Bab 4

1459 Words
Tanpa sepatah kata atau aksara yang tereja, dia menuntun langkahku menuju kamarnya. Bukan dengan genggaman tangan hanya seulas senyum yang membuatku menapaki jejak-jejak yang terlewatinya. Sepasang pintu besar berukirkan bunga-bunga khas tanah jawa, terlihat terbuka sesaat sebelum kami melewatinya. Aku tercengang memasuki kamar besar ini, sebuah ranjang besar dengan seprei tarpasang rapi. Berwarna putih bersih dengan kelopak bunga terhampar di atasnya, persis kamar pengantin yang sering kulihat di film-film. Dua buah lampu minyak menempel di dinding  satu disebelah kanan atas ranjang, sedang yang satu di arah berlawanan. Dia menatap tajam kedua netraku, lalu berpindah memandang ranjang. Memberi isyarat agar aku duduk di tepinya, tidak ada pilihan selain menurutinya. Perasaanku? Aneh, segala rasa bercampur menjadi satu gugup, resah dan pastinya takut. Suara burung yang terpekur di atas atap rumah menjadi pengiring degupan jantung yang kian memburu. Ruangan ini tertutup rapat, tapi entah darimana datangnya hembusan angin dingin yang kian pasti membuat bulu kudukku berdiri. Rasanya ingin tersenyum geli, jika saja tidak kurasakan otot-otot wajahku yang menengang menahan rasa takut ini. Ini adalah malam pertamaku, jika aku menikah secara normal. bukan pernikahan yang terasa tidak masuk akal bagiku, apalagi aku memiliki istri yang cantik. Andai saja wajahnya sedikit lebih baik. Aku tercekam saat tiba-tiba wanita itu, ya wanita itu ... istriku duduk tepat di depanku. Rambutnya yang hitam dan ikat tergerai sebatas pinggang, baju kebaya biru yang tadi ia kenakan sudah tertanggal menyisakan kemben dari kain batik yang mambalut bagian atas tubuhnya. Aku lelaki normal yang tentu saja tidak ingin berpaling dari pemandangan yang indah ini seandainya saja ekor mataku tidak melirik separuh wajahnya yang menyeramkan. Tentu aku tidak akan menundukkan kepala, mengalihkan pandangan pada kedua tangannya yang tertumpu di pangkuan. "Rangga!" pekiknya mengguncang jiwaku yang bergetar. "Iy ---iya," jawabku, tergagap. "Pandang aku!" perintahnya. "Kamu sudah terikat perjanjian. Maka apapun aku, aku adalah istrimu!" imbuhnya, suaranya berubah. Bukan lagi suara Randu yang tadi kudengar, lebih berat. Seperti suara lelaki tua yang menahan amarah. Aku memberanikan diri menatapnya, kedua netra itu tajam menatapku warnanya merah padam dengan, ukuran besar membulat sempurna. Bibirnya mengatup ada emosi yang membuat rahangnya bergeletuk, dan ... seandainya aku bisa meminta, aku ingin pingsan saja melihat separuh wajah buruknya memerah seperti mengalirkan darah segar. "Ma--maaf. Randu ... mungkin ... aku hanya belum terbiasa ... de--dengan keberadaanmu," ujarku. Suaraku tercakat di tenggorokan, sekuat tenaga menahan agar aku tidak berteriak ketakutan. Sebuah seringai tampak jelas di wajahnya, menampakan deretan gigi putih yang tertata rapi dengan kedua gigi taring yang terlihat lebih panjang dari yang lainnya. Spontan aku menarik tubuhku ke belakang saat ia mengulurkan tangan kanannya, tapi untung segera tersadar dan tidak menghindar lebih jauh. Kalau tidak, pasti akan membuatnya lebih murka. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa mengerikannya dia jika itu terjadi. Ia menutupkan telapak tangannya pada kedua mataku, aku hanya menurut dengan sekuat mungkin menahan kengerian yang mungkin sudah hampir sampai pada batasnya. Telingaku bisa mendengar mulutnya yang berdesis membaca mantra. "Buka matamu," perintahnya. Aku bisa sedikit lega saat mendengar suara Randu. Bukan suara berat yang mengerikan itu. Perlahan dengan hati berdebar kubuka mata, sambil mengepalkan kedua tangan. Menghimpun kekuatan jikalau yang terlihat nanti sesuatu yang lebih mengerikan. Kedua netraku membola, bahkan mulutku nyaris menganga melihat apa yang ada di hadapanku kini. Randu, dia sempurna. Kulitnya putih mulus tanpa cela, wajahnya yang tadi sangat menyeramkan kini ayu mempesona. Aroma tubuhnya wangi, bukan bau anyir seperti bau darah yang sedari tadi membuatku menahan nafas. Tercengung di tempatku bahkan menarik bibir untuk sekedar tersenyumpun aku tidak mampu, semakin nanap kedua netra melihat senyumnya yang merekah sempurna. Indah, kini ia mengenggam tanganku. Menuntun menuju penyatuan. Inikah yang Ki selo maksud ritual selanjutnya? Sudah tidak kupikirkan lagi, aku hanya ingin menikmati. Setelah sejak siang rasanya hampir mati ketakutan, inilah saatnya aku bisa bernafas lega. Kuhirup dalam-dalam aroma melati yang menguar dari rambut hitam panjangnya, rambut yang kubelai saat berada dalam pelukanku, perlahan ku tangkup wajahnya dengan kedua telapak tanganku, matanya, hidungnya, pipinya, semua indah dan bibirnya merekah bagai bunga yang menantang kumbang untuk menyesap madunya. Perlahan tapi pasti kukecupi bibir itu, dia hanya diam memejamkan mata saat perlahan mulai kulumat bibirnya yang terasa manis. Tanganku tak tinggal diam, kini mulai mengerilya, mengelus hingga meremas buah dadanya yang sedari tadi tampak menggodaku, sebuah desahan lolos begitu saja dari bibirnya. Desahan yang terdengar indah semakin lama semakin kuat dan intens terdengar seiring permainan kami yang semakin mendalam, hingga kini hubungan kami semakin menyatu, lewat sebuah ritual yang pasti akan menjadi candu. *** Tertidur pulas setelah ritual yang melelahkan, sayup-sayup suara burung yang terpekur menyeramkan kini telah berganti cicitan merdu dari burung kecil yang bertengger di atas pohon-pohon rindang. Aku menggeliat merasakan tubuhku yang remuk redam, teringat ritual semalam membuat dadaku berdesir. Lalu menelaah lagi, bagaimana bisa seorang Randu gadis desa  membuatku merasa kualahan. Bagai ada ribuan danyang yang membantu permainan kami. Namun, ah ... memikirkannya malah membuat sakit kepala, bukankah semua yang terjadi di sini memang di luar akal sehat. Aku membuka mata perlahan merasakan lenganku yang terasa keram, seperti tertindih sesuatu dalam waktu yang lama. Aku membelainya, rambut panjang Randu. Iya, dia tertidur dalam dekapanku. Tapi semua indah itu hilang saat aku menyentuh wajahnya, berganti dengan kengerian yang semula terasa. Kini istriku kembali menjadi buruk rupa, tanganku dapat merasakan kulitnya yang bagai terkelupas kasar, berwarna merah menyembulkan gurat-gurat kebiruan. Spontan aku terpekik dan menjauhkan tubuh darinya. Kedua netra Randu terbelalak seketika, lalu bangkit dari pelukanku. Tidak ada sepatah katapun saat itu hanya tangannya yang sibuk mengenakan pakaiannya, dan aku. Tergemap berusaha menetralkan rasa. "Pulanglah, bawa ini bersamamu. Kamu harus datang setiap malam jum'at paing, seperti malam ini. Untuk memberi sesaji pada mustika ini dan menjalankan kewajibanmu sebagai seorang suami," ujarnya dingin. Tangan kanannya mengulurkan kotak kayu berisi mustika ajijumantoro. "I---iya." Tanganku sedikit bergetar saat menerima mustika itu. "Ingat! Jika kau melanggar perjanjian kita, maka kau dan semua wargamu yang akan menanggung akibatnya," tegasnya.  Kedua matanya merah padam menatap kedua mataku. Menghujam jauh kedalam ke relung kalbu membuat nyaliku semakin menciut. "Di mana Ki Selo, aku ingin berpamitan," tanyaku. Tanpa berani menatap padanya. "Kau lihat matahari yang sudah bersinar? Ki Selo tidak akan keluar. Cepat pergi!" jawabnya dengan suara berat seperti semalam saat marah padaku. Aku mengambil langkah seribu, keluar dari kamar Randu. Meninggalkannya yang masih menatap tajam padaku. Tergopoh menghampiri Pakde Handoko yang sedang duduk di balai, dengan pandangan sayu baru bangun tidur. Atau mungkin tidak tidur sama sekali. "Ayo, Pakde. Kita pulang," ajakku. Kutarik lengannya dengan terburu ia mengikuti langkahku. "Ada apa, Rangga? Kenapa terburu-buru?" tanyanya. Mungkin bingung melihat tingkahku. Setelah kurasa cukup jauh dari rumah Ki Selo, aku sudah berani melambatkan langkah. Sedikit bernafas lega. "Rangga, bagaimana malam pertamamu?" tanya Pakde, dengan senyum meledek. Aku hanya berdecak mendengar pertanyaannya. "Hahaha ... tidak perlu malu seperti itu pada Pakde," ujarnya. Mendahului langkahku dengan mengulum senyum, sepertinya hanya demi melihat wajahku. "Menyeramkan," jawabku datar. Teringat hal itu membuat bulu kudukku meremang, lalu bergidik ngeri. "Bagaimana kau ini. Semalaman Pakde dengar ranjangmu tidak berhenti berderit." ledeknya lalu tertawa tertahan. "Sudahlah, Pakde! Tidak perlu membicarakan ini lagi!" tegasku. Mempercepat langkah. Rasanya hampir menyerah melanjutkan langkah menapaki tanah yang tertutupi lebatnya rerumputan ini, aku jadi bingung bagaimana Pakde Handoko bisa tahu jalan menuju rumah Ki Selo.  Bahkan kini menjerumuskanku hingga aku bisa menikahi wanita setengah monster itu. Tapi ini semua bukan sepenuhnya salah Pakde sih, karena aku sendiri yang mengambil keputusan mengikat janji dengan iblis demi ambisiku. "Cepat anak muda, masa kalah sama Pakde yang sudah tua," ujarnya sambil terkekeh. Mendahului langkahku menuju semak tempat kami menyembunyikan motor trail yang kemarin kamu naiki. "Ya sudah, Pakde duluan saja," jawabku. Terengah-engah, dia tidak tahu saja betapa Randu telah menguras tenagaku semalaman. Punggung Pakde Handoko sudah tidak terlihat lagi, dia benar-benar meninggalkanku. Aku mempercepat langkah, tidak lucu 'kan kalau aku tersesat. Beberapa menit memacu langkah, akhirnya bisa melihat Pakde Handoko yang sudah menungguku di atas motor yang mesinnya sudah menyala. Aku membonceng, lalu Pakde menarik gas hingga sepeda motor kesayanganku ini melesat membelah rumbunnya pepohonan. Naas! Baru beberapa kilo kami berjalan, Pakde kehilangan keseimbangan. Tidak bisa mengontrol laju sepeda motor yang ia kendarai, hingga kami terguling. Beruntung lebatnya rerumputan membuat kami tidak mengalami luka parah. Hanya saja ... Aku kehilangan sesuatu, kotak mustika yang berada di sakuku kehilangan isinya. Kotak itu terpental dan berserak, "Pakde, mustikanya hilang!" seruku. Pakde Handoko yang tengah  mengangkat motor yang roboh langsung tergopoh menghampiriku. "Bagaimana bisa hilang?" tanyanya. Tanpa aba-aba langsung membantuku membelah semak menggunakan kedua tangannya. Tanpa banyak bicara, kami berkonsentrasi menyisir tiap jengkal tanah ini. Hingga matahari jauh berpindah, tapu hasilnya nihil. Hanya kotak kayu ini saya yang kupegang. "Bagaimana ini, Pakde?" tanyaku, raut kecemasan juga tergambar jelas di wajahnya. Sama sepertiku. "Kita kembali kerumah Ki Selo." ajaknya. Aku menahan lengannya. Rasa takut yang kurasa kini berkali lipat lebih besar, bagaimana mereka bisa memaafkanku jika tahu mustikanya hilang. "Kita pulang saja, Pakde. Aku takut." jawabku. Pakde mengangguk mengerti aku sudah sangat ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD