Sudden Hero

1333 Words
10 years before. Cia. Sinetron yang baru-baru ini sedang digandrungi anak sekolah adalah sinetron yang dibintangi Selina Artawiya. Katanya, akting nangisnya bikin cowok-cowok leleh gitu deh di depan TV. Tahun depan aku lulus SMP. Terus masuk SMA. Kuliah. Huft. Kata kuliah itu membuatku agak sakit kepala lho sebenarnya. Pertama, karena aku pada dasarnya tidak mau kuliah. Daripada kuliah, mendingan syuting deh, bisa bantu Bunda supaya nggak nanggung beban keluarga sendirian. Buatku, Bunda adalah sosok perempuan paling tangguh karena Bunda tidak punya orangtua sejak masih kuliah, dan sekarang Bunda sudah janda karena Dad meninggal sewaktu bertugas. Herannya, kenapa Bunda masih mau menikah dengan Dad kalau tahu Dad dapat meninggalkannya sewaktu-waktu? Sekelebat pertanyaan lain terus menerus berputar di dalam kepalaku sampai lamunanku di buyarkan oleh temanku. "Oi, Cia!" Itu suara Tamara. "Oh, hai." "Hai, hai? Eh, lo udah denger belom berita terkini dari gedung SMA?" Tanya Tamara dengan wajah super duper bikin orang penasaran setengah mampus. Aku menggeleng. "Ck! Cia masa lo nggak tahu sih?!" Katanya dengan gregetan. "Lo mau di labrak!" Nah, ini baru masalah luar binasa. Masalah. M a s a l a h. Aku capek sebenarnya harus sekolah di sini karena beberapa hal. Pertama, sekolah ini adalah sekolah untuk sekolah menengah. Antara gedung SMP dengan SMA hanya berjarak sekitar beberapa ratus meter saja. Kedua, saat jam istirahat, akan sangat sulit bagiku untuk membeli makanan karena harus berdesakan dengan ribuan siswa lainnya. Dan ketiga—ini yang paling membuatku tidak menyukai sekolah ini—selalu ada saja gosip mengenai selebriti. Salah satu contohnya, yang barusan dikatakan oleh Tamara. "Siapa Tam? Siapa yang mau labrak gue?!" "Noh kan! Lo panik juga!!" Serunya dengan suara cempreng khasnya, "Sinta. Si Sisen, Sinta Setan. Lo tahukan, kabarnya kalau dia pacaran sama Firman? Tapi gue denger-denger Firman nerima dia karena terpaksa. Eh, udahannya Sinta malah marah-marah karna wallpaper hapenya Firman itu foto lo, Ci." Tunggu. Apa dia bilang?! "Firman anak kelas XII itu? Yang mukanya kece badai, halilintar bergelora?" Ulangku tak percaya, "Kok bisa dia masang foto gue?" "Dia naksir sama lo sejak lo masuk SMP di sini. Jadi dia mau putus dari Sinta. Makanya Sinta marah, pengen labrak lo, karena di bilang lo itu perusak hubungan orang." Apa? Perusak hubungan orang? Hei, aku ini memang artis. Hmmm... kesannya arogan ya? Tapi memang kenyataannya aku artis. Wajar saja jika banyak cowok-cowok di luar sana yang naksir padaku! "Ngobrol sama Firman juga gak pernah Tam. Demi apapun deh!" "Lo pikir gue nggak tahu?" Balas Tamara dengan embusan napas lelah. "Ya udah, itu doang sih yang mau gue kasih tahu ke lo, Ci. Intinya hati-hati ya!" Aku mengangguk. Bel masuk berbunyi, Tamara duduk di sebelahku, kemudian jam panjang pelajaran nan panjang itu di mulai. Semoga saja yang Tamara bilang barusan hanya angin lalu yang sekedar lewat atau seliweran begitu saja di hadapanku. Karena jika memang benar, pasti Sammy akan marah-marah! Biar aku perjelas dulu. Tamara, dia adalah satu-satunya sahabatku di sekolah atau bisa di bilang di dunia ini. Karena, sejak dulu, banyak anak lain yang datang dan pergi untuk menjadi temanku, hanya untuk mencari popularitas, atau sekedar numpang eksis depan kamera. Tapi, Tamara bukanlah orang yang begitu. Pertama kali aku mengenalnya adalah saat kelas lima SD. Kita pertama kali satu kelas, dan Tamara adalah anak bully-an yang sering jadi bulan-bulanan anak lain, khususnya cowok-cowok. Aku pun menemaninya, dan kala itu, Tamara benar-benar anak rapuh dan dia takut padaku. Waktupun berlalu dan aku malah menjadi teman akrab dengannya. Tentang Sammy... Bukan, dia bukan pacarku. Dia itu adalah asisten dan manajer multitalenta pribadiku yang paling aku sayangi. Gayanya memang seperti cowok preppy yang hobi memakai sweater dan topi fedora. Untuk ukuran cowok, Sammy tergolong cowok yang sangat cerewet. Well, aku bisa hidup sendiri dengan penghasilan yang kudapati di usiaku yang masih tiga belas tahun ini. Tapi aku tidak mau hidup tanpa Bunda, Eric, Ashley, dan Tamara. Oh, jangan lupakan Sammy juga. ----- Sorenya, aku pulang agak lebih telat dari jam biasanya. Klub perpustakaan baru selesai membereskan buku-buku dan barang lainnya saat jarum jam menunjukkan angka lima. Itu artinya, sekarang sudah jam lima sore, dan aku, baru keluar dari perpustakaan. Aku janji untuk bertemu dengan Sammy di Mr. Mustache, tempat langgananku untuk makan. Alasannya, karena pemilik Mr. Mustache adalah kakaknya Sammy, sehingga aku bisa dengan leluasa datang ke sana, tanpa takut akan ada media yang meliputku. Secara, lokasi Mr. Mustache sendiri tidak komersial, karena tempat ini memang di buat menampung orang-orang yang mengenal Si Penjualnya. Oke, mungkin kalian bingung. Intinya, hanya orang yang kenal dengan pemilik Mr. Mustache-lah yang boleh makan di sana. Baru dua langkah aku keluar dari lobby gedung SMP, aku merasa ada seseorang yang menarik rambutku dari belakang. "Aaa.." "Heh, enak banget lo ya! Main ngerebut pacar orang aja!" Ini pasti Sinta dengan bom waktu yang dia lemparkan padaku saat ini. Astaga, udah mau lulus aja masih demen ngelabrak adik kelas! "Aduh... lepasin dong. Aku gak ngerti maksud Kakak," kataku, memohon agar jambakkannya dilepas. "Firman mutusin gue! Dia bilang dia naksir sama lo, makanya dia mutusin gue!" "Pernah ngomongan sama aku juga nggak pernah Kak Firmannya. Masa aku mau ngambil pacar orang?" Sepertinya pertanyaanku itu tidak diindahkan oleh Sinta. Dia malah menjambak rambutku semakin keras. Keempat temannya yang lain mulai mengeluarkan isi tasku. "Mentang-mentang lo nganggep diri lo cantik, bukan jangan lo pikir bisa main ngambil pacar orang seenak jidat lo dong!" Aduh, demi apapun, ini benar-benar menyebalkan, dan aku benci karena harus berada di situasi menyebalkan seperti ini. Masalah cantik? Tentu saja aku cantik. Memangnya salah? "Lepasin, Sin!" Seru sebuah suara lain. Sinta dan keempat temannya yang lain melihat sosok lelaki tinggi, yang memakai seragam SMP. Aku tahu dia siapa, namanya Nico, kelas 8.4. Anak pintar, yang dijuluki Einstein. Katanya, nyaris dalam hal dan pelajaran apapun nilainya tidak pernah dibawah angka delapan. "Lima lawan satu itu nggak seksi banget buat cewek kayak lo." Nico melepaskan tangan Sinta yang tadi menjambak rambutku. "Apa lagi lawan lo, dia. Jelas lo kalah telak. Mending lo pergi sekarang." "Dih? Kenapa gue harus pergi? Lo tahu nggak? Gara-gara dia, Firman mutusin gue!" "Baguslah. Gue kira Firman mau selamanya dikatain 't***l' sama anak basket karena nggak mau mutusin anak sok eksis macam lo," jelas Nico. Penjelasan itu berhasil membuat Sinta merah padam, dan kesal. "Lo mau pergi, atau gue laporin konselor sekolah buat ngurus kejadian hari ini? Lo mau di skors karena nge-bully adik kelas?" Sinta menggeleng, kemudian keempat teman-temannya malah buru-buru kabur mengikuti Sinta yang pergi meninggalkan tempat kejadian perkaranya. Aku buru-buru memunguti barang-barang yang dikeluarkan oleh teman-teman Sinta tadi. Kalau mereka kira aku membawa alat-alat make-up ke sekolah, mereka jelas benar. Tapi aku tidak pernah meletakkan alat riasku itu di dalam tas. Aku selalu menaruh alat-alatku itu di loker. "Lo kenapa nggak ngelawan? Bukannya di sinetron lo sering ngejambak rambut orang?" Pertanyaan Nico membuatku geli sendiri. Rupanya dia tahu juga kalau aku ini spesialis peran antagonis. "Itu karena tuntutan skrip penulis naskahnya, bukan karena aku mau," kataku sekenanya. Aku bangkit berdiri dan menjulurkan tangan kananku untuk berjabatan dengannya, "Makasih ya." Nico hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah enggan sekali untuk berjabatan denganku. Walaupun begitu, aku menarik tangan kanannya, dan kami pun berjabatan. "Gue Alicia." "Gue tahu. Lo artis itu." Aku mengulum senyum, melepaskan jabatan tanganku. "Wih... keren. Tapi kok gue nggak pernah sekelas sama anak paling pinter seantero SMP ini sih?" "Lo tahu gue?" Aku mengangguk. "Adityo Nico Hartawan. Tahun pertama, menang juara melukis tingkat provinsi, sebulan yang lalu, lo menang lomba baca puisi tingkat provinsi. Belom lagi olimpiade fisika tingkat SMP di provinsi. Siapa yang nggak tahu lo?" "Jago juga lo nge-stalk gue." "Itu gue tahu dari Tamara juga." Aku bergumam pelan sambil menunduk. Perutku mulai keroncongan, karena lapar. "Hmm... lo laper nggak? Makan sama gue yuk?" "Makan sama lo?" "Yah? Plisss.... biar gue nggak makan sendirian." "Ogah." "Sebagai tanda kalo kita temenan aja gimana? Gue yang bayar deh, nanti biar nanti pulangnya bareng gue juga. Irit ongkos deh!" Aku meluncurkan puppy eyes andalanku. Ternyata berhasil! "Ya udah. Sekali ini aja. Jangan kira gue bakal mau makan mulu sama orang kayak lo." Aku cengengesan. "Siap!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD