Empat

1388 Words
Pov Marni Mas Anto telah pergi dua jam yang lalu, meninggalkan aku sendiri yang mulai merasa mengantuk. Bagiku, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, bahkan jika diajak untuk jalan-jalan, aku lebih memilih tidur seharian. Sebelum pergi, Mas Anto menyetrika bajunya sendiri, dia tak mempercayakan pekerjaan itu padaku. Bahkan setelah aku mencuci bajunya, dia mengulang lagi mencucinya. Mas Anto yang aneh. Walau bagaimana pun dia adalah suamiku. Aku menutup pintu dengan semangat, lalu masuk ke dalam kamar, apa lagi kalau bukan kegiatan yang paling menyenangkan. Tidur. *** Tiga hari sudah Mas Anto pergi, kami tak pernah saling telpon, karena lokasi penambangan minyak bumi dan gas Mas Anto tak memiliki sinyal. Aku tak masalah, asalkan dia pulang dua kali sebulan. Tiba-tiba pintu diketuk, seiring dengan berhentinya deru mobil. Kusibakkan gorden jendela. Mataku membulat sempurna. Ibu mertua. Kenapa beliau datang? Biasanya beliau datang jika Mas Anto pulang. Ibu mertuaku sudah sampai di depan pintu, seiring bunyi ketukan beberapa kali. Kubuka pintu dengan gugup. "Ibu," sapaku dengen senyum canggung. Ibu mertuaku masih memasang wajah dingin, mungkin kejadian rambut itu masih membuatnya marah. "Masuk, Bu!" Kubuka pintu lebar-lebar. "Kenapa berantakan sekali?" Dia berjalan, ke arah sofa ruang tamu. "Apa ini?" Dia mengangkat benda ajaib yang terletak di sana. Bra-ku. Aku panik, lalu mengambil benda itu dari tangan ibu. "Ya, ampun, ini rumah apa kandang kambing." Dia berjalan ke arah ruang makan, lalu menutup hidungnya sendiri, memang, aku lupa membuang sisa kuah lontong dua hari yang lalu. Ibu mertuaku bergegas meninggalkan ruang makan. Berjalan cepat menuju pintu ke luar, seperti mencari udara. "Marni, sini!" Aku menurut, ibu mematutku dari atas sampai bawah. "Kau kenal aku?" "Ibu, ibu adalah mertuaku." Aku meremas tanganku sendiri, keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku. "Jika aku mengajarimu, apa kau akan marah?" Aku menggeleng. "Kau pernah bercermin, Marni?" Aku mengangguk. "Apa kau sadar kau itu cantik?" Aku diam saja. "Sayangnya, tak terawat." Ibu mertuaku menatap ke arah rambutku yang belum kusisir. "Kenapa bisa rumah sekotor ini, ya ampun. Bra, kenapa bra bisa ada di atas sofa? Kumpulan piring kotor di atas meja yang tak dibereskan, apa guna tanganmu itu, ha?" Suara ibu mertuaku menggelegar, aku sampai memejamkan mata sejenak karena terkejut. "Kau mau tau sesuatu? Sebenarnya aku sama sekali tak setuju Anto menikahimu, setelah mendengar kebiasaan keluargamu yang jorok, akan tetapi, demi menjaga perasaan suamiku, kuterima kau dengen terpaksa. Setelah rambut di sop, sekarang bra di atas sofa, besok apa lagi? Celana dalam di atas meja makan?" Aku menunduk tak berani menatap wajah ibu yang memerah. "Anto anak kami satu-satunya, tentu kami ingin menantu yang terbaik, jika kau terpilih jadi menantuku, maka bersyukurlah, jangan bersikap tak tau diuntung." Aku merasakan hatiku sangat terluka dengen perkataan kasar ibu, kami memang jarang bertemu, namun tak kuduga, dia melimpahkan semua kekesalan kepadaku saat ini. "Lihat dirimu, Marni! Lihat Anto, coba ukur dirimu, jangan buat anakku menderita karena mendapat istri yang bahkan tak bisa membedakan mana yang layak atau tidak." Tak bisa kutahan lagi, aku menangis, tak ada orang yang sekasar itu padaku. Bukan aku yang memaksa pernikahan ini, tapi ayah Mas Anto. "Tak usah menangis, lebih baik kau sakit hati sekarang dari pada sakit hati di masa depan. Anto bisa saja bosan denganmu dan mencampakkanmu begitu saja." Ibu pergi, meninggalkanku yang masih tergugu dengan tangis. Aku menyukai Mas Anto, pernikahan ini membuatku kembali bersemangat hidup setelah ditinggalkan oleh ibu. Aku juga ingin seperti orang-orang, tapi aku belum terbiasa. Perubahan hari ini, pagi-pagi aku sudah menggosok gigi, kegiatan yang selama ini kuabaikan, aku bahkan membuang daster yang dibenci Mas Anto. Aku cuma lupa menyisir rambut, lupa menyapu rumah karena aku mengantuk. *** Kukira, ibu mertua akan datang di hari itu saja, nyatanya tidak. Ia datang lagi ke esokan harinya. Padahal aku berharap, dia tidak usah terlalu sering ke rumah, aku takut padanya. Aku menyiapkan hati dan telinga. Ibu mertua yang suka bicara apa adanya, walaupun ucapannya keluar menyakitkan. Aku tak biasa diperlakukan kasar. Bagiku, kesopanan berbicara adalah nomor satu. Aku ingin, setelah ibu tiada, jika mendapatkan mertua, bisa dijadikan sebagai ibu layaknya ibu kandung. Akan tetapi, ibu Mas Anto dan ibuku bagaikan bumi dan langit. Ibuku selalu tersenyum, suaranya pelan dan ramah, dia tak pernah mencaci atau pun memaki, dia selalu bertutur kata sopan dan santun. Bagaimana caranya aku bisa menganggap ibu Mas Anto bagaikan ibuku sendiri? Saat ini, bahkan ketika baru saja aku membukakan pintu rumah, wajah sinisnya kembali menyapa. "Kau sudah menyapu rumah?" tanya dia tanpa basa-basi. "Sudah, Bu." "Tapi tidak bersih, pasir masih terasa di telapak kakiku. Apa kau sudah memegang sapu dengan benar?" Aku menunduk. Tentu saja aku sudah memegang sapu dengan benar. Ibu mertuaku berjalan ke arah meja makan, lalu menoleh padaku. "Piring kotor masih di atas meja? Tak diangkat?" "Itu ... Piring tadi pagi, bukan piring kemaren." "Apa bedanya piring tadi pagi dengan piring kemaren, toh sama-sama kotor." Aku bergegas mengambil piring itu, lalu meletakkannya ke dapur, tepat di atas meja kecil untuk meletakkan dispenser. "Bukan di situ tempatnya!" Suara Ibu meninggi. Aku sampai kaget. Dengan gemetar, aku mengangkat piring itu kembali ke westafel. Ibu masih berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. Wajahnya menegang, seperti belum puas marah-marah. "Hei, dengan tumpukan piring begitu, apa matamu senang melihatnya?" "Itu, piringnya belum banyak." "Apa? Astaga, jadi kau tunggu piring itu setinggi gunung dulu, baru kau cuci? Wanita sejenis apa yang dinikahi Anto." Ibu mengata-ngataiku tanpa perasaan, rasanya sangat sakit, aku membalikkan badan, menghadap ke westafel yang sudah diperbaiki, tanganku masih menggigil karena kerasnya bentakan ibu. Tanpa sadar, satu piring yang berada di tanganku yang penuh busa, meluncur dan jatuh ke lantai, pecah berderai. "Marniiii ...." Suara lengkingan ibu menjadi, aku tak tau harus apa, dengan kalut kupungut pecahan piring itu tanpa sadar telah melukai jariku sendiri. Rasanya sakit, tapi lebih sakit di dalam sini, di hatiku. Aku rindu ibuku, yang tak pernah meninggikan suaranya padaku, aku rindu saat dia berkata, bergaul lah penuh kasih sayang dan jangan pernah menyakiti hati orang lain, aku Rindu saat ibuku tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa jika aku melakukan kesalahan. Saat rindu itu menyesakkan d**a, aku tak punya tempat untuk pulang. Ibu mertua dan Mas Anto, memperlakukanku bagaikan orang asing. *** Ibu pulang beberapa jam kemudian setelah mendikteku ini dan itu, dia mengatakan, apa fungsiku kalau tak bisa melakukan pekerjaan rumah, jika hanya makan dan tidur, kucing pun lebih hebat. Bahkan, ibu menyamakan aku dengan binatang. Perasaan terluka itu makin menumpuk di dalam hatiku. Sebelum pergi, Ibu mengatakan, berhubung besok tanggal merah berturut-turut selama dua hari, biasanya Anto akan pulang. Kegugupanku makin menjadi, belum selesai ceramah panjang ibu mertua, akan disambung oleh ceramah Mas Anto. Tak ada lagi tidur siang, seperti kata ibu, sebelum Anto datang, aku harus berdandan. Berdandan, aku tak pernah mencobanya dalam hidupku, namun sempat beberapa kali memperhatikan orang merias pengantin. Aku punya beberapa peralatan berdandan, yang masih utuh. Mas Anto yang membelikannya. Ibu bilang, Mas Anto akan sampai kira-kira menjelang Maghrib. Waktu yang sedikit kugunakan untuk mandi dengan air hangat, karena aku sangat tidak suka dengan air dingin. Setelah mandi, kupakai daster yang baru. Lalu membuka peralatan berdandan itu satu persatu. Setelah memakai bedak sebisanya, aku mengamati benda yang kutahu namanya adalah pensil alis. Aku harus mencobanya, sebisaku, memakai lipstik pun sebisaku. Tak lama kemudian, mobil Mas Anto menderu. Aku gugup luar biasa. Seiring dengan ketukan pintu dari luar. Kulangkahkan kaki ke arah pintu, membukanya lalu menemukan wajah lelah Mas Anto. Aku tersenyum sambil menunggu reaksinya. Mas Anto tercengang, dia terpaku sejenak, aku pikir dia terpaku melihatku menjadi cantik. Akan tetapi apa yang terjadi setelah itu? dia terbahak, tertawa sambil memegang perutnya. Tawa yang tak pernah kulihat selama ini. "Ya, ampun, Marni, apa yang kau lakukan dengan wajahmu? Hapus lipstikmu, alismu tidak lurus. Cuci mukamu sekalian, ada-ada saja." Aku terdiam, seiring dengan perasaan sesak yang tak bisa kujelaskan. Berpuluh menit aku menghabiskan waktu di depan cermin untuk memoles wajahku, lalu Mas Anto malah menertawakanku bagaikan melihat topeng monyet. Dia bahkan sama sekali tak menoleh lagi ke belakang, berjalan lurus ke arah dapur. Rasa sesak yang kutahan dari tadi sejak kedatangan ibu, meledak sudah, aku tak mampu menahan tangisku sendiri. Aku merasa sendiri, tak ada yang peduli, bahkan saat aku berniat berubah dan menuruti perintah ibu, sedikit pun Mas Anto tak menghargainya. Bahuku terguncang, tangis tanpa suara. Tak ada tangan lembut yang menyentuh bahuku seperti dulu, tak ada suara lembut yang mengatakan, air mata terlalu berharga menangisi dunia. Aku sendiri, benar-benar sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD