Dua sisi

1082 Words
“Mamaaaa.” Unita yang baru saja turun dari mobil yang dikendarainya segera membuka tangannya, menerima pelukan hangat dari gadis manis yang kecantikannya dikata orang mewarisi dirinya itu, “Sayang, kakak sudah pulang?” Unita memiliki dua anak, yang memeluknya ini adalah Gwenza, si cantik yang polos dengan semua rasa keingintahuannya, dan si tampan Gevin yang baru saja masuk jenjang SMP beberapa bulan yang lalu, persis sekali dengan suaminya, Nurdin Herlambang. Nama Herlambang membawa kebanggaan tersendiri untuk keluarga ini. “Kak Gevin belum pulang, Ma. Masih di jemput sama papa.” “Ya sudah, kita ganti baju dulu, segera bersiap dan berangkat kalau papa sudah pulang, okey?" ajak Unita ke putrinya itu. Gwenza mengangguk, menarik tangan mamanya dan setengah memaksa ke kamarnya. Hari ini ada acara besar, Gwenza tak sabar rasanya. “Bi, tolong carikan gaun Gweza yang warna biru dengan pita biru gelap di perut. Aku akan mengajaknya mandi.” ucap Unita ke pekerja di rumahnya. “Ya, Nyonya.” Tak menjawabnya lagi, segera mengajak masuk Gwenza ke kamar mandi, dan membantunya membersihkan badan. Membantu berpakaian, serta menata rambut Gwenza juga, barulah setelah itu dirinya sendiri ke kamarnya untuk melakukan hal yang sama ke dirinya sendiri. Memilih pakaian yang senada dengan yang dikenakan Gwenza, dan memoles make up natural, tak suka dengan sesuatu yang terlalu mencolok, apa lagi yang berhubungan dengan wajahnya. Pintu kamar itu terbuka, membawa sosok yang begitu sempurna. Unita melempar senyum yang dia pantulkan lewat cermin, menyambut kedatangan suami tercintanya itu. Cup. Sebuah kecupan didaratkan di kening Unita, Nurdin segera melepas jas yang dikenakannya dan memeluk Unita kembali. “Ayo, Mas. Nanti anak-anak menunggu.” pinta Unita. Sadar jika suaminya lelah, tapi mau bagai mana lagi? “Aku harusnya beristirahat sekarang.” “Apa semuanya dibatalkan saja?” “Tidak, Sayang. Gwenza akan marah nanti.” Unita terkekeh, “mandi, Mas. Kita ke sana dengan sopir, Mas bisa istirahat sebentar di mobil, aku janji.” Nurdin terkekeh, mendongakkan Unita dan mengecup bibirnya dari atas. Melu mat sebentar dan segera ke kamar mandi untuk melakukan apa yang diusulkan oleh Unita. Sepertinya itu pilihan terbaik saat ini. Benar saja, Nurdin memilih untuk duduk di sebelah kemudi dan sedikit mendongakkan kursi yang didudukinya, dan menggunakan penutup mata. Berharap setelah sampai di tempat yang akan ditujunya saat ini, tenaganya kembali fit seperti yang dia harapkan. “Happy birthday, Gwenza. Happy birthday, Gwenza. Happy birthday Gwenza my queen. Happy birthday, Gwenza ... .” Ke empatnya bertepuk tangan, semakin riuh dengan tambahan dari anak panti yang sengaja dipilih untuk acara spesial bagi Gwenza kali ini. Dengan senyumnya yang malu-malu, Gwenza meniup lilin itu, memotong kue berbentuk putri yang memang dia minta kemarin, dan menyuapkannya ke papanya, mamanya, dan juga kakak tercintanya. Umurnya baru saja menginjak lima tahun, meski terlambat, besok adalah hari pertama untuknya masuk ke Taman Kanak-kanak karena merasa sudah siap setelah merayakan ulang tahunnya ini. “Sayang, mau kuenya?” tawar Unita sebelum membagi kue itu ke seluruh anak panti. Gwenza mengangguk, senyumnya tak surut sedikit pun sejak tadi. “Sisakan yang atas, Sayang.” pinta Nurdin menunjuk kue terkecil. Kue ini cukup tinggi, sekitar selututnya mungkin, dan yang bawah akan cukup untuk semua penghuni panti. Tak ada yang spesial memang hanya saja di atas ada mainan kecil berbentuk putri yang diingini Gwenza, itu akan membuat putrinya senang nanti. “Iya, Mas.” Unita segera menyisihkan kue sisi atas, dan mulai membantu memotong kue lainnya untuk penghuni panti. Rona kebahagiaan pun ikut menghias wajahnya yang sudah cantik, semakin memikat dengan keanggunannya. “Pa, acaranya lama? Aku lelah.” begitulah Gevin, tak terlalu suka keramaian, atau bahkan keributan. Seperti papanya yang tak begitu menyukai basa-basi. Saat A lebih baik dari B, itulah yang akan dia ambil meski umurnya masih belum cukup sekali pun. “Ada apa? Di sini banyak teman kan, Gevin?” Nurdin tahu putranya lelah karena sepulang sekolah segera ke sini, tapi tak ingin putranya tak menyukai acara adiknya juga. “Kak Gevin, makan ini saja.” Gwenza menyuapkan sepotong kue mendekat ke mulut kakaknya, tersenyum saat kakaknya menerimanya juga. Gevin membuka tangannya, meminta agar adiknya itu duduk di pangkuannya, “Pa, aku boleh mengajak Gwenza main ponsel?” Nurdin mengacak rambut Gevin, “jangan terlalu dekat dengan matamu, Papa akan membantu mama sebentar.” segera berdiri dan mendekat ke istrinya. Membantu membagikan hadiah dan juga makanan untuk para penghuni panti, serta ikut berbincang dengan pengurus panti juga. Memang dirinya selalu ke mari sebulan sekali untuk meneruskan amal keluarganya sedari dirinya muda dulu. “Mas, pulang sekarang?” tanya Unita setelah menyelesaikan semua acara. Saat Nurdin mengangguk, dia pun segera menggendong Gwenza yang tertidur entah sejak kapan bersebelahan dengan Gevin, dan tersenyum saat suaminya itu meminta Gwenza darinya. “Sayang,” panggil Nurdin. Baru saja sampai rumah dan menidurkan Gwenza di kamarnya serta mengantar Gevin juga. Tinggal berdua di kamar dan baru saja berganti dengan pakaian yang lebih santai. “Bolehkan aku minta dipijit.” ucapnya sambil tersenyum, semakin melebarkan senyumnya saat Unita mendekat dan terkekeh juga menatapnya. “Iya, Mas.” Unita segera memijit punggung itu setelah Nurdin tengkurap di ranjang sesaat setelah dirinya naik. “Unita, aku besok akan berangkat ke Kalimantan. Tidak lama, hanya dua minggu. Ada kebun sawit baru, aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Bukankah itu bagus?” Nurdin memejamkan mata, pijatan Unita selalu berhasil membuatnya senyaman ini. “Kenapa, Mas? Bukankah kita sudah cukup dengan semua ini? Tembakau di tanah Jawa tidak mengecewakanmu, bukan?” rayunya tetap sama. Selalu tercubit saat mendengar Nurdin akan meninggalkan rumah walau untuk bekerja. Bukan dia yang kurang bersyukur, hanya saja waktu itu akan banyak yang terbuang untuk hal itu saja. Sebagai perempuan yang mengurus semua keuangan di keluarga kecilnya ini, sangat tahu dan sadar jika semuanya sangat lebih dari hanya sekedar kata cukup saja. Nurdin terkekeh, “Gevin dan Gwenza masih kecil, itu adalah kesempatan yang bagus. Aku ingin mereka bangga dengan orang tuanya, terlebih denganmu.” Nurdin membalik, membuka tangannya agar Unita masuk ke pelukannya. Unita menurut, membaring dengan berbantal da daa suaminya, serta memeluk dengan sebelah tangan tubuh suaminya itu. Bibirnya kelu, tak tahu lagi harus mengatakan apa kalau sudah berdebat seperti ini. “Unita, semua ini tidak akan lama. Kebersamaan kita lebih lama dari pada pekerjaanku. Bukankah kamu bisa ke galeri yang aku buatkan khusus untukmu, hm? Kamu akan terhibur di sana.” Nurdin mengecup puncak kelapa istrinya, “ingatlah ke Gevin dan Gwenza, maka seperti itulah semangatku saat ini.” imbuhnya lagi. Unita hanya bisa mengangguk, dia akan menghibur hatinya sendiri lagi mulai besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD