Fikirannya sudah buntu, bagaimana bisa mustika itu tidak mereka temukan padahal sudah hampir sehari waktu yang mereka habiskan untuk mencari. Membayangkan wajah Randu jika tahu mustikanya hilang sudah membuatnya frustasi, apalagi Ki Selo. Bukan tidak mungkin nyawanya akan melayang begitu saja.
Rangga berdecak kesal pada dirinya sendiri, tidak ia pedulikan beberapa anak buah yang berusaha menyamai langkahnya untuk memberikan laporan.
Sang ibu yang menunggu di teraspun tidak ia pedulikan, yang ia inginkan hanya membaringkan tubuh di kasur empuk kerena merasakan lelah hati dan raga yang kian mendera.
"Mas Han, sebenarnya kalian tuh darimana tho?" tanya Lestari pada kakak iparnya itu.
"Wes, kamu enggak usah banyak tanya. Yang pasti semua demi kebaikan anakmu itu,"jawab Handoko pada Lestari yang masih terpatung mengerutkan dahinya.
"Tolong siapin makanan, saya dan Rangga lapar." pinta Handoko pada asisten rumah tangga mereka, lalu memasuki kamar Rangga. Memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja.
Mengetuk pintu tanpa menunggu jawaban, Handoko masuk ke kamar Rangga dan mendapatinya tengah telentang di atas kasur dengan lengan kanan menutupi wajahnya.
"Bangunkan semangatmu, anak muda!" seru Handoko, menggoyangkan kaki Rangga yang bahkan tidak membuka sepatunya.
"Bagaimana saya bisa semangat, Pakde. Mustika itu tidak ketemu ... Randu dan Ki Selo bisa saja membunuhku. Lalu pilihan lurah ini? Tidak mungkin saya menang," gerutu Rangga, putus asa.
"Jangan putus asa dulu, tadi mereka melapor pada pakde. Orang-orang yang meninggalkan kita sudah kembali dan menyatakan kesiapannya mendukung kita. Juga mempengaruhi warga lain agar memilih kita, kamu tenang saja," adu Handoko padanya.
Mata Rangga sedikit berbinar. "Itu pasti karena pengaruh mustika, tapi sekarang mustika itu---" Rangga tidak melanjutkan perkataannya, hanya binar matanya saja yang meredup.
"Sudah nanti kita pikirkan lagi. Sekarang kamu mandi, lalu makan. Pasti kamu laparkan!" Handoko keluar meninggalkan Rangga yang masih termangu.
Kembali berbaring, bermalas-malasan sampai hidngnya merasakan bau badannya. Bukan. Bukan bau badannya sendiri, tapi bau badan Randu yang masih menempel di badannya. Bahunya bergidik tanpa perinta, lalu bergegas kekamar mandi.
***
Entah sudah berapa banyak shampo dan sabun ia gunakan untuk membersihkan diri, deodoran dan parfumpun tidak lupa ia bubuhkan demi untuk memastikan aroma tubuh Randu benar-benar hilang dari kulitnya. Membuka lemari untuk mengambil pakaian yang akan ia gunakan, matanya membola melihat sesuatu yang ada di hadapannya. Kotak mustika yang tadi ia simpan kini sudah terisi kembali, Rangga mengambilnya mendekatkan kotak itu ke wajahnya guna memastikan matanya tidak salah melihat.
Iya tersenyum lebar, hatinya girang tiada terkira. Mustika itu benar-benar nyata, benda itu kembali sendiri kedalam tempatnya. Tidak ia fikirkan lagi bagaimana bisa, mungkin sekarang Rangga sudah bisa mempercayai hal-hal mistis. Hal-hal yang terjadi di luar nalar dan logika.
Ia terlihat sempringah menemui keluarganya yang sudah menunggu di meja makan, Rangga bersiul-siul kecil menandakan hatinya yang sedang berbunga. Handoko geleng-geleng melihatnya, baru tadi keponakannya itu merasa sangat putus asa. Mengambil sepiring nasi penuh beserta lauk pauknya lalu dengan lahap memakannya.
"Nak, Bapak sangat optimis kita bisa memenangkan pemilihan. Karena semalam beberapa orang kepercayaan si Wira itu datang ke sini, menyatakan kesediaannya mendukung kamu," ujar Banu dengan wajah sempringah, lalu melirik istrinya yang menganguk mengiyakan.
"Pasti dong, Pak. Saya pasti bisa mengalahkan Panji," pongah Rangga.
Tanpa terasa satu piring penuh makanan Rangga habis tak bersisa, hingga ia mengambil lagi dan memenuhi piringnya dengan makanan. Lestari dan suaminya saling berpandangan, tidak biasanya nafsu makan anak tunggal mereka sebagus itu. Mungkin karena lapar dan sedang gembira membuat nafsu makannya membaik.
Handoko, Banu dan Lestari masih menemani Rangga di meja makan meski makanan di piring mereka telah habis. berbincang ringan, mereka saling melempar pandang. Heran. Ini sudah piring penuh yang ketiga yang Rangga makan, ia masih saja lahap tidak ada sama sekali ekspresi kekenyangan di wajahnya. Mungkin jika saja nasi di bakul tidak habis, Rangga belum berhenti makan.
"Le, kamu makan banyak benget lho," tegur Lestari.
"Aku laper, Buk," jawab Rangga tidak berhenti mengunyah.
"Laper, sih, laper. Makanya kalau makan tuh berdoa dulu biar enggak dibantuin setan!" Lestari menasihati putranya.
Rangga tidak menjawab, hanya pendangannya nyalang menatap sang ibu lalu meninggalkan meja makan tanpa permisi.
Raut wajah Lestari berubah seketika, tidak ada yang lebih menyanyat hati seorang ibu selain perlakuan kasar anaknya. terlebih lagi selama ini Rangga adalah pribadi yang santun, terutama pada wanita yang telah bertaruh nyawa demi melahirkannya.
"Sudahlah, Lestari. Sepertinya Rangga sedang tertekan memikirkan waktu pemilihan yang tinggal menghitung hari," ujar Banu menghibur istrinya.
"Iya, ambisi menangnya sangat besar," timpal Handoko.
"Itu bukan ambisinya, tapi ambisi kalian," geram Lestari tertahan, lalu hening membtrsamai ketiganya.
***
"Pakde, mustika itu ketemu. Liat nih tiba-tiba udah ada di dalem kotaknya," seru Rangga begitu melihat Handoko memasuki kamarnya.
"Benarkah?" Jawab Handoko terperangah, memandang mustika itu penuh kekaguman.
"Bagus kalau begitu, sekarang kamu keluar dan minta maaf pada ibumu. Kamu telah membuatnya sakit hati usai makan tadi," perintah Handoko, setelah ia duduk di tepi ranjang.
"Iyakah, Pakde? Apa yang telah kulakukan?" tanya Rangga, bingung karena tidak merasa telah melakukan kesalahan.
"Hati perempuan itu sensitif, makanya kita harus hati-hati menjaganya. Oh iya, pakde penasaran, memang kamu enggak kekenyangan makan sebanyak itu?" tanya Handoko yang ternyata menyimpan rasa penasaran juga.
"Memang aku makan sebanyak apa, Pakde?" Rangga malah balik bertanya.
"Tiga piring," seru Handoko sambil mengacungkan tiga jarinya.
"Ah, Pakde ngawur! Aku makan seperti biasa!" elaknya. Lalu nyelonong keluar mencari ibunya. Meninggalkan Handoko yang menganga mendengar perkataan keponakannya.
***
Menang telak!
Bukanlah hal yang mengejutkan, keampuhan mustika itu benar-benar mereka rasakan. Dari lebih seribu jiwa yang memiliki hak suara hampir delapan puluh persen memberikan suaranya pada Ranggani Putramanunggal. Kini lelaki bertubuh jangkung itu berdiri penuh kepongahan di podiumnya setelah penghitungan suara selesai, dan tentu saja ia pemenangnya.
Setelah berbagai keanehan yang terjadi di hari pemungutan suara ini , seperti langit yang tiba-tiba menghitam di tengah musim kemarau. Juga aroma kemenyan dan bunga yang membuar di bilik suara.
Pandangan penuh penghinaan ia berikan pada rivalnya yang terlihat lesu di podiumnya, panggung yang sama hanya berlawanan arah. Sorak sorai mengelu-elukan namanya membuat senyum jumawanya semakin melebar.
Tiba saat bagi keduanya bersalaman sebelum meninggalkan balai desa, satu sebagai pemenang dan satunya sebagai pecundang.
"Terima kasih atas ucapan selamatmu kawan!" sindir Rangga begitu mereka berdiri berhadapan.
"Tidak pantas ada ucapan selamat bagi sebuah kecurangan, Rangga," bisik Panji tanpa menundukkan pandangan.
"Tidak ada kucurangan yang ada hanya pecundang dan pemenang." Rangga menunjuk tepat ke d**a Panji lalu ke dadanya yang membusung.
"Aku tidak akan menanggapmu pemenang sebelum kamu bisa buktikan bisa memimpin desa dengan baik, tapi sebelumnya akan kubuktikan kecuranganmu," sindir Panji, dengan suara mengancam.
"Carilah bukti sekuat tenagamu, tidak akan ada apapun yang bisa kamu buktikan. Selain dirimu sebagai pecundang," bisik Rangga, lalu keduanya tersenyum penuh kepalsuan menghadap kamera yang siap mengabadikan.