Satu

1120 Words
Pernikahan, adalah impian bagi manusia yang normal. Apa yang lebih membahagiakan, selain hidup dengan orang yang kita cintai, memiliki rumah yang nyaman dan rapi. Serta istri yang rupawan. Andai saja, pernikahan seindah itu, tapi kenyataan jauh dari hayalan. Kuletakkan tas kerja di atas sofa. Perut rasanya sudah perih karena kosong. Bahkan ulu hati sudah terasa nyeri. "Mar, aku mau makan, satu pun tak ada piring bersih." Aku berkacak pinggang. Pemandangan ini lagi, yang mulai aku akrapi sejak menikah. Rak piring kosong, hanya menyisakan beberapa mangkuk yang tentu saja tak bisa digunakan untuk makan. "Iya, belum dicuci," sahutnya, dia muncul dari arah dapur, dengan daster bergelimang tepung. Ya, ampun, apa di rumah ini tidak ada lap tangan? Sampai-sampai dia menjadikan dasternya sebagai lap? tak ada bayangan istri rupawan dalam hayalan, yang ada hanyalah ... ah sudahlah! Aku membarut d**a. Sabar. Aku mendecakkan lidah, dua Minggu kerja di luar kota, pas pulang, mendapatkan kejutan, rumah seperti kapal pecah, panci sudah berada di ruang tamu, kain berserakan di sana sini, dan ... Aku langsung mual. Saat kulihat, westafel dengan piring kotor, dikerumuni binatang menjijikkan. Belatung. "Huweeek." Aku berlari ke kamar mandi, perut kosong, tapi masih memuntahkan air. Binatang apa itu tadi? sejak kapan mereka berpesta pora di sana, pasti Lalat sudah hinggap sejak lama sehingga telurnya menetas menjadi ulat. "Mas, kamu kenapa? Sakit?" tanya dia tak bersalah. Menyebalkan, sangat menyebalkan. Sakit katanya? Ya Tuhan. Aku memandangnya kesal. Makhluk ini, bukan cerminan seorang istri. "Itu, piring sudah berapa lama tak dicuci?" Aku masih berusaha menahan suaraku agar tak terdengar membentak. "Hehehe." Dia tersenyum bodoh, memuakkan. "Kerannya rusak." "Kan, bisa diangkat ke kamar mandi, bisa cuci di sana. Di kamar mandi juga ada air, Mar. Apa kau tak bisa gunakan akalmu untuk berpikir? Ya ampun." Aku berlalu, berusaha menahan mataku agar tak melihat ke westafel. Entah apa saja kerjanya di rumah, kami masih terhitung sebagai penganten baru, baru tiga bulan menikah. Aku bekerja di luar kota di perusahaan Migas. Gajiku lebih dari dua puluh lima juta sebulan dan dua puluh jutanya kukasih ke dia. Lalu apa ini? Bukannya bisa melepas lelah saat di rumah, aku malah tidak betah. Rasa lapar langsung hilang, berganti dengan rasa aneh di perutku, apalagi terbayang binatang menjijikkan yang sudah berpesta pora di westafel. "Sampai kapan kamu mau begini, Marni? Setidaknya, bersihkan rumah, cuci piring dan bersihkan dirimu, apa kau nyaman dengan kamar seperti ini?" tanyaku, mataku menangkap selimut masih bergulung dan alas kasur yang sudah tanggal dari tempatnya. "Maaf, Mas." Dia menunduk. Aku menghela nafas, jangan salahkan aku yang tak pernah menyentuhnya, baru mendekat, aku sudah kehilangan selera. Saat mencium bau yang tidak sedap dari tubuh istriku, yang bernama Marni. Tak ada pernikahan yang indah, tak ada rumah yang rapi, tak ada istri yang rupawan, yang ada hanya kebiasaan yang selalu membuatku muak padanya. Pada wanita yang bernama Marni. *** Dari pada pergi dari rumah, aku memilih mengerjakan pekerjaan rumah itu saat ini, bahkan mengabaikan perut yang makin perih. "Ayo, bergerak, Marni! Aku tak bisa melihat rumah begini." Aku mengacak rambutku kasar. Marni masih bingung sambil memilin ujung dasternya. "Donatnya, belum jadi." Dia menjawab tak bersalah. "Siapa yang mau donat?" tanyaku kesal. Dengan keadaan seperti ini, dia masih memikirkan donatnya. "Mas, kan?" dia berkata agak terbata. "Aku sudah nggak selera. Sekarang, tugasmu, mencuci piring, pastikan tak ada satu pun binatang itu tertinggal, angkat piringnya ke kamar mandi. Ya ampun, aku sudah percayakan semua padamu, karena aku jarang di rumah." Aku mengambil sapu, bingung mau memulai dari mana, bahkan, satu sampah yang kulihat dua Minggu yang lalu, masih tergeletak di tempatnya. Artinya, sudah dua Minggu juga Marni tidak menyapu rumah. "Marniiii," panggilku. "Ya, Mas," sahutnya berlari ke ruang tamu, tangannya masih dipenuhi busa. "Ini, bersih apa kotor?" Aku menunjuk tumpukan pakaian yang teronggok di sofa. Ada juga pakaian di kursi meja makan. "Ada yang bersih, ada yang kotor." "Kita anggap kotor semua," kataku mengangkat tumpukan kain itu, memasukkannya ke mesin cuci. Bahkan satu pakaian dalam yang digunakan dua Minggu lalu, masih terdapat di mesin cuci. Sabar, sabar, itulah pesan ayahku, jika menghadapi istri. Akan tetapi, sampai kapan aku bersabar? Walau jengkel, dengan cekatan aku melipat pakaian yang masih berada di jemuran di belakang ruman, kain dua Minggu lalu. Pakaian yang kulipat, kuletakkan di lemari, tak sengaja aku menyenggol kotak plastik yang diletakkan oleh Marni secara asal. Tumpukan uang, berhamburan jatuh ke lantai. Banyak sekali, semuanya pecahan seratus ribu. Aku sampai terkejut bukan main. Uang apa itu? aku tau betul Marni tak bekerja, dia hanya ibu rumah tangga yang tak menjalankan fungsinya sebagai istri. Lalu, yang sebanyak ini? dari mana? *** Namaku Anto, umur tiga puluh enam tahun, cukup terlambat untuk menikah. Aku tak punya waktu untuk mengenal perempuan di dalam hidupku. Sibuk bekerja di luar kota dan hanya bisa libur sekali dua Minggu. Masih ingat percakapan dengan ayah, sebelum aku menikahi Marni. "Anto, sudah bertemu jodoh?" "Belum, Yah. Saya, kan, sudah percayakan sama Ayah," sahutku sungguh-sungguh. "Kalau menurut ayah baik, pasti dia baik." Ya, selalu itu jawabanku pada Ayah. Aku memiliki keyakinan, apa yang dipilihkan orangtuaku pasti baik. "Baiklah, ada seorang gadis, dia baik, sopan dan ramah." Ayah menampilkan senyum wibawanya. "Benarkah, Yah?" Aku pura-pura tertarik. "Benar, Ayah pikir, jika kamu menikah dengannya, kamu juga bisa membantu hidupnya, dia gadis yatim piatu dengan enam orang adik." Mata Ayah menerawang, seperti menyimpan sesuatu di sana. Entah apa. "Siapa dia?" Aku mulai penasaran, tak biasanya Ayah antusias terhadap sesuatu, jika itu terjadi, pasti itu sangat berkesan sekali baginya. "Marni." Aku mengerutkan kening, belum pernah mendengar namanya. Atau mungkin karena aku jarang bergaul. Akan tetapi, mendengar dari namanya, dia pasti gadis desa. Kalau orang kota, namanya lebih modern. "Adik-adiknya di mana?" "Di sebuah rumah peninggalan orang tua mereka." "Saya percaya, pilihan Ayah tidak akan salah." Aku menjawab dengan penuh keyakinan. Begitulah percakapan kami waktu itu, Ayah tidak salah mengatakan bahwa Marni adalah wanita yang sopan dan lembut bicaranya, dia sama sekali tak pernah meninggikan suara, saat diajak bicara pun, dia lebih banyak menunduk dari pada menatap mataku secara langsung. Akan tetapi sifat pemalas dan joroknya tak bisa kutoleransi. Aku mengira, bahwa wanita itu akan betah dengan rumah yang bersih, pakaian yang rapi atau suka berdandan. Akan tetapi, Marni berbeda. Dia lebih suka memakai daster kumal yang itu itu saja, rambutnya diikat asal, wajahnya tak pernah dipoles bedak. Sebenarnya Marni cantik, hanya saja ... jorok. Memang, di awal menikah saat malam pengantin kami, Marni nyaman langsung tidur dengan dempulan tebal di wajahnya, tanpa membuka bulu mata palsu, bahkan tanpa menggosok gigi. Kami yang hanya bertemu sekali, tentu belum sedekat itu untuk saling berkomunikasi. Aku juga sungkan menyuruhnya untuk membersihkan diri malam itu, takut dia tersinggung. Marni baik, tapi apakah baik saja cukup untuk pernikahan kami? Berulang kali aku menasehatinya, sampai saat ini, dia belum berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD