Kejutan spesial

1164 Words
Masih terlalu pagi saat Nurdin Herlambang berangkat bekerja. Diantar dengan sorot mata iba seperti biasa. Tentu itu adalah sorot milik Unita. Meski setelah kepergian tetap menjalani jadwal harian seperti biasanya, sedihnya tak berkurang sedikit pun. Unita berencana berolah raga ke pusat kebugaran setelah mengantar Gwenza sekolah, berharap dengan itu dirinya bisa melukakan sedikit masalah hatinya. “Unita!” Menoleh karena merasa mengenal suara itu, terkekeh dan segera menemukan pipi kanan ke pipi kiri sosok itu, dan juga sebaliknya. Tidak menyangka akan bertemu di tempat ini dengan teman arisannya ini, “tumben kamu di sini, Reni? Biasanya senam saja?” “Yang ini beda.” mendekat dan melambaikan tangan agar Unita lebih mendekat lagi, “di sini banyak berondong, kalau senam mah ... sepi.” Unita terkekeh, temannya yang satu ini memang seperti ini. Ke duanya pun berolah raga bersama sambil ketawa ketiwi sampai menghabiskan beberapa jam di pusat kebugaran itu bersama. “Apa kamu sibuk?” tanya Reni, sudah lelah dan berniat untuk pulang. “Tidak, kapan kamu melihatku sibuk?” Reni pun terkekeh, mengajak Unita untuk beber sih dan mengajaknya untuk pulang bersama saat ini. Membiarkan sopir Unita agar pulang lebih dulu, “aku ingin mengajaku ke suatu tempat.” Reni tahu siapa Unita, meski bukan sahabat lama atau bahkan baru, Reni cukup kenal dengan Unita, tahu juga bagai mana kegemarannya. “Kita makan dulu, okey?” ucap Reni sabil memarkirkan mobilnya. “Kamu suka tempat ini juga?” Unita tahu dengan restoran seafood yang didatangi oleh Reni, ini juga salah satu tempat yang sering dia kunjungi dengan Nurdin. “Tentu, di sini masakannya enak, bukan?” tanpa basa basi, Reni segera mengajak Unita untuk turun, memesan, dan menikmati seafood sambil berbincang. “Ada galeri di dekat sini, kamu tahu? Dia orang yang berbakat, aku jatuh cinta dengan polesan tangannya.” Reni ber-celetuk tanpa menoleh ke Unita. Unita terkekeh, “ya. Aku tahu. Dia Bayu, kan?” “Ya, namanya Bayu. Memang galerinya kecil dan tak terlalu ramai, tapi semua yang dia ciptakan begitu sempurna. Dia pindahan dari Bali dan selalu menciptakan semua dengan hati. Baru kali ini aku jatuh cinta dengannya.” Deg. Unita yang tadinya sibuk dengan makanannya, mendongak karena ingin melihat ekspresi dari sahabatnya itu. “Dia tampan dan baik hati, andai saja aku belum memiliki suami.” Reni tertawa kecil, menggoda Unita dan kembali makan lagi, “setelah ini aku akan mengajakmu ke sana, tidak jauh kan dari tempat ini?” imbuhnya lagi. “Ya.” Unita memang tahu galeri milik Bayu tidak jauh, tapi dia ragu akan bertemu dengan pria itu. Entah, tiba-tiba saja jantungnya berdegup seolah dia akan bertemu dengan siapa, padahal sudah sering ke duanya berjumpa. Makan di depannya ini kalah nikmat dengan debarannya sendiri, membuta Unita hanya membolak-balikkannya saja tanpa menyendokkan apa pun ke mulutnya. Setelah memaksakan dirinya sendiri untuk tak terlalu meninggalkan banyak sisa di piringnya, Unita hanya menurut saat Reni mengajaknya ke galeri Bayu, bersyukur karena ternyata sosok itu malah tak di tempat saat ini, “aku jadi mengantuk setelah makan, aku akan menelepon sopirku, aku berjanji kita akan punya banyak waktu bersama lagi, okey?” Unita tak ingin terlalu merepotkan Reni. “Aku bisa mengantarmu, Unita.” “Jangan, aku tahu kamu lelah, aku mengirim pesan ke sopir, dia akan datang sebentar lagi setelah mengantar Gwenza pulang.” “Oh! Baiklah kalau itu maumu, maaf aku tidak bisa menemanimu di pinggir jalan seperti ini.” Unita tertawa, mengatakan kalau itu tidak masalah dan berpelukan untuk sekedar melepas akrab yang akan berganti sepi sebentar lagi. Melambaikan tangannya dan mengantar kepergian Reni dengan senyuman. Baru saja dia ingin beranjak dan ke kafe dekat tempatnya berdiri saat ini, tapi dering ponsel menghentikannya, membuatnya segera merogohnya dan mengangkat panggilan telepon itu, “Mas? Sudah sampai?” Terdengar kekehan di seberang sana, [ya, baru saja. Aku akan makan karena pesananku juga baru datang, dan akan istirahat setelah ini.] “Jangan terlalu lelah, Mas. Aku tidak suka kamu sakit saat aku tidak di sampingmu.” [Ya, aku pun begitu. Jaga anak-anak saat aku tidak di rumah.] Unita terkekeh, bukan bermaksud mengejek, tapi permintaan Nurdin tidaklah perlu. Tentu saja dia akan menjaga dua malaikat tak bersayap itu hingga bisa terbang saat dewasa nanti, “Mas juga, jaga kesehatan dan jaga hati.” [Hahahahaha, aku mencintaimu. Aku makan dulu, Sayang.] “Iya, Mas.” melihat mobil mendekat ke arahnya, Unita mengangguk ke sopir yang mengemudi, “aku akan ke galeri, akan ada pameran tiga hari lagi. Mungkin aku akan sibuk selama beberapa hari, Mas.” [Ya, Sayang. Sempatkan menelepon walau hanya sedetik saja.] “Iya, Mas.” Unita masuk mobilnya dan memakai sabuk mengaman sambil meletakkan ponselnya di pangkuannya, “ke galeri, Pak.” pintanya ke sopir pribadinya, mengambil ponsel itu dan menempelkannya ke telinga lagi, “jaga kesehatan Mas, okey? Nanti sore jangan lupa video call, Gwenza akan marah kalau Mas melupakan yang satu itu.” ucapnya sambil terus tersenyum meski suaminya tidak melihat senyuman itu. [Iya, Sayang. Aku tutup dulu.] Unita terkekeh, panggilan sudah terputus, bersamaan dengan mobil yang melaju. Di pinggir jalan dia melihat Bayu yang berjalan ke arah galeri pribadinya, membuat Unita menoleh dan berpikir untuk berhenti, sekedar menyapa dan ingat jika lukisan dirinya perlu untuk di lihat. Tapi mengingat dirinya bersama dengan sopirnya, Unita pun tetap melihat punggung Bayu yang kian menjauh dengan dirinya yang ada di mobil saat ini. Dia akan ke sini besok saja, itu lebih baik agar tak terlalu lama menggantung janjinya ke Bayu. Unita tersenyum, bersyukur karena galeri seninya ini tak pernah sepi. Meski dirinya bukan pencipta sebuah seni, setidaknya hadiah dari suaminya ini sangat berarti untuknya. Dia bisa memamerkan lukisan dan buah tangan lainnya, patung, ukiran, kerajinan gerabah berbentuk unik. Semua yang dia suka dia pamerkan di sisi depan, dengan sisi belakang dan masih lebar serta kosong. Sering di sewa untuk menunjukkan karya besar milik seniman lain, dan Unita juga tak pernah meminta uang sewa yang tinggi. Itulah kenapa galeri seninya terbilang memiliki nama di balik sebagian kecil yang tak berarti apa pun miliknya. Saat kakinya melangkah dan siap untuk bertemu dengan seniman entah ke berapa yang akan memamerkan buatannya tiga hari lagi, Unita terkejut saat ada kanvas dan tertutup dengan rapi dan dibiarkan berada di luar. Bukan karena itu terlalu mahal, tapi karena dia merasa tak memesan apa pun sejak kemarin atau bahkan beberapa hari yang lalu. “Itu hanya Anda yang diperbolehkan untuk membukanya, Nyonya Unita. Jadi kami tidak membawanya masuk. “Dari siapa?” “Saat kami bertanya, dia malah tersenyum dan pergi, Nyonya Unita.” Unita pun tak bertanya lagi, memilih untuk membuka penutup kanvas itu dan melihat apa yang ada di baliknya. Deg. Jantungnya berdegup, pipinya merona, napas itu juga memburu. Bibir Unita menyungging ke atas saat netranya melihat indah yang terpampang di hadapannya. Tahu meski tak perlu mencari terlalu lama dan jeli. Ternyata ini yang membuatnya tak menemukannya di tempatnya tadi. “Bayu.” bisiknya lirih dan yakin siapa pengirimnya setelah melihat lukisan hidup seorang wanita tengah minum teh di permukaan kanvas saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD