melakukan pekerjaannya menyiapkan segala yang dibutuhkan oleh gadis itu. Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.             Mendengar kalimat gadis itu, pria itu tertawa bak iblis. “Tentu saja pekerjaan baru kamu, Cantik.” Ucapnya mendekati gadis yang masih mematung di tempatnya.             Gadis itu sedikit tidak mengerti dengan maksud semua ucapan pria itu. Dia mulai berjalan mundur.             Dia tahu gadis itu tidak paham. Dia kembali melanjutkan maksud dari ucapannya barusan. “Keluarlah sebentar. Aku masih harus menjelaskan pekerjaan barunya.” Ucapnya memberi kode para pekerja setianya itu. “Baik, Tuan Tampan.” Jawabnya dengan suara melambai. Dengan cuek dia segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar mewah itu.             Gadis itu semakin berjalan mundur ke belakang. Hingga dia terkunci dengan meja rias besar disana. Sungguh, degup jantungnya semakin kencang. Perasaan gelisah itu semakin besar. Takut, ya saat ini dia merasa sangat takut. Dapp…             Kakinya sudah terkunci disana. Dan ekspresi wajahnya dibalas senyuman maut oleh pria itu. “Dengarkan aku baik-baik.” Ucapnya menatap tajam gadis yang sudah merundukkan pandangannya ke bawah itu. “Aku sudah membayar mahal semuanya.” “Dan sekarang, giliran kau yang melunasinya dengan caramu.” Ucapnya membuat gadis itu mendongakkan kepalanya dengan tatapan penuh pertanyaan.             Pria itu tertawa sinis. “Apa ada yang kurang jelas, Cantik ?” Tanyanya dengan tangan kanan mulai terangkat. Jari telunjuknya hendak menangkap dagu manisnya, namun             Gadis itu menghindar tiba-tiba. Dia memberanikan diri untuk membalas tatapan pria yang dia rasa bukan Pamannya. Dan dia mencoba untuk membuka suaranya. “Kau bukan Pamanku!” Ketusnya dengan kedua mata mulai memerah.             Mendengar kalimat gadis itu, pria berusia 35 tahun itu tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan sedikit berjalan mundur dan melihat gadis itu dari atas sampai bawah. “Kau pikir ?” Ucapnya menaikkan satu alisnya ke atas.             Gadis itu menggelengkan pelan kepalanya. “Dimana orang tuaku!! Dimana mereka!!” Ucapnya berteriak histeris. Sebab dia mulai sadar jika saat ini dia sedang ditawan oleh pria asing.             Pria itu kembali tertawa terbahak-bahak. Dia membuka suaranya lagi. “Orang tuamu ?” “Mayat mereka sudah berada ditanah! Kau pikir aku mau membawa mayat orang tuamu ke rumahku, huh ?” Ucapnya bernada sinis.             Gadis itu menggelengkan pelan kepalanya. Dia masih menatap lekat pria itu. “Tidak. Aku belum mengucapkan selamat tinggal pada mereka, Tuan.” Gumamnya pelan dengan air mata mulai mengalir di kedua sudut matanya.             Pria itu kembali tertawa sinis. “Lupakan mayat itu! Dan sekarang kau harus membayar semuanya!” Ucapnya bernada ketus. Dia berjalan mendekati gadis itu lagi. Dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Dengan tubuhmu ini.” Dia membelai wajah gadis yang terlihat tidak berdaya itu.             Gadis itu terdiam. Dan lama dia terdiam, dia menyingkirkan jemari pria itu dari wajahnya. “Jangan sentuh aku, brengsekk!!” Ketusnya menepis kasar tangan pria itu. Dia menghindari pria itu.             Rahang pria itu mengeras. Dia kembali mendekati gadis itu, dan menangkap satu lengannya saat gadis itu hendak berlari. “Kau mau kemana, huh?!” “Kau pikir, kau bisa kabur dari rumah ini!” Ketusnya dengan rahang mengeras.             Dia mulai menangis. “Lepaskan aku!!” Gadis itu meronta tidak terima diperlakukan kasar.             Pria itu tertawa terbahak-bahak. Dia merundukkan kepalanya, dan menciumi wajah gadis itu yang berusaha menolak dirinya. “Kau sangat cantik sekali. Siapa namamu, hmm ?” Tanyanya dengan kedua tangan masih mencengkeram kedua bahu lemah gadis itu. Bukan dia tidak tahu siapa namanya, tapi dia hanya mau mendengar suara merdu dari gadis yang sedikit merangsang libidonya untuk bermain.             Gadis itu membungkam. Dan berusaha melepaskan tubuhnya dari jeratan tangan pria di hadapannya. “Lepaskan aku, Tuan. Aku mohon biarkan aku pergi dari sini.” Ucapnya lemah.             Pria itu tertawa sinis. “Kau mau pergi setelah aku melunasi semua hutangmu, hmm ?” Gumam pria itu lagi masih menikmati aroma alami leher manis gadis yang terlihat masih suci itu.             Gadis itu menggelengkan pelan kepalanya. Dia masih terus terisak. “Tuan, saya berjanji akan melunasinya. Saya tidak akan kabur dari Anda. Tapi tolong beri saya waktu. Dan tolong bebaskan saya.” Ucapnya polos, menangkup kedua tangannya di dadanya. Ucapannya direspon tawa sinis oleh pria itu.             Pria itu, dia menghentikan aktivitasnya. Dia diam, dan perlahan menjauhi gadis itu.             Dia menatap tajam gadis itu. Dan kembali membuka suaranya. “Kau ada 2 pilihan.” Ucapnya menatap lekat gadis itu.             Gadis itu sedikit terhenti dari isakan tangisnya. Dia mencoba memahami kalimat pria itu. “Mengikuti pekerjaan barumu sampai hutangmu lunas … atau aku akan mengeluarkan mayat kedua orang tuamu dari tanah dan melemparnya ke wajahmu. Lalu aku akan menuntutmu. Silahkan pilih.” Ucapnya dengan nada dingin. Deg!             Dadanya merasa sesak. Saat pria itu berulang x mengucapkan kalimat mayat, walau itu adalah benar. Tapi entah kenapa dia merasa sakit hati sekali mendengarnya.             Dia terdiam, dengan kedua matanya masih menatap pria yang tersenyum mengejek ke arahnya. Dan dia seperti paham dengan pekerjaan yang dimaksud oleh pria itu.             Gadis itu, dia mulai membuka suaranya. “Pekerjaan apa yang kau maksud, Tuan ?” Tanyanya dengan sopan. Dia masih menatap pria itu.             Lagi-lagi pria itu tertawa sinis. Dengan sedikit berjarak melihat gadis itu, dia kembali meneruskan kalimatnya yang tersisa. “Menjadi cantik dan melayani siapa saja yang bersedia membayarmu mahal.” Jawabnya. Deg! ‘Kau ingin menjadikanku seorang pelacurr?’ Bathinnya seraya tidak percaya dengan perasaannya sendiri.             Pria itu kembali bersuara. “Yang harus kau lakukan sekarang adalah … berdandan secantik mungkin. Juga seksi.” Gumamnya bernada sensual, mengerlingkan mata kanannya. “Dan kau akan mulai bekerja malam ini.” Ucapnya melayangkan senyuman terakhirnya.             Dia berbalik badan dan meninggalkan gadis yang masih diam membeku ditempatnya. Dia keluar dari kamar itu, dan kembali menyuruh pria melambai yang merupakan sekretaris kecantikan pribadinya, untuk segera mengatur gadis itu menjadi seorang wanita dewasa yang sesungguhnya. …             Gadis itu hanya diam melihat pria melambai itu menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam kamar mandi. “Hey, kau gadis kampung!” “Ayo ikut aku. Kau harus mandi s**u untuk menghilangkan bakteri dan racun dari tubuhmu. Agar kau lebih kelihatan cantik.” Ucapnya dengan nada sinis dan tentu saja dengan suara mengayun-ayun.             Gadis itu masih terus meneteskan air matanya. Dia berjalan gontai menuju kamar mandi.             Tidak ada hal yang dia pikirkan, selain melunasi hutangnya. ‘Ayah, Ibu, maafkan aku…’ ‘Aku berjanji akan berkunjung ke makam kalian … dan setelah hutang ini lunas. Aku akan kembali ke Indonesia…’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD