Tujuh

1131 Words
POV Anto Bagaimana aku bisa mengenal Marni? Kami tak sempat berkenalan, bahkan kami hanya bertemu di prosesi akad nikah, aku mempercayakan semuanya pada Ayah saat itu. Dalam pemikiranku saat itu, Marni seperti manusia normal pada umumnya, layaknya wanita biasa. Bukankah dia kakak dari enam orang adik dan yatim piatu pula, artinya dia bisa jadi teladan bagi adik-adiknya sendiri. Masih ingat waktu itu, saat pulang dari luar kota, Ayah memanggilku secara khusus. Ibu mendampingi Ayah dengan wajah kusut, dari awal pembicaraan sampai akhir, Ibu lebih memilih menutup mulutnya. Aku tau betul, wajah ibu menunjukkan dia tengah marah. "Sudah berapa umurmu, Anto?" tanya Ayah, pertanyaan yang sering kudengar dari Ibu tapi kuabaikan. Kali ini tampaknya Ayah langsung turun tangan. Artinya ini sudah sangat serius dan mendesak. "Beberapa bulan lagi tiga puluh enam." Aku berkata jujur, bahkan tak lama lagi sudah empat puluh. Sudah cukup tua untuk ukuran laki-laki yang masih melajang. "Rudi itu temanmu, kan? Dia sudah punya tiga anak. Sedangkan kamu, menikah saja belum." Sudah kuduga muara pembicaraan ini ke mana. Menikah? Sebuah target yang hampir terlupakan, karena patah hati yang pernah kurasakan. Ditinggal menikah oleh seseorang yang kucintai beberapa tahun yang lalu, seseorang yang tak direstui Ibu. Kami berpacaran selama enam tahun, berjuang keras untuk mendapatkan restu, tapi aku kalah. Ibu tetap dengan pendirian, tak ingin menerima calon menantu yang tidak jelas siapa ayahnya. Mantan kekasihku, anak haram. Ibu tak mau menerimanya. Kembali ke percakapan dengan Ayah. Kujawab sebijak mungkin, karena Ayah orangnya mudah marah dan cepat tersinggung. "Namanya jodoh, ibarat kapal, siapa yang penuh, maka dia duluan yang berangkat." " Kapalmu kapan mau penuh? Kalai pintunya kau tutup rapat. Lalu kau memilih berdiri di tempat semula tanpa berusaha?" tanya Ayah lagi. Nadanya sudah meninggi. "Ayah tau sendiri, aku jarang di rumah, aku menghabiskan waktu di kantor. Tak sempat berkenalan dengan perempuan mana pun." Aku mencari alasan yang aman, padahal aku memang belum bisa membuka hatiku untuk wanita mana pun. Di kantor banyak perempuan cantik, tapi tak menarik minatku. "Jika Ayah yang mencarikanmu jodoh, apa kau akan menerima?" Aku memandang Ibu yang membuang muka, entah pertengkaran apa yang dilalui orang tuaku itu, sehingga Ibu bermuka masam. Sekeras-kerasnya ibu, dia akan kalah keras dibanding Ayah. Ayah tipe orang yang tak boleh dibantah. "Jika menutut Ayah dia wanita yang baik, aku akan menerimanya." Aku menjawab seadanya, jika yang diinginkan oleh ayahku adalah lepasnya lajangku, mungkin aku harus mengalah. Orangtuaku, berkecukupan dari segi materi, mereka telah menunaikan haji berulangkali, tapi masih memiliki anak yang melajang. Anak satu-satunya, aku. "Baik, sejujurnya, ada seorang gadis yang baik, dia yatim piatu, Ayah mengenal baik keluarganya. Dia santun, ramah dan sopan. Intinya dia baik." Bermacam pujian keluar dari mulut Ayah, menggambarkan wanita yang akan dijodohkan denganku. Mataku menangkap, Ibu yang meninggalkan tempat duduknya tanpa permisi. "Apakah benar dia gadis yang baik? Ayah yakin? Karena aku akan menyerahkan semuanya pada Ayah." "Ayah menjamin dia adalah wanita yang baik. Jika kau menikahinya, setidaknya kehadiranmu bisa sebagai pemimpin dia dan adik-adiknya. Mereka yatim piatu." Aku turut prihatin dengan penjabaran Ayah, bagaimana rasanya, kehilangan kedua orang tua di usia muda dan memiliki banyak adik. Pasti sangat berat. "Jadi, kau akan menyerahkan keputusan pada Ayah?" "Ayah tau mana yang lebih baik." "Baik, kau benar." Wajah tegang tadi langsung kendor, Ayah tersenyum lega. Setelah percakapan itu, aku kembali ke lokasi kerja. Tanpa bertemu dengan wanita yang dimaksud. Aku hanya dikasih foto oleh ayah, gadis yang cukup manis, dengan senyum polosnya, dia seperti bayi tanpa dosa. Sekilas kulihat foto itu, lumayan, tak memalukan jika dibawa ke tempat umum. Prosesi lamaran hanya diwakilkan oleh ayah, karena aku tak mendapatkan jatah cuti waktu itu, semua proses pernikahan pun hanya diatur oleh keluargaku. Tak ada rasa penasaran, tak ada rasa ingin tau, aku menerima begitu saja, karena kuyakin, ayah pasti sudah memikirkan matang-matang. Kami menikah sebulan kemudian. Masih kuingat, gadis bertubuh langsing dengan kulitnya yang putih, muncul didampingi dua orang yang kuyakin adalah adiknya karena mirip. Aku memuji tukang rias yang menyulap wajah calon istriku itu, dia berjalan malu-malu dan duduk di sampingku menghadap ke penghulu. Sedangkan pria muda yang memakai peci di sampingku, mengaku sebagai adiknya, berperan sebagai wali saat itu. Awal akad nikah dan resepsi diadakan di rumahku, tak ada yang ganjil dengan gadis yang bernama Marni. Dia layaknya pengantin wanita pada umumnya, cantik. Namun, semua keganjilan mulai terasa saat malam pertama kami. Malam pertama yang tak pernah terjadi. Aku memberi dia ruang lebih dulu, sebelum masuk ke dalam kamar. Saat masuk, aku mendapati pemandangan yang lumayan membuat hatiku bertanya-tanya. Gaun penganten, dibiarkan teronggok di atas lantai, asesoris bertebaran di atas ranjang. Juga, kantong kresek yang isinya keluar berhamburan, entah apa saja isinya, yang jelas kumelihat sebuah sandal jepit. Aku memandangnya yang tengah memandang ke luar jendela kamar. Tanpa banyak bicara, kupungut gaun itu, sempat tercium bau yang tak sedap di sana, tapi kuabaikan. "Tutup jendelanya, sudah malam, nyamuk bisa masuk," kataku. Dia bergerak canggung. Dia sudah memakai daster biru, yang bagian ketiaknya telah robek. Aku menatap tak percaya. Apa dia sengaja berpakaian seperti itu? Agar aku tak berselera padanya? Bukankah seorang wanita akan mempersiapkan diri jika menghadapi malam pertama. "Baik," sahutnya. Dia menggaruk kepalanya berulang kali. Make-up tebal masih menempel di wajahnya. "Kuyakin kau sangat lelah, tidurlah!" "Baik," sahutnya lagi. Dia langsung naik ke atas ranjang, tanpa membersihkan wajah, tanpa menggosok gigi, bahkan tanpa menyisir rambut terlebih dulu. Tanpa menunggu lama, kudengar dengkuran halusnya. Dia tertidur, dengan bulu mata palsu yang membuat tanganku gatal ingin mencabutnya. Aku keluar dari kamar, kamar yang dulu adalah kamar lajangku yang disulap menjadi kamar pengantin. Adik-adik Marni sudah diantar oleh anak buah Ayah ke rumahnya. "Anto? Belum tidur?" Ibu muncul. "Belum, ibu kenapa belum tidur juga?" kataku sambil duduk di kursi jati dan diikuti ibu. "Ibu belum mengantuk." Kami duduk berdampingan. Sehari ini, wajah ibu suram, dia tak tersenyum sama sekali. "Apa para kerabat sudah pulang?" "Sudah," sahut Ibu, aku menatap beberapa orang yang bekerja membereskan sisa-sisa pesta kecil yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Mana Marni?" "Dia sudah tidur." "Kuharap kau bahagia dengannya, Anto!" Aku menangkap, makna ambigu di kalimat ibu. "Kenapa ibu berkata dengan keraguan?" Ibu tersenyum, senyum miris. "Kau akan mendapatkan banyak hal yang belum kau ketahui dan ibu berharap, kau bisa bersabar. Oh, ya, rumah yang beberapa bulan kau beli, apakah akan langsung dihuni?" Ibu sepertinya sengaja mengalihkan pembicaraan. Memang, aku sudah membeli rumah, lengkap dengan perabotannya, semua karena perintah ibu. Supaya setelah menikah, aku dan istriku hidup mandiri. "Besok kami akan langsung menempatinya." "Baguslah. Kapan kau kerja kembali?" "Aku hanya mendapat cuti dua hari, Bu. Sore besok kembali ke luar kota." "Sebaiknya kau tidur!" perintah ibu. Aku menurut, masuk kembali ke dalam kamar. Baru masuk saja, bau tak sedap langsung menerpa penciumanku. AC yang menyala dengan kedinginan maksimal, memutar bau itu memenuhi kamar Akhirnya, aku memilih mencari kamar yang lain. Tanpa sepengetahuan siapa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD