Delapan

1196 Words
POV Marni "Eh, Marni, tumben keluar dari sarang," sapa seorang wanita muda yang kutak tahu namanya, teman-temannya yang lain menatap ka arahku, dengan pandangan yang sama. Pandangan mengejek. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan mereka. Sarang, bukankah itu sebutan untuk tempat tinggal binatang, lantas kenapa istilah itu disematkan padaku, aku hanya bisa menahan hati dan pikiranku. Jangan tersinggung, jangan menangis. Memang, selama tinggal di sini, aku tak pernah keluar rumah. Segala kebutuhan rumah tangga, sudah ada yang mengantar. Entah dengan alasan apa, Mas Anto sengaja memberhentikan dia yang biasa ke pasar dan membantu membelikan kebutuhan rumah tangga. Saat ini, aku kehabisan sabun cuci. Warung sebenarnya dekat, hanya dipisahkan tiga rumah dari rumah kami. Terpaksa kupergi ke sini. Entah mengapa, mereka kenal dengan namaku, sedangkan aku sama sekali tak mengenal mereka. Seingatku, aku pun tak pernah memperkenalkan diri. Aneh. "Kirain, lagi teler karena hamil muda, makanya takut kena cahaya matahari," tambah seorang wanita muda berdaster ungu. Bibirnya bergerak lincah, khas orang yang suka bergosip. "Bukan hanya takut melihat matahari, dia juga takut melihat orang," timpal ibu-ibu berbaju blus putih. Dia menimpali dengan semangat. "Ah, berarti sama seperti vampir. Hahahaha." Gelak tawa yang memuakkan. Apa ini khas ibu ibu di sini? kumpul-kumpul tak tentu arah sambil bergosip, atau malah lebih parah lagi, menghina orang lain. Aku memang jarang keluar rumah, tapi dikatai Vampir, jelas sangat keterlaluan. Mereka tertawa. Rasanya ingin kembali saja ke rumah, akan tetapi, peraturan di rumah yang baru kusepakati dengan Mas Anto, harus dijalani. Mencuci setiap hari, sedangkan sabun cuci sedang habis. "Hei, kenapa berdiri saja di sana, ayo! Bergabung ke sini, kami mau tanya-tanya," kata wanita berdaster ungu itu kembali. Tatapannya menggoda, penuh bujuk dan rayu. Aku tak punya pilihan selain melangkahkan kaki, mereka tengah duduk-duduk di bangku warung. Baru aku tahu, orang-orang yang suara tawanya sampai kedengaran ke rumah, ternyata inilah orangnya. "Mbak, beli sabun cuci satu," kataku pada pemilik warung yang dari tadi tak ikut bersuara. Dia lebih memilih diam saja, baguslah. "Kok cuma satu, Mar. Uangmu kan banyak." Ibu-ibu berbaju blus putih bicara lagi. Hatiku tersentak. Tau dari mana dia uangku banyak. Perasaanku mulai was-was. "Iya, perlunya cuma satu." Aku menyahut. Aku tak punya bahasa lain untuk menjelaskan. Dijelaskan pun tak ada gunanya. "Hei, kau kenal kami, nggak?" Aku menggeleng. "Aku, Surti, istri Pak RT. Ini yang pakai baju ungu, Wati. Yang ini yang paling cantik, Lina. Pemilik warung yang paling seksi ini, namanya Tini." Mereka tertawa lagi, entah apa yang lucu. Mbak Tini hanya geleng-geleng kepala. "Sudah isi?" tanya Wati, yang paling judes mulutnya. Aku hanya menunduk, rasanya terlalu lancang dia bertanya begitu karena dia hanya orang asing. "Baru juga tiga bulan," sahut Mbak Wati. "Mungkin Marni tak pandai caranya." Surti berbisik, bisikan yang masih kudengar, mereka tertawa lagi. "Kalau kau butuh guru, aku siap mengajari, asalkan bayarannya cocok." "Atau malah Anto yang nggak pandai," sahut Wati. Ingin rasanya pergi dari sini, tapi kakiku serasa terpaku. "Marni, kalau di ranjang, Anto gesit tidak?" tanya Surti. Aku menatapnya bingung. Tidak mengerti arah pertanyaannya. Mas Anto gesit, aku akui, apalagi saat mengganti seprai tempat tidur. Dia melakukannya dengan sangat cepat. "Kenapa kau penasaran sekali?" Lina membuka suara untuk pertama kalinya. "Tentu saja, karena Anto itu kan perjaka tua, ganteng lagi, kadang orang ganteng kebanyakan impoten." "Ah, siapa bilang?" sahut Wati. Aku tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kutinggalkan mereka, berjalan tergesa menuju rumah. Kenapa semua orang begitu jahat? Apakah orang tua mereka tak mengajari mereka dulu? Mengajari bagaimana cara berbicara yang baik agar orang tak tersinggung. Surti, yang mengaku sebagai ibu RT seharusnya tak berkata begitu pada warganya sendiri. Tak lama kemudian, aku sampai di rumah. Mas Anto tengah menyiapkan tas ranselnya. Sejenak dia melihat ke arahku, lalu kembali fokus dengan pekerjaannya. "Kenapa wajahmu seperti mau menangis begitu?" Ditanya begitu, air mataku malah keluar dengan sendirinya. "Tidak ada." "Kalau menjawab tidak ada, berarti ada sesuatu. Katakan!" "Tetangga di sini jahat-jahat," kataku kemudian. Mas Anto berhenti memasukkan pakaian bersih ke ranselnya. Dia berdiri di depanku, meneliti wajahku lekat. Aku malu. "Apa yang mereka lakukan padamu?" Wajah Mas Anto terlihat tak senang. "Mereka mengejekku, Mas. Kemudian mengatakan sesuatu yang yang tak kumengerti tentangmu, Mas." "Apa yang mereka bilang?" "Kata Mbak Surti, orang yang ganteng biasanya impoten, apa itu impoten, Mas?" tanyaku sungguh-sungguh. Wajah Mas Anto berubah merah, dia mengepalkan tangannya. "Di mana mereka?" "Di warung Mbak Wati, Mas mau ke mana?" "Tunggu di sini!" Mas Anto pergi dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Bahkan Mas Anto belum menjawab apa itu impoten. *** POV Anto Impoten? Mulut kecil Marni seakan tak berdosa menyampaikan itu padaku. Harga diri laki-laki mana yang takkan terluka jika dia dituduh dengan penyakit memalukan itu. Entah karena aku tak pernah menyentuh Marni, aku merasa sangat tersinggung dengan tuduhan itu. Aku bukan laki-laki impoten, hanya saja belum mencobanya sama sekali. Mereka yang sedang tertawa cekikan itu, langsung berhenti. Semua mata yang ada di sana tertuju padaku. "Eh, Mas Anto. Tadi Marni, sekarang Mas Anto, mau beli sabun juga?" tanya seorang wanita berdaster ungu, entah siapa namanya. Aku memasang senyum, mungkin yang kulakukan ini kurang masuk akal, akan tetapi mulut sembarangan mereka perlu dikasih pelajaran. "Tidak, mau ikut duduk di sini, masih ada tempat kah?" tanyaku kalem. "Kamu, masuk ke dalam warung aja, Lin. Mas Anto mau duduk." Wanita gemuk yang memakai blus putih berseru, wanita yang dipanggul Lin itu bersungut-sungut tapi menurut. "Sini, masih ada tempat." Konyol memang, aku duduk di sebelah wanita yang berbaju putih. "Saya Bu RT di sini," katanya memperkenalkan diri. "Oh, Bu RT ya." Aku menatap mereka satu persatu. "Yang namanya Mbak Surti yang mana?" "Lah? Saya," sahutnya semangat. "Oh, Mbak yang bernama Surti. Tadi sempat tanya-tanya sama Marni, kan?" Kuberikan senyum lebar, senyum di wajah Surti lenyap, sedangkan ibu-ibu yang lain terdiam. "Anda perhatian sekali, ya. Sama warga, sampai-sampai ingin tau urusan tempat tidur orang." Surti memucat. Sedangkan pemilik warung memilih pergi masuk ke dalam rumahnya. Wanita berdaster ungu mengalihkan pandangannya. "Marni bilang apa?" "Banyak." "Wah, diam-diam dia pengadu juga, ya." Surti tersenyum sinis. "Bukan pengadu, saya bermurah hati ke sini, supaya Mbak Mbak yang suka gosip dan kepo, puas nanya-nanya." "Saya hanya bercanda, Mas Anto. Marni saja yang terlalu perasa, obrolan macam itu biasa di kalangan ibu-ibu." "Oh, begitu ya, bercanda sambil mengatakan saya impoten?" "Ya, ampun. Saya tak menuduh, berarti Marni sudah menambah nambahi." Surti membela diri. "Lain kali, hati-hati sama mulut. Mbak ibu RT di sini, jadilah teladan yang baik." "Tak usah mengajari saya, Mas. Istri Mas saja yang keterlaluan, sekali pun tak pernah bersosialisasi sama orang, bahkan ketika ada kemalangan dan kematian di lingkungan warga, sekali pun Marni tak pergi menjenguk." "Saya akan mengajarinya, tapi tolong mulut Bu RT untuk ke depannya agak dijaga. Kalau suami Bu RT tak bisa mengajari, saya bisa." Aku bangkit, melawan ibu-ibu ternyata tak semudah yang kubayangkan. Masih terdengar dengusan mereka sepeninggalku. Entah kenapa aku sangat tersinggung, selama ini memang tak ada hasrat terhadap perempuan sejak aku ditinggalkan mantan kekasihku beberapa tahun yang lalu. Setelah menikah, aku meyakini, hasrat itu tak ada karena Marni yang tak menarik dan jorok. Aku mensugesti diri sendiri, bahwa aku adalah laki-laki yang sehat. Tak memiliki cacat seperti yang dituduhkan mereka. Akan tetapi, bagaimana jika tuduhan itu benar adanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD