SAY - Fever

1020 Words
Bayangan ketika Benjamin mengigit lehernya datang begitu saja saat dia menyembunyikan bekasnya dengan plester. Leah terdiam. Bernapas lalu melihat pantulan dirinya kembali di cermin. Dia sudah siap dengan pakaian kerja yang tertutup. Pandangannya menatap lehernya. Walaupun lehernya hampir ditutupi kerah hoodie, dia tetap menarik kerah hoodie-nya lebih ke atas. Mengambil tas di atas meja rias, dia kemudian keluar kamar. Di dapur sudah ada Benjamin. Pria itu menatapnya dan terdiam seperti dirinya untuk beberapa saat. Leah orang pertama yang mengalihkan tatapannya setelah berdeham singkat. Dia berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan. Di saat ingin berdiri menuju lemari es, sebuah cangkir kopi diletakkan di depannya. Leah melirik ke depan. Benjamin tidak menatapnya selain meminum kopi paginya dengan tenang. Seperti biasanya, pria ini hanya meminum kopi dan roti saja untuk sarapannya. Malas ingin membuat keributan sepagi ini dengan Ben, Leah mengambil kopi tersebut tanpa banyak bicara. Dengan begitu mereka berdua menikmati kopi dan roti selai dalam keheningan yang panjang. Beberapa menit yang cepat dalam menghabiskan sarapan, Leah kemudian mencuci gelasnya. Dia bisa merasakan seseorang mendekatinya dari belakang. Dan tepat ketika berbalik lalu melihat Benjamin yang menunduk, dengan sangat kuat Leah menginjak kaki telanjang pria itu membuat Benjamin meringis dengan kerutan di dahinya. “Maaf, saya tidak lihat,” Leah berujar datar lalu menadahkan tangannya. “Kunci kamar saya.” “Kamu memilikinya.” “Kunci cadangan yang Anda pegang,” Leah menjelaskan dengan sabar. “Kenapa?” “Kenapa?” ulang Leah dengan dahi berkerut. “Itu hak saya sebagai penyewa kamar. Saya tidak ingin ada yang masuk tanpa permisi seperti yang terakhir kali.” Ben menatap tangan Leah sebentar sebelum mengalihkan pandangannya ke samping dan berkata, “Setelah kamu pulang nanti.” Awalnya Leah ragu. Tapi, setelah melihat sikap tenang Ben yang tidak menimbulkan kecurigaan, dia hanya bisa setuju. Benjamin kemudian menoleh ke arah Leah yang sudah mengambil tas dan menggunakan sepatunya sebelum keluar dari unit. Dia tersenyum simpul sambil mengelus kakinya yang sedikit berdenyut. *** “Leah, apa kau sungguh baik-baik saja?” Esther yang baru saja datang segera menghampirinya dengan wajah khawatir. “Aku menunggu telponmu semalaman. Tapi kau tidak memberi kabar apa pun.” “Oh Esther, aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” “Sungguh?” Leah mengangguk. “Oh syukurlah. Pak Gabriel memang bisa diandalkan. Dia pasti sudah meringkus pria jahat itu, kan?” Leah melipat bibirnya ke dalam, tidak menjawab. “Untung saja aku membiarkan dia bersamamu kemarin. Dan aku terlalu berlebihan mengkhawatirkan—” “Uhm, Esther, kita harus ke aula sekarang.” Leah dengan cepat berdiri. Hari ini ada pertemuan dengan para orang tua murid yang dilakukan 3 bulan sekali. “Ya, kau benar. Ayo!” Berjalan beriringan, Esther masih saja bertanya, “Jadi, bagaimana caranya Pak Gabriel mendapatkan pria itu dalam waktu sehari?” “Tolong jangan bahas itu.” Leah memelas sambil tersenyum. “Tapi aku penasa—” Esther tidak sengaja melihat sesuatu di leher Leah. Dia menyipitkan matanya dan tangannya bergerak cepat menjauhkan kerah hoodie yang dipakai Leah untuk melihat apa yang ada di dalam sana dengan lebih jelas. Leah tentu saja terkejut. Dia mengambil kembali kerahnya di tangan Esther dan merapikan kembali pakaian luarannya. “Kau mengejutkanku.” “Sekarang aku tahu bagaimana cara dia membuatmu tenang setelah dicium pria jahat.” Leah menatap temannya dengan bingung. Apa yang sedang dia bicarakan? “Oh sebentar. Jika aku masih ingat aku selalu membawa benda itu ….” Esther tampak sibuk mengubrak-abrik isi dalam tasnya. Leah yang tidak tahu hanya bisa menunggu dengan wajah bertanya. Setelah mendapatkan apa yang dia cari dengan perasaan senang, Esther menggenggam tangan Leah dengan kedua tangannya. Dalam genggaman mereka, Leah bisa merasakan plastik di dalamnya. “Apa ini, Esther?” Tersenyum dengan penuh pengertian, Esther berbicara, “Kamu tidak perlu malu membicarakan itu denganku, Leah. Kapan pun kamu mau, aku siap menjadi pendengar untuk cerita aksi gila kalian.” “Aksi gila apa?” Leah semakin bingung dengan arah pembicaraan Esther. “Ataupun jika kamu membutuhkan saran, aku akan memberikan saran terbaik dari pengalamanku. Ingat, Leah. Jangan malu. Aku akan memakluminya. Sampai jumpa di aula.” Esther mengangguk layaknya wanita dewasa yang baru saja membuat janji bersama lalu pergi meninggalkan Leah. “Ada apa dengan anak itu?” Leah bergumam sambil melihat kepergian temannya. Tangannya yang merasakan sesuatu mengingatkan dia bahwa Esther tadi memberikan benda yang tidak ia ketahui. Dia menunduk. Membuka tangannya. Lalu melihat bungkus pengaman di telapak tangannya. Seketika wajah Leah berubah menjadi merah dan ingin berteriak. Mengingat ini masih di sekolah, dia menahan dadanya yang bergemuruh yang menyuruhnya untuk mengejar dan memarahi Esther. “Astaga, Esther ….” Kenapa bisa dia membawa ini ke sekolah?! “Bu Leah.” Suara pria yang tidak asing membuat Leah menoleh ke samping dan bertemu pandang dengan Gabriel. Pria itu seperti biasa tersenyum amat rupawan. “Kamu—” Apa yang ada di telapak tangan Leah sedikit mengganggunya dari ekor matanya, jadi secara naluriah dia menurunkan pandangannya. Namun sebelum Gabriel bisa melihatnya dengan jelas, Leah dengan cepat membawa masuk benda itu ke dalam tas. Dia membersihkan tenggorokkannya dan menyapa balik dengan suara serak, “Pagi, Pak Gabriel. Anda datang tepat waktu. Di mana Ara?” “Ya, Ara sudah berada di aula. Tadi saya mencari tempat sepi dulu untuk menerima panggilan tele— Bu Leah, Anda tidak apa-apa? Wajah Anda merah.” Secara refleks Leah menyentuh pipinya. “Saya baik-baik sa—” Sebuah punggung tangan yang hangat mendarat di dahi Leah membuat dia tidak bisa menyelesaikan perkataannya. “Panas. Kamu yakin kamu tidak apa-apa, Leah?” Leah menyadari betul dengan kondisi tubuhnya. Dia tidak demam. Panas ini datang karena godaan Esther tentang pengaman dan juga sentuhan tiba-tiba dari Gabriel. Pria ini sungguh mengkhawatirkannya bahkan tidak malu jika orang lain melihat mereka di sekolah. Tapi sayangnya tidak ada siapa pun yang melihat mereka karena semua orang sudah berkumpul di aula sekolah yang luas. Leah melihat bibir tipis Gabriel seraya menjawab, “Aku baik-baik saja, Ben.” “…?!” Terkejut, Gabriel menatap mata Leah cepat. Tidak hanya Gabriel, Leah pun terkejut dengan perkataannya sendiri. Dan matanya membesar seketika. Astaga .... Leah benar-benar demam!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD