Tiga

1237 Words
Banyak hal yang tak kumengerti tentang Marni, dia tak pernah terbuka dalam berbagi hal. Padahal, awal pertama aku memberikan gajiku padanya, aku sudah mengatakan, silahkan atur keuangan di rumah ini. Aku takkan mencampuri uang yang telah kukasih ke Marni, dia bisa gunakan uang itu untuk apa saja. Membeli baju, membeli bedak, ke salon, terserah. Akan tetapi, sekali lagi, Marni tak punya inisiatif. "Jumlahnya lima puluh lima juta," kataku memperlihatkan uang yang ada di dalam kotak plastik yang sempat tersenggol kemaren. Kurapikan kembali, setelah sempat berserakan. "Aku telah memberimu nafkah selama tiga bulan, total semuanya enam puluh juta. Bersisa lima puluh lima juta, artinya dalam tiga bulan, hanya lima juta yang kau pakai. Padahal kau bisa saja membeli baju bagus, peralatan rumah, atau merawat dirimu ke salon. Kenapa?" Setelah sarapan pagi, aku mengajak Marni duduk berdua. Tentu saja setelah menyaksikan dia memasak secara langsung, walau sempat ku-omeli beberapa kali, tapi aku bisa memastikan yang kumakan bersih. "Itu, aku ingin menabung, Mas." "Menabung? Bagus, tapi bukan dengen cara menyiksa diri. Rumah ini sudah milik kita, kendaraan ada, buat apa kau memaksakan diri berhemat sebanyak itu." "Aku ingin, adik-adikku punya rumah bagus." Aku terdiam. *** Sebelum berangkat ke luar kota untuk bekerja kembali, kusempatkan untuk datang ke rumah keluarga Marni. Leni menyambutku santun. "Silahkan masuk, Mas!" katanya. Aku masuk. Bau aneh tercium di hidungku, entah apa. Aku merasakan lantai semen yang kupijak lengket bercampur pasir. Leni buru-buru menyingkirkan toples yang terletak di atas Sofanya yang warnanya tak bisa kupastikan apa. Krem? Bukan, coklat, juga bukan, kelabu? Entahlah, banyak warna, atau malah karena kotor. Aku duduk di tempat yang lumayan bersih dari satu sofa yang berisi toples tadi. Kuamati rumah itu, pakaian bergantung di sana sini, plastik bekas makanan berserakan, ada juga gelas kotor yang dibiarkan menumpuk di sudut ruang tamu. Aku tau bau apa ini, bekas makanan yang lalat mulai berkerumun di sana. "Tunggu, ya, Mas! Leni bikinkan minum." "Tidak usah," cegahku, melihat Leni, aku seperti melihat Marni, dia berantakan, bahkan aku melihat kukunya yang panjang dan ... Hitam. Perutku bergejolak lagi. Sepertinya, dari sinilah sifat jorok itu berasal. "Mana adik-adikmu?" "Belum pulang sekolah, Mas." Aku mengangguk, aku pernah mendengar, bahwa Leni tak lagi melanjutkan sekolahnya setelah tamat SMP beberapa tahun yang lalu. "Aku ke sini, mau melihat apa yang perlu direnovasi di rumah ini." Leni tersenyum tak enak. "Eh, Leni nggak enak, merepotkan Mas." "Tidak, kok. Kalau begitu, boleh aku melihat-lihat?" Leni mengangguk semangat. Pengamatan dimulai dari ruang tamu yang seperti kapal pecah. Kulihat ke atas, plafonnya memang harus diganti, ada bekas bocor yang sudah membuat plafon menjadi lapuk. "Boleh kulihat kamar kalian?" Wajah Leni memerah, tapi dia tetap saja membuka pintu kamarnya walaupun ragu. Aku sampai beristighfar di dalam hati. Bagaimana kamar seorang gadis bisa seperti ini? Bahkan piring kotor berada di atas kasur, bercampur dengan pakaian, selimut dan ... Pembalut. Niat hati ingin melihat apa yang perlu direnovasi, malah membuat mood-ku terbang jauh. Aku berusaha menyebarkan hati, bersiap untuk melihat yang paling rentan joroknya. Dapur. Dugaanku tidak salah. Tumpukan piring, kain kotor berserakan di atas lantai, bahkan mataku menangkap, sebuah celana dalam yang dikotori darah. Leni buru-buru mengambil benda itu. Lalu menyembunyikannya ke bawah tumpukan kain kotor. "Baik, tunggu saja orang yang akan merenovasi beberapa hari lagi." "Baik, Mas. Terimakasih." Aku pergi, aku butuh udara segar. Bayangan joroknya rumah Marni, terbayang-bayang di kepalaku. Sepertinya, jorok adalah kebiasaan keluarga Marni. Sehingga dia nyaman dengan keadaan seperti itu. Tak merasa bersalah, tak merasa terganggu karena itu pemandangan sehari-harinya. *** Pov Marni Aku Marni, kakak dengen enam orang adik. Adikku tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat dia tak mampu bertahan karena penyakit paru-parunya. Sedangkan ibu, menyusul lima tahun kemudian. Setelah kematian ayah, ibu seperti kehilangan semangat, mereka tak pernah berpisah, ke ladang sama ke ladang, di rumah pun seperti teman akrab. Ibu yang awalnya sehat, mulai sakit-sakitan, badannya kurus dan susah makan. Hingga beberapa tahun kemudian ibu menyusul ayah. Tak ada yang istimewa denganku, hari-hari kuhabiskan di rumah, berkutat dengan dapur, aku terbiasa memasak dalam porsi yang banyak, karena banyak mulut yang akan makan di rumah kami. Kami punya ladang sawit, lumayan luas, hingga saat ayah ibu tiada pun, kami tak perlu memikirkan uang bulanan. Akan ada orang yang mengantar ke rumah uang hasil panen sawit kami. Sejak kecil, ibu dan ayah tak pernah mengarahkan apa pun, semua terjadi secara alami. Beliau pergi pagi pulang petang. Yang jelas, kami diberi tanggung jawab masing-masing dan tak diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan tanggung jawab kami. Kami bahagia, walau pun banyak tetangga yang enggan ke rumah kami, atau saat kami menjadi gunjingan karena rumah yang berantakan. Kami biasa dijauhi orang, kami juga biasa melihat saat orang-orang menghindar ketika ibu membawa kami menghadiri pesta. Kata ibu, jangan terlalu mendengarkan ucapan orang, yang penting kalian kakak beradik saling menyayangi. Jangan menyakiti satu sama lain, karena bagaimana pun, hanya saudara yang bisa diandalkan untuk masa depan. Kami hampir tak pernah bertengkar, kami bertanggung jawab dengan tugas kami sendiri. Tanggung jawabku, memastikan ada nasi dan ada lauk untuk dimakan. Ayah dan ibu lembut, tak pemarah, tak pernah memukul atau menghukum anaknya. Mungkin karena beliau merasa, kesempatan bersama anak-anaknya tidak lama, buktinya mereka meninggal di usia yang masih muda. Sebuah takdir yang tak terbayangkan sama sekali. Umurku dua puluh enam tahun, tak punya teman, jarang keluar rumah. Bahan-bahan yang akan dimasak, akan diantar oleh langganan ibu dulu. Aku tak pernah ke pasar, bahkan dulu yang membelikan pakaian dalam kami adalah Ayah saat beliau ke pasar membeli beras berkarung-karung. Katakan aku bodoh, iya. Aku terbiasa dikurung di rumah yang berukuran tiga belas kali dua puluh meter, temanku hanya adik-adikku. Kami akur dalam semua hal, sama kebiasaan dan sama selera. Saat ibu pergi, saya itulah kami sangat terpukul. Bahkan adikku yang paling kecil, Usman, masih berumur sepuluh tahun. Dia sangat manja pada ibu, bahkan setiap malam menangis sambil memeluk baju ibu yang telah tiada. Dua bulan pertama kepergian ibu, adalah saat-saat yang sangat berat, kami saling memeluk untuk menguatkan. Berjanji akan selalu bersama di masa depan. Ibu berpesan padaku, kehidupan tiada yang tahu. Saat ini kaya, besok bisa jadi miskin. Jika punya uang, bukan berarti harus berfoya-foya. Tetaplah menjadi dirimu seperti saat sebelum punya uang, karena bisa jadi, saat jatuh miskin, belum tentu ada orang yang akan meminjamkan beras. Hidup kami sederhana, tidak kaya dan tidak miskin. Ibu dan Ayah mewariskan ladang sawit yang cukup luas. Namun, setelah Ibu dan Ayah tiada, hasilnya dibagi dengan pengelola. Sehingga uang yang sampai ke tangan kami, hanya cukup untuk biaya adik beradik, tak bisa lagi untuk ditabung. Leni lah yang memegang uang setelah aku menikah. Ibu benar, takdir tak ada yang tau, termasuk menikahnya aku dengen anak Haji Mahmud, Mas Anto. Aku hanya mengenal Mas Anto sekilas, saat masih kecil-kecil dulu. Haji Mahmud adalah toke sawit yang kaya, dia sering membeli hasil kebun Ayah, kadang-kadang kumelihat Mas Anto ikut mengantar ayahnya. Sudah lama sekali, saat kami masih kecil-kecil. Ah! Mas Anto, membayangkan dirinya aku tersipu. Terkadang masih bermimpi bisa menikah dengan orang yang selama ini menjadi idaman orang tua para gadis. Dia laki-laki yang tampan, kulitnya bersih, pembawaannya tenang, yang paling mempesona adalah hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Tak ada kurangnya Mas Anto. Setiap berpapasan denganku, aku selalu menghirup wanginya yang berceceran. Terkadang masih bermimpi, bisa menikah dengan Mas Anto, walaupun sampai saat ini, dia belum menunjukkan gelagat tertarik padaku. Mungkin benar ucapan Mas Anto, aku tak menarik, tak pantas mendapatkan laki-laki sepertinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD