She’s Getting Married (Probably)

1212 Words
8 months before the accident. Nico. Aku baru pulang dari jadwal penerbanganku. Area penerbanganku adalah Asia-Pasifik sebenarnya. Tapi, karena ada salah satu istri pilot rute Eropa sedang melahirkan--dan katanya, ini adalah anak ketiganya, jadi dia ingin menemani istrinya, karena belum pernah menemani istrinya melahirkan--jadinya, maskapai mencari pilot yang jadwalnya kosong. Mungkin aku memang lagi sial kali ya saat itu? Kalau kalian pintar, kalian pasti tahu kalau akulah yang menjadi pilot penggantinya. Padahal, aku baru pulang dari Tokyo-Beijing-Singapura belum sampai dua hari! Ah, kalau begini terus aku bisa gila. Di saat seperti itu, aku menyesali pilihan bodohku untuk menjadi pilot. Tapi, jika aku pikir-pikir ulang, menjadi pilot tidak seburuk itu juga sebenarnya. Setidaknya, aku punya jatah untuk bepergian kemanapun sekali setahun. Ya, kalian tidak salah baca. Hanya sekali dalam setahun. Selain itu, aku bisa pergi ke negara ini dan itu. Walaupun hanya sebagai tugas untuk mendapatkan rupiah demi rupiah, tapi tetap saja, judulnya jalan-jalan iyakan? Oke, intinya, aku yang disuruh pergi untuk ke Eropa karena akulah satu-satunya pilot lajang dan masih muda. Bisa di bilang, itu adalah alasan paling klise yang diberikan maskapai untuk membujukku agar menerbangkan dua ratus penumpang untuk diboyong ke Eropa sana. Bujukan lainnya? Mereka bilang, 'lumayanlah, Nic, buat nambahin pengalaman sama jam terbangmu.' Mukamu jam terbang sama pengalaman! "Nicooooo!!!" Ah, suara itu. Pasti kalian penasaran ya? Baiklah, dia adalah perempuan yang cerewet, dan doyan makan. Tahu dia siapa? Alicia Aryapradana. "Nic," panggilnya lagi saat menghampiriku. Aku sudah ada di depan gerbang rumahku. Maksudnya, rumah orangtuaku. Begini, perjalanan dari London sampai ke Jakarta bukanlah perjalanan yang singkat. Tak bisakah aku mendapatkan jatah tidur sebentar saja? "Nico, gue mau ngomong bentar sih. Susah amat emangnya mau ngomong bentaran doang?" Tanyanya. "Oke, mau ngomong apa Lis?" "Cia. Kapan sih lo mau berhenti manggil gue Alis?! Kalo orang laing denger ya gue bisa malu kali karena panggilan aneh lo itu." "Lo mau ngomong atau komplain?" Balasku karena aku butuh tidur, dan aku ingin pergi ke kamarku sekarang! "Ini bukan customer servicenya maskapai gue. Jadi lo bisa telepon langsung aja ke customer servicenya." "Ya Tuhan! Susah amat sih mau ngomong sama lo doang Nic?" Gumamnya. "Ya udah, gue nggak bakal lama-lama kok. Cuma tiga kata aja yang mau gue kasih tahu ke lo." "Mending cepetan. Lo udah ngomong lebih dari tiga kata sejak lo bilang cuma mau ngomong tiga kata doang." Oke, aku sangat lelah sekarang karena berdebat dengan Ratu Bawel yang satu ini. Detik ini, yang kulihat adalah wajah riang Cia yang cengengesan, dengan mata bersinar dan giginya berjejer rapih di dalam mulutnya itu terlihat dengan sangat jelas. Akhirnya aku mendengar kalimat yang dia ingin ucapkan padaku itu. "Gue mau nikah." Oh, tentu saja dia pastinya akan nikah. Eh, tunggu, dia bilang apa?! NIKAH?! "HAH?" "Bukan 'hah' Nic," ulangnya, mengikuti ekspresi wajahku tadi, "Tapi gue mau nikah. Nikah. Ya nikah, married." Life is full of surprising things. Tapi buat yang satu ini, bukan sekedar kejutan. Ini namanya serangan jantung. "Lulus kuliah aja belom. Ngapain lo nikah?" "Bulan depan skripsi kok. Paling bulan depannya gue juga wisuda dong. Emang masalah banget kalo gue belom lulus tapi mau nikah?" Malas berdebat, aku abaikan saja masalah ini, dan melanjutkan petanyaan. "Siapa pacar lo yang mau lo nikahin itu? Artis? Model? Produser? Sutradara? Atau siapa?" Cia menggeleng. "Pilihan lo jelek semua. Mana mau gue nikahin pilihan kaya gitu. Yang ada gue bisa cerai. Dan gue nggak mau." "Terus apa?" "Dokter dong." Aku melongos. Kok bisa anak girang macam Cia ini mendapatkan seorang dokter? Coba beritahu aku, cupid gila mana yang mempertemukan anak ini dengan dokter? "Dokter bedah?" Cia menggeleng cepat. "Kalau lo udah selesai istirahat, dan nggak jetlag lagi, telepon gue atau kabarin guelah. Biar gue kenalin sama Arie nanti." Arie? Namanya pasaran amat?! "Nico! Kenapa belom masuk juga?" Tanya Mama yang memanggilku dari depan pintu. Sepertinya dia mau membuang sampah karena dia membawa plastik hitam di tangan kirinya. "Hai Cia, Tante dengar dari Bundamu kalau kamu mau nikah ya?" "Hehehe.. Iya Tante, doain semoga lancar ya?" Kata Cia penuh semangat. "Tan, aku balik dulu ya. Bentar lagi aku ada pemotretan." Aku bisa melihat wajah Mama tersenyum dan mengangguk. Anak girang itu tidak mengucapkan pamit kepadaku? Hei, walaupun ini rumah orangtuaku, tapi aku juga tuan rumah di sini! Mama mengamati Cia yang berjalan masuk ke rumahnya. Kemudian dia membuang plastik hitam yang ditentengnya ke dalam tempat sampah depan rumah. "Nyesel nggak sekarang?" Aku masih lelah, jetlag, dan di buat jantungan karena Cia mau nikah tidak lebih dari setengah jam lalu. Sekarang? Mamaku sendiri malah menggodaiku dengan senyuman isengnya. Maksudnya apa coba? "Mama jayus ah. Aku capek, mau istirahat," kataku malas-malasan. "Baru mau nikah kok, Nak. Belom nikah beneran," lanjutnya, "Masih ada secercah harapan indah untuk anak Mama tercinta kok!" Tak ada sedikitpun tenagaku untuk meladeni ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanku itu selama dua puluh tiga tahun hidupku. Jujur, aku ingin memejamkan mataku, dan membayar semua waktu tidurku yang tertunda karena jadwal penerbangan yang mendadak itu. ----- Drrrt... Drrt... Aku biarkan ponselku itu bernyanyi sendirian. Drrt... Drrrrt... Bodoh amat. Aku masih mau tidur! Drrrt... Drrrt... Demi langit dan bumi! Terkutuk orang yang meneleponku itu! "Halo." "Oh? Masih hidup juga lo. Gue kira lo mau gantung diri setelah Cia bilang mau nikah." "Sumpah. Kalau lo telepon gue cuma mau bilang itu, mending lo aja yang gantung diri, sebelum gue yang gantung lo di pohon salak!" Jawabku sekenanya. Aku masih dalam posisi berbaring ke kanan, dengan mata terpejam, dan ponsel itu hanya aku letakkan di atas telingaku. "Sori Nic, gue cuma bercanda kali," balas Farlos. "Udahan kan? Gue tutup ya--" "E.. ehh! Tunggu. Gue masih mau ngomong kali ama lo!" "Pasien lo nggak ada yang keganggu karena lo nelpon gue?" "Masih ada lima konsultasi pasien lagi sih. Apa gue telepon lo nanti aja ya?" "Ya." "Oke. Sweet dream, Sleeping Handsome!" Aku kembali tidur saat sambungan telepon sudah benar-benar terputus. Namun sialnya, aku tidak bisa merasakan indahnya tidur karena telepon kurang ajar dari Farlos tadi. Akh! Sudahlah, aku turun saja ke bawah. Indera penciumanku berfungsi dengan sangat amat baik. Aku kenal betul, ini masakan Mama. "Muka kamu kusut amat, Nic?" Tanya Mama saat melihatku turun dari tangga. "Mau pudding? Ada di kulkas tuh, kamu dinginin dulu mukamu dan kepalamu." Aku mengambil pudding, duduk di kursi, sambil memakannya perlahan. Pikiranku masih melayang-layang memikirkan Cia yang mau menikah itu. "Kamu masih mikirin Cia ya?" Aku tidak menjawabnya, tapi memang iya. Aku memikirkannya. "Nggak usah kamu bilang juga Mama tahu kok," katanya, "Mandi gih, temuin Cia di restoran biasa katanya. Dia tadi ke sini, tapi kamu masih tidur." Aku tidak ada gairah untuk bertemu dengan Cia sama sekali saat ini. Aku... benar-benar malas bertemu dengannya. Anggaplah aku kekanakan, tapi aku memang tidak ingin menemui Cia. "Ini kunci mobilnya, kamu mandi, temui dia. Setidaknya, kamu bisa kenalan dulu sama Arie. Dia anak baik lho." "Mama udah kenal dia?!" "Cia sering cerita soal Arie ke Mama, soalnya Tante Juwita sibuk ke rumah sakit." Kurang ajar. Malah Mama udah diceritain soal Arie?! Terus aku ini dianggap apa sama Cia?! Ada pesan masuk. Alicia Gue di tempat biasa ya. Lo cepetan ke sini sebelum gue cincang! Pesan singkat itu tidak aku tanggapi. Tapi okelah, aku mau lihat lelaki mana yang bisa menikahi Cia. "Aku mandi dulu." Aku memasukkan pudding ke mulutku lalu langsung beranjak ke kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD