Ben menarik wajahnya kembali dan mengucapkan, “Terima kasih.”
Kemudian dia pergi begitu saja meninggalkan tiga orang di sana dalam keadaan terkejut dan linglung. Leah terutama, dia sungguh terguncang dan tidak siap dengan situasi tersebut sampai lupa bernapas. Hingga teriakan tertahan dari Esther menarik kembali kesadarannya.
“Ah! P-polisi. M-mana ponselku?”
Leah mengerjap cepat. Dia menatap Gabriel yang masih tepaku di tempatnya. Pria itu juga terkejut dengan banyak pikiran di kepalanya.
Esther mengeluarkan ponsel dengan tangan gemetar. Padahal Leah yang dicium orang asing, tapi dia yang ketakutan dan panik. “T-tenang, Leah. Aku tahu kau sebagai korban pasti masih syok. Ada aku, kau tak perlu takut—”
“Esther,” panggil Leah. Wajahnya sudah merah padam. Dia kembali melirik Gabriel. Dan untung saja pria itu sudah bangun dari rasa kagetnya.
“T-tidak apa-apa, Leah. Kau tidak perlu takut. Tunggu dulu berapa nomor polisi? Kenapa aku tidak tahu? 9 apa? Atau bukan itu? Kepalaku tiba-tiba tidak bisa berpikir.”
“Esther …,” suara Leah terdengar bergetar karena rasa malunya.
“K-kau tenang dulu, Leah. Jangan panik.”
Kau yang harusnya jangan panik! jerit Leah dalam hati ingin menangis.
Tepat saat itu, Gabriel membersihkan tenggorokkannya dan mendekati Esther. “Esther, Anda harus tenang dulu.”
Arah mata Esther yang tidak fokus sebelumnya, kini dengan bertahap mulai kembali fokus. Dia membasahi bibirnya cepat sebelum menatap Leah. Dia memegang kedua lengan bagian atas Leah. “Leah, katakan padaku jika orang tadi bukan kekasihmu.”
Leah melirik Gabriel. Gabriel seolah sedang menunggu jawaban Leah juga. Kembali menatap Esther, Leah menggeleng.
“Oke, dengan begini kita akan melaporkannya—”
“Esther!” panggil Leah agak nyaring. “Biarkan saja masalah tadi.”
“Tapi dia baru saja melecehkanmu! Kita memiliki saksi selain aku di sini. Kasus ini harus diadili!” teriak Esther marah sambil mengarahkan tangannya ke Gabriel.
“M-mungkin itu caranya berterima kasih karena menemukan mainannya?”
“Alasan konyol apa itu?! Hanya orang gila yang mengucapkan terima kasih dengan mencium orang asing! Aku yakin dia pasti memang ingin menciummu. Jangan-jangan dia selama ini adalah penguntit.”
“Esther, pria mana yang ingin mencium orang jelek sepertiku?” Leah menggigit bibirnya. "Itu tidak mungkin."
“Leah, apa kamu mengenalnya?” tanya Gabriel yang masih tenang.
Leah mengalihkan wajahnya, tidak berani menatap wajah Gabriel dan menggeleng samar.
“Dan kamu sungguh tidak ingin melaporkan masalah ini ke kantor polisi?”
Lagi, Leah menggeleng membuat Esther menatapnya tidak percaya.
“Astaga ….”
Di kala itu, kekasih Esther datang dengan sepeda motornya. Nolan menatap Esther membuat dia berdecak bingung. Dia sebenarnya ingin mengawasi Leah tapi kekasihnya tidak membawa mobil.
Melihat Leah yang menunduk, Gabriel memiliki pemahaman lain. Dia kemudian menatap Esther. “Esther, biarkan saya menemani Leah. Itu pasti jemputan Anda. Anda bisa pulang sekarang.”
“Tapi ….” Esther lagi-lagi menatap Leah dengan khawatir.
“Tidak apa-apa, jangan khawatirkan Leah. Ada saya di sini.”
Memandang Gabriel sejenak, Esther kemudian mengangguk. Dia menoleh ke arah Leah kemudian. “Aku pulang dulu, Leah. Hubungi aku jika kau membutuhkanku.”
Leah mengangguk singkat.
Setelah Esther dan kekasihnya pergi, Leah menunduk ke arah Gabriel. “Permisi—”
Gabriel tiba-tiba memegang tangannya membuat Leah tertegun.
Sebelum Leah bisa menanggapi apa yang terjadi, Gabriel sudah membawa Leah ke dalam mobil dan dia berlari menuju taman. Leah tidak tahu apa yang sedang Gabriel lakukan. Dia hanya tetap diam dan duduk manis di dalam mobil hingga beberapa menit berikutnya Gabriel datang berlari lagi dengan membawa ice cream di tanganya.
Sepanjang pria itu tiba, kepala Leah tidak berhenti mengikutinya.
Gabriel masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi dan menyerahkan ice cream yang dia bawa kepada Leah di sebelahnya. “Ambil ini. Orang mengatakan hal yang manis bisa membuat kita tenang.”
Leah menerimanya sambil menggumamkan terima kasih dengan suara kecil. Lalu dia hanya menatap ice cream di pangkuannya tanpa berniat memakannya. Hal itu menyebabkan Gabriel memandangnya prihatin. Jika itu Leah yang biasanya, dia pasti sudah membawa ice cream itu ke mulutnya dengan perasaan bahagia. Dia tidak tahu jika kejadian beberapa menit yang lalu sungguh membuat Leah seterpuruk ini.
“Esnya akan mencair jika hanya kamu lihat saja,” Gabriel berujar pelan dan Leah otomatis mulai memakan ice cream-nya.
“Tidak ada yang melihatnya.”
Leah menoleh.
“Tidak ada melihat kejadian tadi,” ulang Gabriel. “Hanya aku dan Esther yang melihatnya. Aku dan dia tidak akan membicarakan ini ke orang lain. Jadi, kamu tidak perlu takut dan malu.”
Gabriel membasahi bibirnya dan menggerakkan tubuhnya menghadap Leah. Tanpa diminta tangannya terulur dan diletakkan di atas kepala Leah menyebabkan Leah tidak bergerak saking kagetnya. Dia mengusap perlahan sambil berbicara, “Tidak apa-apa, Leah. Aku paham kamu malu dan tidak ingin melapor. Jika dihadapkan pelecehan seperti itu kebanyakan korban akan melakukan hal yang sama sepertimu, tetap diam. Aku mengerti.”
Leah mengerjap bingung.
“Pulang dari sini, kamu harus istirahat dulu, Leah. Pikirkan dengan tenang setelah itu. Jika kamu sudah lebih baik dan ingin melaporkan masalah ini, temui aku. Aku akan mengamankan CCTV sekitar sini dan melaporkan orang itu. Polisi akan mencarinya. Dia perlu dituntut agar tidak ada hal seperti ini lagi ke depannya. Aku takut akan ada waktu kedua kalinya. Mungkin tidak hanya kamu saja, bisa juga dia menyerang anak-anak di sini. Itu sangat bahaya.”
Tunggu, Gabriel tidak memandangnya rendah? Leah pikir setelah Ben memberi tontonan tidak baik kepada Esther dan Gabriel, pria ini akan membencinya karena dengan mudahnya membiarkan dirinya digunakan seperti itu. Tapi … ternyata berbanding terbalik dengan ketakutannya. Entah apakah ini berkah untuk Leah atau bukan, kesalahpahaman ini membawa kelegaan bagi Leah. Padahal sebelumnya Leah sangat malu dan ingin mengubur dirinya di mana saja asalkan tidak bertemu dengan Gabriel dulu. Dia hampir berpikir jika Gabriel menganggapnya perempuan tidak baik.
Gabriel memberikan senyuman lembutnya yang sampai menembus jantung Leah.
“Kamu tidak perlu khawatir, Leah. Aku selalu di sisimu.”
***
Lift terbuka menampilkan Leah yang tidak berhenti menyentuh kepalanya sambil tersenyum layaknya orang bodoh. Dia menempelkan key card dan membuka pintu unit tempat tinggalnya. Di saat dia melihat kehadiran Ben di sana, suasana hati Leah menjadi buruk secara signifikan.
“Kenapa pulang lama sekali? Aku sudah lapar.”
Tanpa menggubris Benjamin, Leah melangkahkan kakinya cepat menuju kamarnya.
“Leah, kamu marah?” Benjamin menahan tangan Leah membuat Leah menoleh ke belakang. Tatapan tajamnya ia layangkan ke Ben.
“Apakah aku terlihat marah sekarang?”
Ben mengangguk pelan.
“Kau tahu itu!” Dengan tasnya, leah memukul Ben secara membabi buta. “Apa kau tidak tahu betapa malunya aku di sekolah tadi? Teman-temanku melihatku! Aku bahkan tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Dan itu semua gara-gara kau yang merundungku! Apa kau terhibur setelah menjadikanku bahan candaanmu? Jangan pernah lagi menciumku dengan alasan berterima kasih! Aku tidak mau kau menciumku lagi!”
Setelah itu Leah mendorong Ben yang tidak membalas semua pukulannya kemudian menutup pintu kamarnya dengan sangat kasar di depan wajah Ben. Lalu terdengar suara pintu yang dikunci.
Ben mengetuk pintu Leah. “Leah, aku belum selesai bicara—”
“Aku sudah selesai bicara!” teriak Leah dari dalam kamar setelah menggantung kunci kamarnya.
“Aku tidak pernah merundungmu.”
“Tidak perlu beralasan lagi! Aku sudah muak dengan sikapmu itu! Enyah sana!”
“Leah—”
“Jangan ganggu aku! Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kau tahu, aku membencimu!”
Perkataan terakhir Leah seketika membuat seluruh tubuh Ben menjadi dingin. Dengan langkah lebar dan cepat dia berjalan ke kamarnya dan mengambil sebuah kunci dari dalam nakas. Dia kemudian kembali ke pintu kamar Leah dan membuka pintu wanita itu.
Leah yang terkejut mendengar suara dari pintu secara alami menoleh ke arah pintunya. Dan ketika pintu tersebut terbuka dari luar, Leah bangkit dari tempat tidurnya.
“Kenapa kau memiliki kunci kamarku?”
Ben memegang kedua lengan bagian atas Leah dengan cukup erat membuat Leah tidak bisa bergerak ataupun menjauh. Lalu tanpa aba-aba, Ben menundukkan wajahnya mencari bibir Leah.
Leah ingin melawan namun Ben tidak melepaskannya. Dia menggigit bibir bawah Leah dam mendorong lidahnya ke dalam.
Pikiran Leah mendadak kosong. Ciuman seperti ini tidak pernah Ben lakukan kepadanya. Ciuman kali ini berbeda dari biasanya. Dan begitu dia melakukannya secara tiba-tiba, Leah tidak tahu apa pun selain getaran yang menyenangkan yang ia rasakan. Leah baru tahu ada ciuman yang menyenangkan selain kekesalan yang dia rasakan tiap kali Ben menciumnya sebelum-sebelumnya.
Di saat Leah yang penasaran dengan pengetahuan baru tersebut hendak mengikuti apa yang lidah Ben lakukan, Pria itu mendadak mundur dan melepaskan tautan bibir mereka menyebabkannya yang tidak siap seketika menatapnya bingung.
“Kamu tidak membenciku, Leah.”
Leah masih belum memahami apa yang sedang Ben bicarakan. Matanya terfokus pada bibir pria di depannya yang berkilau basah. Apakah bibirnya juga seperti itu?
Ben bergerak ke leher Leah. Memberi jilatan yang mengantarkan hawa panas ke seluruh tubuhnya yang menggigil lalu menggigitnya membuat dia mengernyit dan berdesis pelan.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Leah tidak senang.
Ben menggeser wajahnya dan melirik Leah dari ekor matanya. Dengan nada tajam dia mengulangi ucapannya, “Kamu sama sekali tidak membenciku.”