Bab 6

1451 Words
Handoko berjalan mondar-mandir di belakang rumah mewah mereka, masih banyak tamu berdatangan guna memberi selamat atas kemenangan Rangga. Baik tamu dari desa Genilangit atau dari desa lain. Sesaat setelah Rangga menemui para tamu, sekedar berbasa-basi dengan mereka Rangga menarik diri membiarkan Banu sang ayah yang mengantikannya berramah tamah. Ia mendekati sang paman. "Ada apa, Pakde? Kenapa gelisah seperti itu?" tanya Rangga. "Rangga, jadwal pelantikan kamu tepat dua minggu lagi," jawab Handoko, bernada cemas. Gurat ke gusaran jelas terlihat di wajahnya. "Lalu apa masalahnya, Pakde? Bukankah lebih cepat lebih bagus," jawab Rangga, ia tidak mengerti mengapa pamannya itu bersikap aneh. "Rangga, tepat dua minggu lagi itu hari Jum'at paing. Bukankah menurut perjanjian, kamu harus ke dusun Pepaten?" bisik Handoko setelah menengok ke segala arah, memastikan tidak akan ada yang mendengar ia bicara. "Benarkah, Pakde? Aku sampai lupa hari! Sudahlah, Pakde, jangan terlalu dirisaukan. Nanti Rangga fikirkan bagaimana caranya." Rangga menepuk bahu sang paman, lalu meninggalkannya dengan sedikit ketenangan. *** Kamis siang Rangga mengendarai motor trailnya melintasi jalan terjal yang sedikit mulai menyempit, kali ini dia sendiri. Meninggalkan Handoko di rumah untuk mengurus keperluan pelantikan besok, Rangga yakin dia sudah hafal jalan menuju rumah Ki Selo. Menjelang fajar tenggelam ia masih menapaki jalan setapak yang terlutupi rumput liar, ia meninggalkan sepeda motornya karena jalan yang tidak bisa dilewati kecuali dengan berjalan kaki. Dalam benaknya berkecamuk 'kemarau saja seperti ini, bagaimana kalau musim penghujan!' gerutu hatinya. Apalagi dia harus datang ke sini setiap tiga puluh lima hari sekali. Ia terkejut saat tiba-tiba ada seekor ular besar, menghadang langkahnya ular seukuran tiang listrik itu memakai mahkota yang indah di kepalanya namun tak seindah penampakannya. Bermata merah menyala seolah menatap tajam padanya, ular itu menegakkan kepala hingga tinggi mereka sejajar dengan ekor melingkar. Rangga tergagap, terutama saat mendengar desissan mengerikan dari mulut ular yang kemudian terbuka seolah ingin memangsanya. "Aaa ..." Rangga berteriak ketakutan, ia gunakan sisa tenaganya yang ada. Lari secepat ia bisa menuju rumah tua yang sudah terlihat mata. Dengan nyali yang nyaris musnah ia menoleh memastikan ular raksasa itu tidak mengejarnya, tapi mendadak kelegaan terasa saat ular itu tidak lagi nampak di tempatnya. Entah melata ketempat lain atau hilang ditelan kegelapan yang mulai pekat, namun langkahnya tak mengendur dengan cepat ia melintasi halaman luas rumah Ki Selo. Mengetuk pintu yang terbuka dengan sendirinya. Rangga segera memasuki rumah yang sebenarnya sangat enggan untuk dia datangi, namun mau bagaimana lagi? Dia sudah terlanjur terikat perjanjian. "Randu ... Randu?" panggil Rangga, iya berdiri mematung di ruang tamu. Ruangan itu gelap tanpa penerangan, aroma kemenyan yang menyengat kembali menguar dan mulai lekat di indera penciuman. Rangga sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Setitik cahaya terang mulai terlihat dari dalam ruang tengah tepat di depan kamar Randu, mungkin dia sudah menyalakan obor. Begitulah yang tersirat di benak Rangga. Tidak lama Ki Selo keluar membawa obor, sama seperti ketika pertama kali ia melihatnya. Sang putri berjalan di belakangnya, Rangga menunduk rasanya jantungnya selalu terasa hendak melompat setiap kali melihat wajahnya. "Duduk! Kenapa nafasmu terengah-engah begitu?" Belum juga Rangga menuruti perintah Ki Selo, ia sudah ditanya seperti itu. Bahunya bergidik ngeri teringat kembali ular yang menghadangnya tadi. "I--itu ..., Ki, di jalan tadi ada ular besar ... besar sekali, Ki," jawab Rangga, ia masih saja bergidik ngeri baru kali ini dia melihat langsung ular sebesar itu. Biasanya dia hanya melihat ular besar seperti itu di film, itupun tidak semenyeramkan yang baru saja ia lihat. Ki Selo hanya tersenyum miring mendengar penuturan Rangga. "Ular itu adalah suara hatimu! Bukankah tadi kau menggerutu, kau keberatan datang ke sini untuk melakukan kewajibanmu! Maka ular itu akan datang sebagai pengingatmu," ujar Ki Selo, lalu suara tawanya membahana memenuhi setiap sudut ruangan pengap itu. "Mak--maksud, Ki Selo. Ular itu akan mengikuti kemanapun aku pergi?" tanya Rangga tidak mengerti. "Iya, karena dia berada dalam hatimu. Setiap kau mencoba lari dari kewajibanmu dia akan datang padamu!" tegas Ki Selo. "Ta--tapi, Ki--" protes Rangga terhenti saat Randu membuka suara. "Ini semua karena kebodohanmu! Kenapa kamu bisa kehilangan mustika itu?" Lantang suara Randu, membuat kedua mata Rangga membola, bagaimana dia bisa tahu? "Ma--maaf, Randu ... kami kecelakaan waktu itu." Rangga mencoba membela diri. "Keluarkan mustik itu!" perintah Randu, Rangga langsung menurutinya, ia keluarkan mustika itu dari dalam tas slempang yang ia sandang. Rangga meletakkan mustika itu di hadapan mereka, Randu dan Ki Selo tampak merapalkan mantra lalu menaburkan kembang tujuh rupa di atasnya. Rangga hanya di memperhatikan diam-diam mencuri pandang pada wajah Randu, tentu saja yang berkulit mulus. "Andai saja seluruh wajahnya cantik seperti ini." Rangga bersenandika. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat secepat kilat Randu memelototi dirinya seolah dia bisa mendengar suara hati Rangga. Rangga menunduk saat Randu kembali berkonsentrasi merapalkan mantra, perlahan angin yang terasa dingin berhembus membuat bulu kuduk Rangga meremang sempurna. Randu menutup kotak mustika memegang dengan kedua tangan lalu melangkah memasuki kamarnya, Rangga mematung. "Tunggu apa lagi kamu, cepat masuk!" ucap Ki Selo, melihatnya hanya diam. Rangga mengerti ritual apa yang selanjutnya akan mereka lakukan, sebenarnya ia sangat takut. Tapi ada desiran aneh yang menjalar mengingat malam yang pernah ia lalui bersama Randu. Randu yang cantik tentunya. Rangga melangkah, degupan jantungnya seakan terdengar di telinganya. Menyamarkan suara tawa Ki Selo yang ia tinggalkan di atas balai bambu. Ia memasuki kamar di mana sang istri telah menunggu di atas ranjang untuk memulai sebuah ritual. Seperti biasa Rangga diminta memejamkan mata saat Randu membaca sebuah mantra, lalu membuka kembali kedua matanya dan melihat wujud istrinya yabg berbeda. istri yang sempurna bibir sensualnya mereka indah kedua matanya sayu menatap manja, kulitnya mulus menebarkan aroma melati yang mekar di malam hari. Jantung Rangga berdegup berpacu dengan malam yang kian mengelam saat pandangannya turun dan melihat dua buah d**a Randu yang menyembul dari balik kain kembennya. Tanpa ragu Rangga mulai merengkuh Randu dalam dekapannya, menciumi setiap inci kulit mulusnya tangannya mulai membelai gunung kembar yang membusung. Randu pasrah dalam belaian, tangannya terampil melepaskan satu persatu kancing kemeja Rangga lalu menanggalkannya, tidak berbanding terbalik Rangga pun dengan mudah memerosotkan kain kemben Randu hingga tertanggal dan menampakkan pesona d**a ranum yang memabukkan. Perlahan tapi pasti Rangga mulai bermain di sana, berawal dengan jemari hingga berlanjut dengan bibirnya meninggalkan jejak basah pada ujung mengkalnya. Lenguhan demi lenguhan terdengar beriringan suara lolongan hewan malam, nyatanya Rangga telah lupa dengan semua ketakutannya berganti dengan kenikmatan erotisme pergerakan di atas ranjang. Deru nafas keduanya berpacu seiring gemulainya tarian pemacu ledakan birahi, seolah menyaingi kencangnya hembusan angin malam pembawa kengerian berbaurnya dua alam. *** Rembulan belum juga meredupkan sinarnya, mungkin sang mentaripun masih betah di peraduannya. Namun Rangga telah bangkit dari ranjangnya yang semalam tidak berhenti berderit. serasa baru sekejap ia memejamkan mata, seandainya ia tidak merasa takut memandang wajah Randu setelah saat ini tentu ia masih ingin meringkuk di atas ranjang. Terlebih lagi hari ini adalah jadwal pelantikannya. Ia tidak boleh terlambat pulang. Maka hanya berbekal sebuah senter yang ia bawa, Rangga menapaki jalan setapak di tengah butanya pagi untuk pulang. Rasa takut sudah tidak ia pedulikan, jantungnya sudah mulai terasa kuat saat ini. *** Minggu demi minggu terlewat, bulan-bulan telah berlalu ia tinggalkan hingga tahunpun telah berganti. Semua berjalan dengan baik, Rangga bisa dengan mudah menjalankan tugasnya sebagai kepala desa. Pendidikan tinggi dan kecerdasan yang mumpuni adalah modal yang cukup baginya untuk menjadi pemimpin. Segala usahanya di kota juga berjalan dengan baik bahkan tambah baik, Rangga bisa meraup keuntungan berkali-kali lipat. Tentu saja ini semua berkat campur tangan Randu dan segala jampi-jampinya. Rangga juga selalu menepati kewajibannya pada mustika dan pemiliknya. Selalu ada sang paman yang menjadi pengingat kapan ia harus menemui Randu. Malam itu, di tengah hangatnya suasana keakraban keluarga. Semua keluarga berkumpul di meja makan menyantap lezatnya makan malam yang dimasak oleh Lestari wanita yang telah melahirkan dan membesarkan Rangga. "Le, kamu tuh udah cukup umur lho. Ibuk ini kesepian pingin rasanya di rumah ini ada mantu, ibuk juga udah pingin nimang cucu," keluhan seperti ini bukan pertama kalinya Rangga dengar. "Le, kamu bapak kenalin sama anaknya temen bapak, ya. Anak temen bapak nih, pinter lulusan pesantren di jawa timur. Dia baru pulang dari sana, orang tuanya ingin dia cepat-cepat menikah. Banyak lelaki yang berniat meminangnya, tapi orang tuanya ingin dia jadi menantu bapak," ucapan Banu terdengar serius dan penuh harap. Rangga menatap penuh tanya pada Handoko, "Nanti Rangga pikirin dulu, ya. Pak, Buk." Hanya jawaban itu yang bisa ia berikan untuk menghentikan bujukan kedua orang tuanya. Sementara jauh dalam lubuk hatinya merasa gundah, ia takut kalau Randu akan marah jika ia mengatakannya. Sedangkan ia sendiri tidak kuasa melihat kedua orang tuanya bersedih, tentu saja mereka khawatir Rangga akan mengikuti jejak sang paman membujang hingga tua. Terlebih Rangga dan Handoko terlihat sangat dekat, lebih dekat daripada dengan ayahnya sendiri. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Rangga mengambil keputusan. Ia akan menikahi wanita itu, tentu saja tanpa sepengetahuan Randu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD