Leah menoleh dengan cepat dan melihat kedatangan Esther entah sejak kapan. “Kau sudah tiba.”
Esther mengangguk sambil menyusun buku muridnya. “Kau melamun sedari tadi. Memangnya apa yang kau pikirkan, Leah?”
Leah menggeleng otomatis. “Tidak ada.”
Mereka mulai menuju kelas masing-masing karena sudah waktunya mengajar.
Sambil berjalan beriringan, Esther berbicara, “Leah, aku ingin bertanya. Tapi apa kau bisa menjawabnya dengan jujur?”
Leah memiringkan kepalanya bingung. “Ada apa?”
“Tadi malam, aku menemani Nolan ke apartemen di dekat sini. Lalu aku melihatmu keluar dari mobil yang aku kenal.”
Leah dengan perlahan berhenti berjalan dan Esther berada selangkah di depannya. Esther menoleh ke belakang. “Apa hubunganmu dengan Pak Gabriel?”
Apa hubungannya dengan Pak Gabriel?
Leah tidak tahu kenapa, tapi saat mendengar pertanyaan itu dia secara refleks tertawa menyebabkan Esther menukik bibirnya ke bawah.
“Aku tidak membuat lelucon.”
“Maaf.” Dengan masih memiliki sisa tawa, Leah mulai menjelaskan alasan Gabriel mengantarnya, “Kau tahu, kan aku mengajar anaknya. Dan kemarin Pak Gabriel ingin keluar di jam itu karena ada urusan makanya aku ikut dengannya. Dia bilang sekalian mengantarku.”
“Sungguh?” Esther mendesis sambil memiringkan kepalanya. “Bukankah pria itu terlalu baik? Beruntungnya kau memiliki pekerjaan baru yang nyaman. Ini pasti berkat doa-doamu selama ini.”
“Hmm.” Leah mengangguk antusias.
“Tapi, aku masih tidak rela melihatmu bekerja keras bukan untukmu sendiri. Apa uang yang selama ini kau kirimkan ke keluargamu masih tidak cukup?”
Leah tidak bisa menjawab selain tersenyum menyebabkan Esther berdecak. “Sejujurnya aku ingin sekali berkomentar tentang mereka yang tidak pernah puas dengan pemberianmu. Tapi aku bahkan tidak memiliki keluarga jadi tidak bisa membuat komentar ceroboh.” Esther berhenti melangkah di depan kelasnya. Dia menepuk lembut lengan bagian atas Leah. “Jangan terlalu memaksakan dirimu bekerja terus menerus. Kau bahkan tidak sarapan selain air putih atau satu buah. Pikirkan juga kondisi tubuhmu, Leah. Kau tahu, aku selalu mengkhawatirkanmu.”
Leah mengangguk. “Ya, terima kasih, Esther.”
Esther tersenyum singkat. “Kembali ke pembicaraan sebelumnya, sungguh sangat disayangkan tentang Pak Gabriel. Aku pikir kalian benar-benar menjalin hubungan. Padahal menurutku, kalian berdua akan menjadi pasangan yang unik dan penuh kejutan. Leah, sungguh. Jika itu benar terjadi, aku akan menjadi orang pertama yang memberimu selamat dengan meriah!”
Leah mengerjapkan matanya. Kemudian tertawa canggung. “Tidak ada apa-apa di antara kami. Dan jangan membuat lelucon seperti itu, Esther.”
Sudut bibir Esther hanya menyeringai nakal. Dia masuk ke kelasnya sambil berkata, “Ya sudah. Sampai jumpa jam istirahat nanti.”
“Hm.”
Penuh ... kejutan?
Leah menggeleng kuat dan berjalan menuju kelasnya. Mana mungkin sosok buruk rupa seperti Leah cocok dengan Gabriel yang rupawan. Bisa-bisanya Esther membuat lelucon seperti itu di cuaca panas seperti ini.
Leah menyentuh kedua pipinya. Ternyata memang panas…
Sambil tersenyum, Leah memasuki kelasnya. Sudah waktunya dia mengajar bukannya berkhayal.
***
Suara tawa membahana mengisi ruang makan di rumah Gabriel. Dan Gabriel, si pemilik tawa itu menatap Leah dengan alis terangkat merasa terhibur. “Sungguh?”
Leah mengangguk. Lalu Gabriel melirik anaknya yang tersenyum dengan pipi berwarna merah muda. Anaknya tampak malu setelah menjadi bahan pembicaraan para orang dewasa malam ini.
Gabriel berdesis. “Saya tidak tahu jika anak saya bisa menarik perhatian teman sebayanya di umur yang masih muda. Jadi, Ara, siapa nama anak laki-laki itu?”
“Diego cuma sering mengganggu Ara. Bukan menyukai Ara. Bu Leah jangan beritahu Papi. Ini rahasia kita berdua saja. Kalau Papi tahu, Papi pasti mengejek Ara.” Aurora memasang wajah cemberut yang menggemaskan.
“Oh maaf, Ara.” Leah pura-pura merasa bersalah. “Ibu janji tidak akan membagi rahasia kita berdua dengan Papi Ara lagi.”
“Boooo Ara tidak seru,” seru Gabriel membuat Ara semakin memajukan bibirnya. Dan Leah hanya terkekeh melanjutkan makan. Begitu juga Nanny Aurora.
Beberapa waktu kemudian, Gabriel melihat Leah yang sudah menyelesaikan sesi makannya. Jadi, dia bertanya, “Bu Leah, saya dan Ara ingin mengunjungi rumah kakek Ara. Beliau sedang sakit dan ingin melihat cucunya. Jadi, saya pikir saya bisa mengantar Anda pulang.”
Leah yang baru saja meminum air mineral segera menatap Gabriel. “Oh tidak perlu, Pak Gabriel. Saya bisa menggunakan angkutan umum. Lebih baik Anda dan Ara langsung ke sana.”
“Arah rumah orang tua saya searah dengan rumah Bu Leah. Jadi kita bisa sekalian.”
“Tapi itu akan merepotkan Bapak.”
Gabriel mengedikkan bahunya santai. “Saya tidak merasa repot.”
Itu menurutnya. Tapi tidak dengan Leah. Hari ini, Gabriel kembali pulang lebih awal dan mengajaknya makan bersama lagi di kediaman pria ini. Leah sudah menolak secara halus namun Gabriel tetap memaksanya. Dan sekarang, setelah Leah menikmati makan malam yang nikmat dan gratis, pria ini kembali ingin mengulurkan tangannya lagi?
Tunggu dulu, apakah nanti gajinya akan dipotong biaya makan dan transportasi?
Secara naluriah Leah menggeleng keras. “Terima kasih, Pak. Tapi lebih baik saya pulang—”
“Tidak ada yang lebih baik selain menerima maksud baik saya, Bu Leah,” potong Gabriel. “Saya mana mungkin membiarkan pengajar anak saya menggunakan angkutan umum sedangkan kami juga ingin keluar.”
“Tapi—”
“Lagipula, saya juga membutuhkan bantuan Anda.”
Dengan ucapan membutuhkan bantuannya, Leah akhirnya setuju ikut bersama Gabriel. Namun tidak disangka-sangka jika dia harus duduk seperti ini.
“Ara tidak suka duduk di belakang. Dan saya tidak suka seseorang duduk di kursi belakang ketika saya mengemudi. Jadi, Bu Leah, apa bisa memangku Ara?”
Dan Leah berakhir duduk di depan berpangku dengan Ara.
Leah menoleh ke arah Gabriel yang fokus menyetir dan bertanya, “Uhm, Pak Gabriel. Tadi katanya Anda membutuhkan bantuan saya. Memangnya bantuan apa yang Bapak perlukan?”
Ketika pertanyaan Leah berakhir, mobil Gabriel ikut melambat dan berhenti di toko serba ada.
“Bu Leah, tolong awasi Ara di dalam nanti. Ayo.”
Leah mengerjap beberapa kali. Dia juga ikut?
Leah membuntuti Gabriel yang membawa keranjang belanja sedangkan dia memegang tangan Ara.
Lalu Gabriel berkata, “Kami perlu membeli beberapa buah dan camilan. Maaf memaksa Anda tapi saya butuh bantuan Anda.”
Leah menggeleng cepat. “Tidak masalah, Pak Gabriel. Saya senang bisa membantu Anda. Memangnya Anda ingin membeli buah apa saja?”
“Apa pun. Tapi melon dan anggur paling utama karena Ara suka kedua buah itu. Kamu bisa menambahkan buah lainnya.”
Leah mengangguk mengerti. Di saat Gabriel memilih buah melon, Leah membungkukkan tubuhnya di samping Ara.
“Ara mau memilih buah untuk Kakek Ara?”
“Ara mau!” Ara mengangguk antusias.