Dua

1150 Words
"Mar, nanti sore ibu datang," kataku pada Marni. Dia terlihat kelelahan, padahal tugasnya hanya mencuci piring. Dia tak pernah mengerjakan pekerjaan berat, apa jadinya jika dia ikut mencari nafkah seperti istri orang-orang. Mungkin karena dia terbiasa malas, saat bergerak sedikit saja, dia merasa sudah kehilangan energi. Aku baru saja beristirahat setelah tiga jam membersihkan rumah tanpa henti. Banyak benda ajaib yang kutemukan, salah satunya celana dalam bekas pakai milik istriku yang bernama Marni. Rasanya ingin marah, tapi aku ingat nasehat ayah, sabar. Bagiku, celana dalam yang sudah dipakai, harus langsung dicuci dan dijemur, bukan diletakkan di sembarang tempat. Aku mengusap wajahnya, tubuhku lelah, tapi yang lebih lelah adalah hatiku. Kesalahan apa di masa lalu yang dibuat, sehingga aku dihukum dengan kenyataan, mendapatkan istri seperti Marni. Marni panik. Dia memang agak takut dengan ibuku, ibuku bukan pemarah, tapi tegas. Dia akan mengatakan sesuatu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Satu lagi, ibuku memiliki kebiasaan yang bertentangan dengan Marni, ibu pecinta kebersihan, untung saja kami tinggal terpisah, kalau tidak, entah apa yang terjadi. "Ibu? Wah, kita masak apa?" Dia langsung bangkit. Sedikit panik, terlihat dari gesture tubuhnya yang meremas jarinya satu sama lain. "Sebelum masak, kamu mandi dulu, aku tak mau kamu pakai baju yang ini lagi, rambut kamu yang panjang, kalau cuma bikin ribet, dipotong saja, dari pada digulung-gulung begitu." Aku berharap, tak ada kutu di sana. Membayangkannya saja, kepalaku gatal. "Baik, Mas." Marni mengangguk. Dia masuk ke kamar mandi. Meninggalkan aku yang menghela nafas panjang. Lihat itu, baru saja rumah kurapikan, Marni sudah meletakkan gelas bekas pakainya di atas meja makan yang tadinya sudah kosong dan bersih. Apa salahnya dia letakkan ke westafel kembali. Dengan terpaksa, kubawa gelas bekas Marni ke westafel, langsung mencucinya dan meletakkannya ke rak piring. Marni pintar memasak, masakannya enak, dia juga suka membuat makanan seperti cemilan. Saat memasak, aku melepaskannya bekerja sendiri, karena aku tak berbakat dalam memasak, tapi berbakat bersih-bersih seperti ibu. Satu jam kemudian, ibu dan ayah datang. Aku cukup puas karena mencium aroma sedap dari dapur. "Silakan masuk, Bu!" sapa Marni sambil menyalami ayah dan ibuku. Mata ibu mengamati sekeliling lalu mengangguk puas. "Gimana kabarmu?" tanya Ibu pada Marni. "Alhamdulillah, saya sehat." "Sudah isi?" Ibu bertanya tanpa basa-basi. Aku dan Marni saling tatap. "Eh, itu, belum," sahut Marni kikuk. "Namanya belum rejeki, nggak apa, berusaha aja terus. Kamu juga, Anto. Pulang sesekali, pandai-pandai memanfaatkan waktu." Nah, begitulah ibu, aku sampai segan dengan Ayah. Mau menjawab, bagaimana mau mencari waktu, baru sampai setelah bekerja di luar kota selama dua Minggu, setiba di rumah, malah mengepel lantai. Akan tetapi, semua itu takkan kukatakan pada ibu, kasihan Marni. "Masak apa, Mar? Baunya harum." Senyum Marni merekah. Dia tersanjung. Ibu dan ayah langsung duduk di meja makan. "Masak sop, Bu. Sebentar, saya ambilkan." Marni bergegas ke dapur, membawa sejumlah piring dan semangkok besar sop daging. Ibu tak berlebihan memuji aroma masakan Marni. Aromanya membuat perut lapar. Ibu menyodorkan piring pada Ayah dan padaku. Ayah diberi kesempatan mengambil nasi lebih dulu, lalu menuangkan sop ke piringnya. Benar, rasanya enak. "Enak," kata Ayah. Senyum Marni makin merekah. Kami makan dalam diam. Tiba-tiba. "Apa ini?" Ibu mengangkat sendoknya. Di sana, rambut dengan gulungan kecil sudah menyatu dengan kuah sop. Aku memandang Marni yang memucat. Sementara Ayah langsung menelungkupkan sendoknya. Ibu mendorong piringnya menjauh, suasana sunyi langsung melingkupi kami. "Kenapa ada rambut? Apa pancinya tidak dicuci? Apa air yang digunakan memasak, dipastikan air bersih?" tanya Ibu. "Untung aku yang menemukan rambut di masakanmu, kalau sempat orang lain, kau akan menjadi gunjingan, Marni." Marni tergagap, matanya berkaca-kaca. Aku lebih memilih diam, tak ada gunanya membela Marni yang lalai dan ceroboh. Setelah itu, keceriaan berubah hening, setengah jam kemudian, Ayah dan Ibu pamit untuk pulang. Dengan masih memandang dingin pada Marni. *** "Apa itu tadi? Rambut di dalam sop." Aku mengusap wajah kasar. Mungkin aku bisa memahami Marni, tapi ibu, ibu bukan orang yang pemaaf. Dia bisa jera, bahkan takkan lagi memakan masakan Marni seumur hidup. "Maaf, aku ... Aku ... Aku hanya menggunakan panci yang ada di bawah kolong ... Itu ... Itu ...." Marni tergagap, dia hampir menangis. "Kau sudah memastikan benda itu bersih?" "Dulu, dulu sudah dicuci, pasti bersih." "Dulu? Kapan? Jadi kau gunakan panci yang sudah lama tidak dipakai tanpa mencucinya, aku tak tau kau seceroboh itu, Marni." "Maaf," katanya menangis. "Kau selalu mengatakan maaf, tapi tak pernah berubah. Haruskah semua pekerjaan itu diarahkan dulu? Apa kau tak punya inisiatif? Keran yang rusak, bukankah kau punya kaki dan punya uang untuk mencari tukang service, kenapa menungguku yang jelas-jelas tak di rumah? Apalagi yang kurang, Marni. Aku tak menuntutmu bekerja, aku memberikan uang yang cukup, apakah aku juga yang harus mengarahkan ke mana uang itu harus digunakan? Bukankah kau seorang istri, yang harus pintar mengatur keuangan?" Kutumpahkan semua kekesalan di dalam hatiku, rasanya, lelah di perjalanan selama empat jam dari luar kota belum selesai, sampai di rumah, aku bekerja ini itu, pekerjaan yang harusnya dilakukan Marni. Setelah itu, ibu datang, lalu ibu menemukan rambut di dalam sop, letihku sempurna sudah. Marni masih menangis. "Apa yang kau lakukan dia Minggu ini di rumah? Sampai-sampai panci dijadikan sebagai pengganti piring untuk makan?" "Aku ... Aku ... Tidur, Mas." "Kau sakit?" Marni menggeleng. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kau begini?" "Tugas bersih-bersih bukan tugasku." "Apa maksudmu?" Aku tersinggung, apakah secara tidak langsung dia mengatakan bahwa selain mencari uang, bersih-bersih adalah tugasku juga? Keterlaluan. "Dulu, di keluargaku, tugasku cuma memasak, bersih-bersih tugas Fatimah, mencuci piring tugas Leni, mencuci pakaian tugas Irma." Dia membalas tak kalah panjang. Aku menggeleng tak percaya. "Apa? Lalu tugas itu saat ini, aku yang menggantikan, begitu? Ya, ampun, kenapa ada istri sepertimu, Marni?" "Aku tau aku salah. Tapi ...." "Tapi, kau tak mau berubah." Aku mendengkus, meninggalkan Marni sendiri. Aku butuh udara untuk mendinginkan kepalaku sendiri. Kata ayah, dia baik. Kuulang kalimat motivasi itu di dalam hatiku, bagiku, baik dari segi Tutur kata saja tidak cukup. Aku tak berharap banyak pada Marni, tak pernah menuntut apa-apa. Selayaknya manusia normal, tentu suka istrinya dalam keadaan rapi, cantik, rumah bersih, masakannya terjaga kebersihannya. Sayangnya, semua itu tak asa pada Marni. *** Malam datang, sejak tadi sore kami belum bertegur sapa. Kukira Marni sudah sadar dengan apa yang tidak aku sukai. Kenyataannya, dia memakai kembali daster kumal itu untuk tidur. Aku hanya mendapatkan kesempatan sekali dalam dua Minggu untuk tidur dengannya. Tapi yang dilakukan Marni, sama sekali tak menggugah seleraku. "Kau sudah gosok gigi?" Dia menggeleng. Gosok gigi, bukankah itu rutinitas wajib yang harus kita lakukan? "Astagfirullah." Aku lelah. Kata Ayah, sabar, sampai kapan? aku lelah. Lelah dengan wanita ini. Yang nyaman dengan gigi yang belum digosok. "Gosok gigimu, jadikan daster kumal itu sebagai kain lap, jika besok aku masih melihatnya, aku akan membakarnya." Marni bangkit, masuk ke kamar mandi. Aku tak tau pasti, berapa lama dia ada di dalam sana. Karena terlalu lelah, aku tertidur. Untuk kesekian kalinya, segel perjaka belum juga tanggal dari diriku, karena joroknya wanita yang bernama Marni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD